animasi-bergerak-selamat-datang-0276

Sabtu, 04 April 2020

Bigrafi, sejarah dan karya para pelukis


1.             Affandi Koesoema
Affandi Koesoema (CirebonJawa Barat1907 - 23 Mei 1990) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di IndiaInggrisEropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.

Biografi
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HISMULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra GunawanBarliSudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai—yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad HattaKi Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur—memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/b/b6/Boeng%2C_ajo%2C_Boeng%21_karya_Affandi_%28foto_dokumen_oleh_Dgi.or.id%29.jpg/280px-Boeng%2C_ajo%2C_Boeng%21_karya_Affandi_%28foto_dokumen_oleh_Dgi.or.id%29.jpg
Poster propaganda Boeng, ajo, Boeng! karya Affandi, 1945

Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung KarnoLahirnya Pancasila1 Juni1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di SantiniketanIndia, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari IndiaEropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKIuntuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat dengan florafauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.

Affandi Dan Melukis
Description: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/19/Affandi_1997_Indonesia_stamp.jpg/280px-Affandi_1997_Indonesia_stamp.jpg
Potret diri Affandi diabadikan dalam perangko Indonesia seri Seniman Indonesia tahun 1997

Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.

Museum Affandi
Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki AbdullahPopo IskandarHendraRusliFajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.

Affandi Di Mata Dunia
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Raden SalehBasuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di FlorenceItaliadia telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Asasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugerahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul "Kepada Pelukis Affandi".
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di LondonAmsterdamBrusselsParis, dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di BrasilVeneziaSan Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia. Bahkan kurator terkenal asal Magelang, Oei Hong Djien, pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de Janeiro.

Pameran
Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brasil, 1966)
East-West Center (Honolulu, 1988)
Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
Singapore Art Museum (1994)
Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
Pameran keliling di berbagai kota di India.
Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma
Pameran di benua Amerika al: Brasilia, Venezia, São Paulo, Amerika Serikat
Pameran di Australia
Affandi Alive di Museum Lippo Plaza Jogja

Buku tentang Affandi
Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjöld, 1976, 189 halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa InggrisBelandaPrancis, dan Indonesia.
Nugraha Sumaatmadja, buku tentang Affandi, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975
Ajip RosidiZainiSudarmadjiAffandi 70 TahunDewan Kesenian Jakarta1978. Diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun ketujuh puluh.
Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi, dalam dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Indonesia.

2.             Abdullah Suriosubroto (1878-1941)
Description: pelukis terkenal indonesia Abdullah Suriosubroto

Abdullah Suriosubroto lahir di Semarang pada tahun 1878. Ia adalah anak angkat dari Dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang Tokoh Gerakan Nasional Indonesia. Ia dikenal sebagai pelukis Indonesia pertama pada abad 20.
Pada mulanya Abdullah mengikuti jejak ayah angkatnya untuk masuk ke sekolah kedokteran di Jakarta. Setelah lulus dari Jakarta ia meneruskan kuliahnya di belanda. Setelah menetap disana, entah mengapa Abdullah tiba-tiba banting setir ke seni lukis dan masuk sekolah seni rupa.
Sepulangnya di Indonesia Abdullah konsisten menggeluti profesinya sebagai pelukis. Ia sangat menyukai pemandangan, dimana ia sering menuangkan ke dalam lukisannya.
Keputusan yang diambilnya sewaktu muda tidaklah sia-sia, berkat karya yang dihasilkannya ia dimasukkan dalam aliran yang dijuluki “Mooi Indie” atau Hindia Indah.
Abdullah Suriosubroto sering dibicarakan melalu karya-karya lukis cat minyaknya sebagai hasil memandang alam dari jarak jauh dan bersifat romantik.
Salah satu pelukis terkenal Indonesia ini lebih banyak menghabiskan waktunya di bandung agar dekat dengan pemandangan alam, sebelum akhirnya pindah ke Yogyakarta dan meninggal pada tahun 1941.

3.             Affandi Koesoema (1907-1990)
Description: pelukis terkenal indonesia affandi koesoema

Diantara para maestro dan legenda pelukis terkenal Indonesia, mungkin Affandi lah yang menggunakan teknik lukis paling aneh. Ia melukis tidak menggunakan kuas.
Proses awal yang ia lakukan adalah menumpahkan cat-cat berwarna ke dalam kanvas, jika dilihat mungkin akan memberi kesan yang amburadul. Namun setelah itu Affandi akan menyikat warna-warna cat tersebut dengan jarinya hingga tahap finishing dengan hasil yang menawan.
Affandi Koesoema termasuk seniman yang berumur panjang. Ia lahir di Cirebon pada tahun 1907 dan meninggal pada tahun 1990.
Affandi digadang-gadang sebagai pelukis Indonesia yang paling terkenal di kancah dunia, berkat gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di Amerika Serikat, Inggris, India dan Eropa.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan rendah hati. Pernah pada suatu ketika, kritisi lukisan dari Barat menanyakan apa gerangan aliran-aliran lukisannya. Tanpa disangka ia malah balik bertanya dan meminta kritikus Barat tersebut untuk menjelaskan perihal aliran-aliran yang ada dalam lukisan.
Namun, banyak orang yang menilainya jenius. Karena semasa hidupnya Affandi telah menghasilkan karya lebih dari 2000.

4.             Agus Djaya (1913-1994)
Description: pelukis terkenal indonesia agus djaja

Pelukis terkenal Indonesia ini lahir dari keluarga Bangsawan Banten pada tanggal 1 April 1913 dengan nama asli Raden Agus Djaja Suminta.
Dengan latar belakang tersebut, tak heran ia mendapatkan pendidikan yang baik. Setelah menamatkan pendidikan di Indonesia, Agus Djaja melanjutkan belajar di Akademi Rijks (Academy of Fine Art) Amsterdam, Belanda.
Selama berada di Eropa, ia sempat berkenalan dengan beberapa seniman besar dunia, diantaranya Pablo Picasso, Salvador Dali termasuk Ossip Zadkine, pematung Polandia yang terkenal.
Sekembalinya ke Indonesia Agus Djaja mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) sekaligus memimpinnya pada tahun 1938-1942 yang merupakan organisasi pertama seniman senirupa di Indonesia. Oleh sebab itu, Agus Djaja dinyatakan sebagai salah seorang cikal bakal seni lukis Indonesia.
Setelah itu, ia direkomendasikan oleh Bung Karno untuk menjadi Ketua Pusat Kebudayaan Bagian Senirupa pada tahun 1942-1945.
Selain menjadi pelukis, pada jaman revolusi kemerdekaan Agus Djaja aktif sebagai Kolonel Intel dan F.P (persiapan lapangan). Ia absen untuk tidak mengadakan pameran tunggal hampir selama 40 tahun karena peran dan kondisi bangsa pada saat itu.
Setelah jaman revolusi telah usai, April pada tahun 1976 ia mengadakan pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lebih dari 70 lukisan dipajangnya. Agus Djaja mempunyai ciri khas dengan warna biru dan merah yang terkesan memberi nuansa magis. Ia juga sering menuangkan objek wayang dalam setiap karyanya.
Setelah lama malang melintang di Ibukota, akhirnya Agus Djaja memutuskan untuk pindah Bali. Di sana ia mendirikan galeri impian di tepi pantai Kuta.

5.             Barli Sasmitawinata (1921-2007)
Description: pelukis terkenal indonesia Barli Sasmitawinata

Barli Sasmitawinata merupakan seorang maestro seni lukis realis kebanggaan Indonesia. Ia lahir di Bandung pada 18 Maret 1921 dan meninggal di Bandung 8 Februari 2007.
Barli mulai menggeluti dunia seni lukis di tahun 1935, saat kakak iparnya memintanya belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, pelukis asal Belgia yang sempat tinggal di Bandung.
Belum puas mendapatkan ilmu dari Jos Pluimentz, ia kemudian belajar pada Luigi Nobili, pelukis asal Italia. Di studio ini Barli mulai berkenalan dengan Affandi.
Perkenalan tersebut tidaklah menjadi angin lalu. Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso dan Wahdi Sumanta. Barli Sasmitawinata mendirikan “kelompok Lima Bandung”. Kelompok ini menjadikan hubungan mereka layaknya saudara. Kalau ada event melukis, mereka selalu bersama-sama.
Hebatnya seorang Barli Sasmitawinata, ia tetap haus akan ilmu meskipun sudah memiliki ketenaran nama. Pada tahun 1950, ia melanjutkan pendidikannya di Academie de la Grande Chaumiere Paris, Perancis. Disusul di Rijksakademie van beeldende kunsten Amsterdam, Belanda pada tahun 1956.
Barli juga dikenal sebagai pelukis terkenal Indonesia yang mementingkan pendidikan seni, untuk itu sepulang dari Belanda ia mendirikan Rangga Gempol di Dago, Bandung pada tahun 1958.
Demi mengapresiasi sepak terjangnya yang panjang dalam hal seni lukis, pemerintah melalui presiden memberikan penghargaan Satyalancana kepada Barli Sasmitawinata pada tahun 2000.

6.             Basuki Abdullah (1915-1993)
Description: basuki Abdullah salah satu pelukis terkenal indonesia
Basuki Abdullah merupakan pelukis potret yang terkenal di dunia. Ia lahir di Surakarta, 25 januari 1915 dan meninggal pada 5 November 1993.
Pelukis terkenal indonesia yang beraliran realis dan naturalis ini pernah diangkat menjadi pelukis Istana Kerajaan Thailand pada tahun 1960-an dan pelukis resmi Istana Merdeka pada tahun 1974.
Lebih dari itu, obsesinya yang mengejar kemiripan wajah dan bentuk membuat Basuki Abdullah disukai orang-orang kalangan atas. Berbagai negarawan dan istri mereka berlomba meminta agar dilukis olehnya, seperti Bung karno, Pangeran Philip dari Inggris, Pangeran Bernard dari Belanda, Sultan Brunei sampai kaum jetset seperti Nyonya Ratna Sari Dewi.
Bakat melukis Basuki Abdullah terwarisi dari jiwa seni ayahnya, Abdullah Suriosubroto yang juga sebagai pelukis.
Basuki Abdullah memulai pendidikannya di HIS Katolik dan Mulo Katolik Solo, Jawa Tengah. Kemudian ia mendapatkan beasiswa pada tahun 1933 untuk belajar di Academie Voor Beeldende Kunsten Den Haag, Belanda.
Ia juga merupakan salah satu pelukis Indonesia yang mengharumkan nama bangsa, karena pada 6 September 1948, sewaktu penobatan Ratu Yuliana di Belanda Basuki berhasil mengalahkan 87 pelukis kaliber internasional dalam sebuah sayembara yang diadakan di Amsterdam.
Selain di Indonesia, ia sering menyelenggarakan pameran tunggal di luar negeri, seperti Thailand, Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris dan Negara-negara lainnya. Bahkan tidak kurang dari 22 negera di dunia mengoleksi karyanya.

7.             Delsy Syamsumar (1935-2001)
Description: pelukis terkenal indonesia Delsy Syamsumar
Multitalenta, kata itu sangatlah pantas untuk menggambarkan sosok pelukis terkenal Indonesia yang bernama Delsy Syamsumar. Ya, seniman yang digadang-gadang sebagai yang terbaik se Asia Tenggara ini tidak hanya memiliki bakat melukis saja, namun juga dikenal sebagai komikus, ilustrator, desainer dan lain sebagainya.
Hal ini terbukti saat ia berhasil memenangkan penghargaan Art Director terbaik di Asia lewat film yang berjudul “Holiday in Bali” dengan sutradara H. Usman Ismail dalam sebuah Festival Film di Tokyo pada tahun 1962.
Dalam jagad seni lukis, ia bukanlah orang sembarangan. Kerja keras, kedisiplinan dan ketekunannya menghasilkan karya bernilai tinggi yang bisa membuat banyak orang terpukau. Bahkan menjadikan Delsy Syamsumar sebagai satu-satunya pelukis Indonesia yang diberi predikat Litteratures Contemporaines L’ Azie du Sud Est dan II’exellent dessinateur oleh Lembaga Seni dan Sejarah Perancis melalui buku literatur seni dunia yang fenomenal, France Art Journal 1974.
Delsy Syamsumar lahir di Medan pada tanggal 7 Mei 1935. Bakat seni yang beraliran Neo-Klasik ini sudah malai terlihat saat ia masih berusia 5 tahun. Beruntung ia bertemu dengan Wakidi, seorang pelukis ulung pada era Orde Lama. Dari pertemuan itulah Delsy Syamsumar memperdalam ilmu lukis sekaligus terus mengasah bakat yang dimilikinya.
Pernah suatu ketika dalam suatu pameran, buah karyanya dicatat sebagai lukisan termahal bersamaan dengan pelukis kondang lainnya seperti Affandi dan Basuki Abdullah. Hal tersebut mengukuhkan Delsy Syamsumar tidak hanya sebagai pelukis terkenal Indonesia namun juga sebagai salah satu legenda yang ada.
Delsy Syamsumar meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 2001 di Jakarta pada usia 66 tahun. Dan dengan demikian ia meninggalkan 9 orang anak yang sudah dikaruniakan Tuhan kepadanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kalian sangat berharga bagi saya

Survey Monkey

Survey Monkey/Monkey Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan umpan balik untuk membantu mengumpulkan informasi & data pelanggan dari surv...