PERBANDINGAN SUBSIDI INPUT DAN
SUBSIDI OUTPUT PADA SEKTOR PERTANIAN TANAMAN PANGAN
Menurut Nota Keuangan dan RAPBN
2014, subsidi merupakan alokasi anggaran yang disalurkan melalui
perusahaan/lembaga yang memproduksi, menjual barang dan jasa, yang memenuhi
hajat hidup orang banyak sedemikian rupa, sehingga harga jualnya dapat
dijangkau masyarakat.
Pemberian subsidi ke
petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah
lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan yang massal. Pemberian subsidi tidak
saja didasarkan oleh pertimbangan ekonomi, tetapi juga karena desakan dan
dorongan politik dan sosial.
Beberapa
kebijakan kurang tepat. Misalnya, berbagai penelitian sudah
mengingatkan bahwa penggunaan pupuk pada usahatani sawah telah
berlebihan, sehingga pemberian subsidi harga pupuk akan
memperparah keadaan. Namun, pemberian subsidi pupuk yang terus
meningkat mendapatkan dukungan politik dari parlemen maupun masyarakat luas
karena dipandang bijaksana menolong petani yang sebagian besar masih hidup
dalam kemiskinan.
Ada
dua argumentasi yang selalu dijadikan alasan pemberian subsidi kepada
petani, yaitu:
Pertama, sebagai suatu kewajiban pemerintah membantu petani
yang sebagian besar miskin dan tidak mempunyai kapasitas untuk mengembangkan
produksi pertanian sementara bangsa ini begitu bergantung padanya. Kedua, sebagai
upaya melindungi petani miskin dari ancaman ketidakadilan eksternal.
Semenjak program
Bimas Nasional (tahun 1969), pemerintah menyediakan kredit
dengan bunga rendah dan sarana produksi utama (bibit unggul, pupuk, dan
pestisida) dengan harga yang disubsidi. Kebijakan subsidi harga input ini
dipadukan dengan kebijakan stabilisasi harga output melalui penetapan harga
dasar gabah dan pengamanannya oleh Bulog. Setiap tahun sebelum masa tanam musim
hujan, pemerintah menetapkan harga pupuk kimia, pestisida, bibit unggul dan
harga dasar gabah sebagai sistem insentif untuk mendorong adopsi teknologi dan
peningkatan produksi padi.
Penurunan
pemberian insentif dimulai pada akhir tahun 1980-an, yang diawali dengan
penghapusan subsidi pestisida 1989 dan pengurangan subsidi pupuk
K, dan air irigasi (Simatupang dan Rusastra, 2004).Kebijakan insentif
bagi petani padi yang masih dipertahankan adalah kebijakan harga dasar gabah.
Namun, kebijakan ini tidak sepenuhnya efektif, karena gabah yang
ditampung Bulog hanya berkisar 5-7 persen dari total produksi. Akhir-akhir ini
malah menjadi disinsentif, karena harga pasaran gabah dan
beras sudah lebih tinggi dari HPP.
Subsidi
pupuk kadang tidak bermakna, karena proporsi biaya usahatani dari komponen
pupuk kecil saja. Pernah juga timbul debat
antara subsidi untuk pupuk versus subsidi gas untuk
pabrik pupuk. Karena banyak kepentingan bermain di area ini, maka pernah juga
disarankan agar "kembalikan subsidi pupuk kepada petani". Satu
hal yang belum pernah dicoba secara serius adalah subsidi harga output,
walaupun banyak pihak yang menyarankannya.
Perbandingan
karakter dan implikasi subsidi input dengan subsidi output.
Subsidi
input
|
Subsidi
output
|
Bentuknya
adalah subsidi benih, subisidi pupuk, bantuan traktor untuk olah tanah, dll.
|
Pemerintah
membayar sekian rupiah dari tiap kilo produksi petani
|
Penyaluran dana
subsidi ke produsen benih (BUMN), yakni pabrik pupuk, produsen
benih, dan pabrik pestisida.
|
Penyaluran
langsung ke petani, melalui kelompok tani atau Gapoktan.
|
Masalah
yang bisa terjadi misalnya jika benih dan pupuk tidak sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan petani.
|
Jika
subsidi output yang dipilih, maka benih dan pupuk serta sarana produksi lain
dicari sendiri petani, dan bisa lebih tepat.
|
Pemerintah
dan penyuluh mendistribusikan benih dan pupuk yang telah disediakan dengan
anggaran pemerintah
|
Penyuluh
memberi informasi dimana bisa membeli input, harga dan kualitas
|
Pilihan
input terbatas
|
Petani
bebas memilih input usahatani sesuai dengan yang dibutuhkannya
|
|
|
Sedang
subsidi input bentuknya adalah subsidi benih, pupuk, bantuan traktor untuk
olahan tanah, dll, maka dalam subsidi output, pemerintah membayar sekian rupiah
dari tiap kilo produksi petani. Penyaluran subsidi output dapat langsung ke
petani melalui kelompok tani (gapoktan). Sementara itu, pada subsidi input,
penyaluran dana subsidi ke produsen penyedia sarana produksi, yakni pabrik
pupuk, produsen benih, dan pabrik pestisida sehingga subsidi kurang dirasakan
petani.
Jika
subsidi output yang dipilih, maka benih dan pupuk serta sarana produksi lain
dapat dicari sendiri dan dapat lebih tepat sesuai dengan kebutuhan petani.
Masalah yang terjadi dalam pola subsidi input selama ini, benih dan pupuk yang
disubsidi seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan petani.
Selama
ini pemerintah dan penyuluh mendistribusikan benih dan pupuk yang telah
disediakan dengan anggaran pemerintah. Pada subsidi output, penyuluh dapat memberi
informasi di mana petani dapat membeli input produksi dengan harga dan kualias
yang baik.
Terakhir,
pola subsidi output dapat mempersempit ruang korupsi yang bisa terjadi pada
subsidi input dengan modus fee nilai proyek, penggelembungan harga benih, manipulasi
jumlah benih yang telah disebarkan, manipulasi harga ekonomi pupuk,
penggelembungan biaya beli gas untuk bikin pupuk urea, dan lain-lain.
Kini,
berbagai pihak menanti keberanian para calon pemimpin yang akan berkontestasi
dalam Pemilu 2019 untuk menggagas subsidi output sebagai langkah fundamental
dalam membenahi sektor pertanian. Tahun lalu, Kementrian Pertanian mengklaim
produksi beras dalam negeri surplus 17 ton.
Namun,
di satu sisi, Bulog malah mengimpor 500 ribu ton. Sebab tidak mampu membeli
beras petani yang harga pasarnya di atas HPP. Pola subsidi harga output akan
membantu Bulog dalam menyerap beras yang dimiliki petani, sehingga cita-cita
swasemba pangan dapat tercapai.
Untuk mempermudah memahami suatu kenyataan, dibuatlah suatu
model. Perlu diingat, model bukanlah kenyataan itu sendiri. Model hanya
gambaran saja. Kenyataan sesungguhnya bisa sangat rumit. Pada umumnya, ada dua
model yang dibangun, yaitu berupa steady state jika
variable di dalam model dianggap konstan, tidak dipengaruhi faktor lain seperti
waktu. Atau juga kondisi diluar variable yang dimaksud juga tetap, misal tidak
ada pengaruh kondisi sosial politik, bencana alam yang biasa disebut ceteris paribus. Ini yang dijejalkan kepada para
pelajar. Dan ketika pemahaman tersebut dibawa kedunia nyata, tidak bekerja.
Tidak cocok. Kenapa? karena kenyataan adalah sesuatu yang dinamis. Kemudian
muncul teori-teori dinamic modelling,
lebih rumit, karena memperhitungkan pergerakan variable-variable terhadap waktu
atau hal lain, serta memperhitunglan hubungan variable satu dengan lainnya.
Tapi tetap, model dinamik bukan kenyataan karena terlalu banyak variable yang
bahkan kita tidak ketahui. Dan dari variable yang ada, mana yang sebenarnya
berhubungan dengan masalah, mana yang tidak.
Nah, ketika kita memahami hal ini, kita jadi tidak mudah
untuk menjadi judgemental. Main hakim sendiri.
Misal: hal ini titik-titik (isi sendiri) terjadi karena titik-titik (isi
sendiri). Akhir-akhir ini, semua permasalahan ditujukan kepada satu dua sosok
manusia. Pokoknya si dia yang salah.
Untuk
memahami permasalahan beras, saya coba buat model sederhana. Ini tidak ada di
buku manual manapun. Juga tidak ada ahli yang menyampaikannya. Jadi, anggap
saja, kebutuhan beras nasional 27 juta ton per tahun, ini berarti 100% masalah.
Mengenai angka 27 juta ton, ini juga permasalahan sendiri, kita bahas pada lain
kesempatan. Nah, dari 100% kebutuhan beras nasional tersebut, 1.5-2 juta ton
dikuasai oleh pemerintah a.k.a. bulog. kita buat saja untuk menyederhanakan,
rata-ratanya 5% dikuasai oleh pemerintah.
Fokus
pembahasan oleh sebagian para ahli dan media, diseputar 5% ini. Ngutek-ngutek
(bahasa macam apa ini) ya disitu saja. Karena 5% ini lebih bernuansa politis,
dan ini seksi untuk dibahas dan dikuliti. Salah sedikit, pemerintah bisa
wassalam, berganti rezim lainnya. Makanya, pemerintah rezim manapun, akan
mengamankan yang 5% ini. Karena ini adalah koentji!
Tapi
apakah ketika mengamankan permasalahan yang 5% ini kemudian masalah selesai?
Tidak juga. Permasalahan selalu terulang karena permasalahan yang besar itu
justru ada di 95% lainnya, yaitu stok beras yang berada di rumah tangga,
pedagang, penggilingan, dan industri horeka. Kita akan kupas satu persatu apa
masalahnya, dan bagaimana jalan keluarnya agar permasalahan beras ini bisa
diminimalkan. Di 95% inilah masalah sesungguhnya terjadi. Di 95% inilah
terdapat air mata, cucuran keringat dan tetesan darah terjadi. Tidak ada yang
tertarik dengan kenyataan, karena kenyataan seringkali pahit. Tidak ada
gemerlap talkshow disini. Yang ada, hanya panas matahari yang membakar kulit.
Kalau
kita bisa selesaikan, paling tidak meminimalkan masalah di 95% ini,
mudah-mudahan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujud.
Imaginasi saya, jika masalah 95% ini selesai, peran bulog hanya sebagai charity saja, baitul mal, membantu 10% rakyat
Indonesia yang benar-benar berada dilapisan bawah kemiskinan. Masa’ puluhan
tahun, kita bahas daur ulang isu yang sama, kapan move on nya….. Ada hal lain dalam hidup yang
lebih penting dari beras toh?! Disclaemer: ini hanya imaginasi saya saja. tidak
ada dalam teori konvensional Boleh setuju, boleh tidak, mari berdiskusi
dengan baik agar sama-sama mendapat pencerahan. Engkel-engkelan hanya membuat
hati menjadi hitam, dan ilmu tidak akan masuk pada hati yang gelap.
Ketua
Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) 2008-2013 Said Didu menegaskan ada lima
pengertian yang harus diluruskan. Salah satunya yakni status subsidi dan harga
yang ditetapkan pemerintah.
Pengertian
ini penting diluruskan agar penegak hukum tidak melakukan tindakan yang bisa
merugikan petani serta tidak mematikan dunia usaha. Said melalui akun twitter
nya @saididu mengatakan,
ada sua bentuk subsidi di pertanian yaitu subsidi input dan subsidi output. "Pada
beras atau padi terdapat dua jenis tersebut," katanya. Ia menjelaskan,
subsidi input berupa subsidi pupuk, sementara bantuan sarana seperti traktor
bukan subsidi tapi bantuan pemerintah. Subsidi output adalah subsidi beras bagi
rakyat miskin yang dulu dikenal dengan nama raskin dan kini diubah menjadi
rastra.
Subsidi
input sendiri, kata dia, ditujukan untuk menekan biaya produksi petani agar
mereka bisa sejahtera, bukan untuk menekan harga jual produk petani. Ada
kebijakan lain yang ditetapkan pemerintah untuk mendorong kesejahteraan petani
yakni adanya Harga Patokan Pemerintah (HPP) gabah maupun beras.
HPP
adalah harga pembelian terendah gabah/beras Bulog kelas medium produk petani.
"Ingat ini harga terendah!!!" tegasnya.
Karena
yang diatur adalah harga terendah, maka penegak hukum tidak berwenang melarang
petani jika menjual gabah atau beras mereka melebihi HPP. "Adalah lucu
mengaitkan harga jual petani dengan alasan mendapatkan subsidi sehingga harus jual
murah. Ini tidak ada aturannya," tambah Said.
Penerapan
HPP minimum bertujuan untuk melindungi petani bukan untuk menekan harga petani.
Menurutnya, prinsip pemahaman bahwa tiap yang mendapatkan subsidi akan diatur
harganya adalah otoriter. Bahkan lebih otoriter dari negara komunis.
Ia
melanjutkan, khusus untuk beras harga produk yang dikendalikan adalah Harga
Pembelian Minimum (HPP) Bulog dan harga jual beras raskin/rastra. Harga
pembelian minimum Bulog terhadap produk petani tidak lain adalah untuk melindungi
petani, bukan melarang petani menjualnya lebih mahal.
"Saya
sangat kecewa pernyataan pejabat bahwa karena terima subsidi maka melanggar
hukum dan merugikan negara karena menjual lebih mahal," kata dia.
Subsidi sektor pertanian menjadi kebijakan
yang diterapkan di banyak negara. Signifikansi campur tangan pemerintah di sektor pertanian tidak dapat dipisahkan dari aspek strategis
sektor tersebut dalam membangun kedaulatan bangsa. Pertanian menyangkut soal pangan
yang
berkait erat dengan
mati hidupnya sebuah
bangsa serta
potensial menjadi subjek
tekanan dunia internasional.
Di Indonesia, subsidi di bidang pertanian (baca subsektor pertanian) menjadi instrumen kebijakan distributif pemerintah dalam membangun sektor pertanian. Implementasi kebijakan
subsidi diselenggarakan untuk meningkatkan kapasitas produksi
petani serta bentuk komitmen pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan.
Secara historis, instrumen kebijakan subsidi hadir di setiap periode pemerintahan. Di masa
orde baru, selain untuk meningkatkan kapasitas produksi, subsidi diterapkan sebagai
strategi demi memodernisasi pertanian. Saat
ini subsidi yang diberikan kepada sektor pertanian semakin meluas. Di era reformasi, subsidi diberikan tidak hanya pada komponen sarana produksi petani namun juga dialokasikan atas bunga usaha kredit program dan premi asuransi
usaha tanam padi.
Dalam
postur anggaran
nasional, subsidi di
sektor pertanian terwujud dalam subsidi
non energi. Di rentang waktu lima tahun terakhir, besaran
angka subsidi non energi secara umum
terus meningkat. Dalam RAPBN 2016, alokasi subsidi pertanian sebesar
Rp.47.561,5 milyar. Jumlah ini terdiri atas subsidi pupuk, subsidi benih dan subsidi bunga kredit
program.
Secara agregat
jumlah ini
mengalami peningkatan dari
tahun
sebelumnya yang hanya mencapai
angka Rp. 42.899,1 milyar.
Memperhatikan
besaran anggaran dan signifikansi dampak yang diharapkan muncul,
pembenahan atas tatakelola kebijakan subsidi menjadi keharusan. Urgensi perbaikan tidak
terlepas dari belum efektifnya kebijakan subsidi.
Alih-alih menjadi alat memacu produktivitas pangan di tingkat lokal, implementasi program-
program subsidi belum sepenuhnya berjalan optimal. Hal ini tergambarkan dalam pelbagai
capaian program subsidi yang ada.
Realisasi Program KUR yang tersalur di bidang pertanian
relatif rendah. Dari total lima sektor
yang dibiayai KUR, penyaluran KUR di sektor pertanian berada di bawah angka 20%. Kondisi serupa juga muncul
dalam
Program Asuransi
Usaha Tanam Padi
(AUTP).
Dari target luas
kepesertaan sebanyak 1 juta hektar di 2015, sampai bulan Desember, realisasi luas sawah
yang
terhimpun dalam Program AUTP baru mencapai angka ±
23%.
Dalam praktik,
belum optimalnya capaian
program-program subsidi dipengaruhi pula oleh disain kebijakan yang ditetapkan. Dalam Program Benih Bersubsidi,
efektivitas implementasi terdegradasi oleh pelaksanaan
Program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU).
Hal ini
setidaknya
tergambarkan dari
realisasi penyaluran benih bersubsidi di
PT Pertani.
Sampai dengan 31 Mei 2016, Daftar Usulan Penerima Benih Bersubsidi yang diajukan kelompok
tani/petani baru mencapai
± 5
juta kg atau 9,8% dari total pagu benih bersubsidi yang diterima PT Pertani. Rendahnya penyerapan benih bersubsidi salah satunya disebabkan karena petani
lebih memilih menggunakan
benih gratis yang terwujud melalui Program Bantuan Langsung
Benih Unggul.
Lebih lanjut, ketepatan juga menjadi sebuah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
kebijakan subsidi. Dalam
penyaluran pupuk
bersubsidi, pemenuhan
atas sisi ketepatan
menjadi sebuah masalah yang relatif
kompleks.
Dalam penebusan pupuk bersubsidi, kelompok tani/petani kerap berpedoman kepada dokumen usulan kebutuhan pupuk yang disampaikan kepada pemerintah daerah. Hal ini potensial memunculkan permasalahan
turunan, misal persepsi kelangkaan, mengingat alokasi riil pupuk bersubsidi kerap dibawah
usulan
yang
diajukan kelompok
tani/petani.
Tantangan
lain yang dipandang
menjadi
penambah urgensi dilakukannya kajian
subsidi yakni belum optimal pengawasan
atas implementasi program-program subsidi. Monitoring
dan
evaluasi atas berjalannya program
subsidi belum sepenuhnya berjalan optimal. Hal ini setidaknya dapat
diikuti dalam pengawasan terhadap penyaluran benih bersubsidi. Di banding komoditas pupuk bersubsidi, pengawasan atas penyaluran benih bersubsidi relatif minim.
Signifikansi kebijakan subsidi
di bidang pertanian setidaknya
muncul guna menjawab
dua tantangan utama. Pertama, perwujudan daulat pangan bangsa. Di tengah ketergantungan terhadap komoditas pangan impor, kebijakan subsidi diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas usaha tanam petani.
Tantangan kedua berkaitan
dengan peningkatan kapasitas dan
perlindungan petani. Subsidi diharapkan mampu meringankan beban
biaya
tanam petani. Walaupun proporsi komponen
subsidi dalam struktur usaha tanam relatif rendah,10 namun menilik relatif rendahnya nilai
tukar petani, alokasi subsidi yang diberikan pemerintah akan mengurangi ongkos produksi tanam yang mestinya dikeluarkan petani. Selain itu,
di
tengah resiko usaha tani yang relatif
tinggi, subsidi
(dalam bentuk asuransi) juga menjadi piranti pemerintah untuk melindungi petani
ketika mengalami gagal panen.
Memperhatikan hal diatas, kebijakan subsidi di bidang pertanian
menjadi pilihan
instrumen yang mewarnai hampir keseluruhan era
pemerintahan. Hal ini bisa dicermati ditiap periode
pemerintahan. Di masa orde baru, subsidi diterapkan guna mendukung upaya swasembada pangan. Berjalannya waktu, peran subsidi dalam
membangun sektor pertanian semakin
dianggap krusial. Subsidi yang diberikan pun semakin
beragam. Di era reformasi, subsidi tidak lagi terbatas pada pupuk, dan benih, namun juga diberikan terhadap bunga kredit program dan premi asuransi pertanian.
Di Indonesia, secara
umum,
model kebijakan
subsidi di
bidang
pertanian menganut pola subsidi input. Praktiknya, subsidi diberikan tidak langsung kepada petani. Subsidi disalurkan
kepada petani melalui produsen komoditas barang/jasa yang
disubsidi.
Adapun bentuk-bentuk subsidi yang berjalan saat ini sebagai
berikut: Pertama, pupuk bersubsidi. Pionir program subsidi di bidang pertanian adalah subsidi pupuk. Implementasi pupuk bersubsidi telah dilaksanakan sejak tahun 1970-an sebagai upaya merealisasikan
swasembada pangan. Program Pupuk Bersubsidi dialokasikan kepada petani dengan mengacu kepada Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Saat ini subsidi pupuk diperuntukkan bagi
petani, pekebun, peternak, dan pembudidaya ikan dan/atau udang. Adapun jenis pupuk yang disubsidi meliputi
pupuk urea, pupuk SP 36, pupuk ZA
dan
pupuk NPK.
Kedua, benih bersubsidi. Penggunaan benih unggul bersertifikat memegang peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan hasil produksi petani. Menyadari hal tersebut, sejak tahun 2000, pemerintah mulai mensubsidi petani atas pembelian benih unggul bersertifikat. Peruntukkan benih subsidi diutamakan bagi kelompok tani/petani yang tidak
mendapatkan bantuan benih dari sumber pendanaan lainnya (pusat, provinsi, atau kabupaten/kota).
Ketiga, subsidi dalam
kredit program. Kebijakan subsidi atas kredit program relatif baru. Kebijakan ini dilaksanakan sejak tahun
2008. Seiring waktu,
implementasi kebijakan subsidi atas kredit program mengalami sejumlah
perubahan. Dalam kurun waktu 2008-2014, pola kredit
program bersubsidi dilaksanakan melalui tiga fitur, yakni Kredit Usaha
Pembibitan Sapi (KUPS), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-
RP).
Melalui mekanisme kredit tersebut, pemerintah memberikan subsidi terhadap bunga
pinjaman. Terhitung sejak 2016, skim kredit
KKPE,
KPEN-RP dan KUPS dilebur ke dalam KUR.
Dengan mekanisme tersebut, debitur yang tergabung dalam KUR mendapatkan subsidi atas
bunga
dan penjaminan
(subsidi bunga untuk KUR Mikro sebesar 10%,
KUR
Ritel sebesar 4,5%, dan KUR Penempatan TKI sebesar 12%).
Adanya perubahan skim kredit bidang pertanian tidak
dapat dipisahkan dari realisasi serapan kredit. Walaupun kredit program (KUPS, KKPE, KPEN-RP) menerima subsidi bunga dari
pemerintah, realisasi penyalurannya relatif rendah. Rerata penyaluran kredit program berada di angka 18,51 %, jauh lebih rendah ketimbang KUR yang mencapai angka penyaluran sebesar 99,65 %.
Keempat, subsidi premi atas Asuransi
Usaha Tani Padi (AUTP).
Program AUTP merupakan amanah UU No. 19
tahun
2013
tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani.
Asuransi Pertanian
sendiri dituangkan dalam
bentuk perjanjian
antara petani dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan
risiko
Usaha Tani. Petani yang tergabung dalam program AUTP akan menerima ganti rugi maksimum sebesar Rp. 6 juta per hektar per musim tanam saat mengalami
gagal panen.
Subsidi pemerintah dalam program
AUTP dibayarkan terhadap premi asuransi. Pemerintah
membayar 80 % dari nilai premi keikutsertaan petani dalam program AUTP. Melalui kebijakan tersebut, dari nilai premi sebesar
Rp. 180 ribu/ha/masa tanam, pemerintah melalui Kementerian Pertanian memberikan
subsidi sebesar
Rp. 144
ribu/ha/masa
tanam. Petani menanggung pembayaran premi sebesar Rp. 36 ribu/ha/masa tanam. Tabel 2.4. memberikan
gambaran capaian pelaksanaan Program AUTP sejak diluncurkan di
triwulan ketiga 2015.
Penyelenggaraan kebijakan
pupuk bersubsidi melibatkan
banyak institusi. Institusi
yang terlibat merentang dalam pelbagai tingkatan, baik di level pusat,
daerah, maupun yang terhimpun dalam organisasi-organisasi di
tingkatan lokal. Tiap
institusi tersebut memiliki peran uniknya tersendiri.
Perhimpunan
Sarjana Pertanian Indonesia (PSPI) beranggapan sebaiknya pemerintah mendatang
cukup menyediakan subsidi output hasil sektor pertanian. Dengan menjamin hasil
produksi, otomatis akan mengangkat kesejahteraan petani.
"Untuk
merangsang munculnya petani baru muda dan professional sudah saatnya subsidi
input diganti dengan subsidi output yang akan menjamin harga jual komoditas
petani," ujar Ketua Umum SIPI Arif Satria di Jakarta, kemarin.
Subsidi
output hasil sektor pertanian yang dimaksud disini dapat berupa Harga Dasar
Gabah (HDG) seperti dijalankan rezim pemerintahan Orde Baru lalu. Hasil panen
produk pertanian langsung dibeli pemerintah. Adapun, subsidi input berupa
subsidi pupuk, dan benih. Tahun ini,subsidi pupuk dianggarkan Rp 18,5 triliun.
Namun,
Arif mengingatkan, pemberian subsidi yang lebih menitikberatkan pada input
pertanian tidak membuat ekonomi pedesaan bergariah. kualitas sumber daya
manusia manusia sektor pertanian makin menurun, sekitar 70 % hanya berpendidikan
sekolah dasar. Di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat contohnya, sekitar 43,7 %
merupakan petani dengan usia 45-60 tahun.
Karenanya,
pemberian subsidi output yang akan diberikan kepada petani akan membuat
agroindustri memperoleh pasokan bahan baku dengan harga yang relatif lebih
murah. Menurut Arif, aktifitas di sektor agroindustri inilah yang akan
memberikan dampak terhadap penguranang pengganguran dan kemiskinan.
Disisi
lain, subsidi yang diberikan pemerintah selanjutnya akan kembali kepada negara
melalui instrumen pajak dan efisiensi dari beban pemerintah dalam menanggulani
kemiskinan dan pengangguran. Itu dapat terwujud, apabila desa dijadikan sebagai
pertumbuhan ekonomi baru melalui tumbuhnya agroindustri yang berkelanjutan.
"Tumbuhnya agroindustri di pedesaan akan mengurangi
pengangguran,kemiskinan dan arus informasi dan arus informasi," ujar Arif.
Dia
menambahkan, agroindustri pedesaaan juga akan memberikan nilai tambah usaha
pertanian dan sekaligus pintu masuk terciptanya reforma agraria secara mandiri.
Anggota
Komisi IV DPR-RI Habib Nabiel Almusawa berpendapat, subsidi untuk petani
mungkin ada baiknya berasis "output" bukan seperti selama ini
berbasis input.
"Sebagai
contoh subsidi benih dan pupuk. Subsidi ini rawan kebocoran dan penyelewengan sehingga
petani tidak sepenuhnya menikmati," ujarnya dalam keterangan pers kepada
wartawan di Banjarmasin, Kamis malam (19/6). Oleh karenanya menurut legislator
asal daerah pemilihan Kalimantan Selatan itu, subsidi berbasis input perlu
dihapus secara bertahap dan diganti dengan subsidi berbasis output.
Alumnus
Institut Pertanian Bogor (IPB) Jawa Barat itu mengungkapkan, di berbagai negara
maju, subsidi sudah berbasis output, seperti harga jual, fasilitas pengolahan sampai
penghapusan bea ekspor.
Ia
menjelaskan, subsidi berbasis output dasarnya adalah jaminan bahwa hasil panen
dibeli oleh pemerintah dengan harga yang menguntungkan petani. "Kemudian,
hasil panen tersebut dijual pemerintah dengan harga yang terjangkau konsumen.
Selisih harga beli dan jual tersebutlah yang disubsidi pemerintah,"
ujarnya.
Dikatakannya,
harga pembelian oleh pemerintah tersebut, tentu disesuaikan dengan kualitas
produk. Semakin tinggi kualitasnya tentu semakin tinggi juga harganya, ini
lebih adil dan mendidik.
Dengan
jaminan pasar tersebut, kata dia, para petani akan lebih bersemangat.
"Bukan hanya bersemangat dalam bekerja, tetapi juga bersemangat dalam
belajar untuk mencari tahu cara terbaik menghasilkan produk yang
berkualitas," jelasnya. Menurut dia, sebenarnya Indonesia sudah berpengalaman
dalam menerapkan subsidi berbasis output. Misalnya pada praktek harga pembelian
pemerintah (HPP) dalam beras, gabah dan kedelai. "Namun pada praktek HPP
yang ada sekarang ini masih ada unsur subsidi inputnya, yaitu subsidi pupuk dan
benih," ungkapnya.
Padahal
menurut dia, subsidi input sudah saatnya sedikit demi sedikit dikurangi dan
pada akhirnya dihapus total. Sebaliknya dengan subsidi output, sedikit demi
sedikit dinaikkan. "Akhirnya pada suatu saat nanti yang ada hanya subsidi
output murni. Subsidi yang minim kebocoran dan sepenuhnya untuk petani,"
kata Habib Nabiel.