Nah, yang ini adalah cerpen asli karangan aku sendiri (Anggi Kusumah). dibaca yah!!! sangat menyentuh lohh.. lebayyy.. hehehee
Ilalang di Pinggir Jalan
Oleh: Anggi Kusumah
Banyak insan tuhan yang hanya
mementingkan diri sendiri. bahkan hanya untuk kesenangan semata, sanggup
menjalankan hal-hal yang tak rasional hingga yang berbau negatif pun ikut andil
dalam pemenuhan syarat resminya perilaku menyimpang. Bagiku, tak ada satu pun
orang yang ingin ikut serta masuk dalam perangkap tak bertuan itu. Semua itu
berlangsung tanpa adanya pagar bersilang yang menghalaunya karena insan itu buta
akan sang pencipta dan tuli akan akhirat yang setia menanti kepulangannya. Sama
halnya yang dialami oleh teman-temanku, mereka tak tahu apa yang dilakukannya
itu benar atau salah, mereka hanya tahu apa yang dilakukannya itu sejalan
dengan pemikiran mereka saja. Melihat hal tersebut, aku hanya melihat tingkah
laku serta sikap teman-temanku yang mulai membaurkan dirinya pada pergaulan
bebas yang tak bermoral. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut yang sebenarnya
dekat denganku, aku mencari berbagai referensi di dunia maya dan membatasi
pergaulanku dengan teman-temanku. Maka tak heran jika aku tidak begitu akrab
dengan teman-temanku yang putus sekolah itu. Lain dunia, maka lain juga
pemandangannya. Begitulah rasanya jika mempunyai teman yang putus sekolah.
Setiap hari di sekolah, aku hanya
mengikuti alur jalannya jam sekolah tanpa adanya berbuat hal yang akan
menjerumuskan aku ke jurang tanpa dasar, seperti apa yang dilakukan oleh
teman-temanku. Aku tahu sebenarnya teman-temanku tak ingin melakukan hal-hal
seperti berbicara kotor, merokok, berlagak premanisme, serta hal yang buruk
lainnya yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Semua hal tersebut
terpaksa dilakukannya, karena bagi teman-temanku hal tersebut adalah budaya
yang wajib dilaksanakan. Tanpa budaya tersebut, teman-temanku merasa
kehidupannya bak berjalan di atas roda.
Saat-saat hening, aku terdiam dan
membayangkan betapa dunia yang fana ini banyak insan-insan yang kurang
memelihara lidahnya dan aniaya kepada diri sendiri. Dan aku teringat ibuku
pernah berkata apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya paedah dan
jika hendak mengenal orang yang berilmu, bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Dan satu hal lagi kata yang di sematkan ibuku adalah cahari olehmu akan sahabat
yang boleh dijadikan obat.
Pada hari itu usai pulang dari
sekolah, gerah dan dahaga yang menggerogoti kerongkonganku. Langsung ku buka
pintu kulkas yang ada di sudut ruang makan dan mengambil sebuah botol berisi
air putih yang sejuk.
“Kamu sudah pulang nak,” tanya
ibuku.
“Iya bu,” jawabku sambil menutup
botol.
“Kok pulangnya cepat?”
“Kan hari ini Jum’at bu,” jawabku
sembari membuka sepatu.
“Ya udah, jangan lupa makan ya nak!,”
jawab ibuku sambil melangkahkan kaki ke dapur.
“Iya bu,” jawabku meninggalkan
kulkas dan berjalan ke arah kamar.
Setelah makan, aku segera mandi dan
bergegas ke masjid untuk shalat Jum’at, sebelum masuk masjid aku berwudhu
terlebih dahulu untuk membersihkan najis yang menempel di jasmani dan rohaniku.
Saat aku memasuki masjid, terasa sejuk dan betapa leganya hati ini. Kulihat
barisan hamba Allah sahaya yang sedang duduk bersila dan membaca surat Yasin
sembari menunggu waktu shalat tiba. Aku juga ikut membaca surat Yasin dengan
harapan ingin meraih pahala yang di ridhoi Allah. Disela-sela aku membaca surat
Yasin, ada saja orang-orang yang lewat di sampingku dan bersalaman denganku.
Aku merasa tidak terganggu dengan hal tersebut, malah aku merasa lebih
dihargai. Kulihat jarum jam yang tajam yang masih berjalan menunjukkan waktu
shalat telah tiba, maka tak segan mu’adzin mengambil pengeras suara kemudian
mengumandangkan seruan untuk shalat, tak lupa pula para jama’ah shalat Jum’at
merapatkan syafnya. Tak berlangsung lama, azan pun berlalu dan datanglah
khotbah yang menyapa para jama’ah. Dalam waktu khotbah, kulihat para jama’ah
tak kalah ributnya dengan khatib, dan datang sebuah kalimat yang di lemparkan
oleh seorang temanku.
“Jama’ahnya sangat ribut ya Nggi,”
dengan mengkerutkan keningnya.
Aku hanya diam dan menundukkan
kepala dengan bicara dalam hati
“Kamu juga ribut, apabila kita ribut
pada saat khotbah, maka tidak sah shalat Jum’atnya”
Melihat aku tidak menjawab, temanku
langsung menundukkan kepalanya dan sepertinya dia sudah mengerti apa yang aku
maksud. Tak berselang lama shalat pun tiba, para jama’ah segera bangkit dan
merapatkan kembali syafnya serta mengisi syaf yang kosong.
Aku pulang dari shalat Jum’at
bersama teman-temanku Irga, Darta, Alda, dan Andra. Mereka adalah temanku sejak
kecil. Langkah demi langkah kami meniti jalan menuju ke rumah masing-masing
sembari berbincang-bincang yang tak tahu apa maksudnya. Kemudian dengan nada
yang agak keras aku sedikit berteriak.
“Tunggu!,” dengan mengangkatkan
tanganku ke atas.
“Ada apa Nggi?,” jawab Andra.
“Apa kalian tidak menyadari apa yang
dilakukan kalian di masjid tadi?”
“Apa yang kami lakukan?” jawab
teman-temanku serentak.
“kalian telah berbuat dusta hari
ini,” sambil menunjukkan tangan ke arah teman-temanku.
“Dusta apa?” jawab Irga.
“ibuku pernah berkata apabila
terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya paedah,” jawabku.
“Maksudnya?,” tanya Alda.
“Apabila kita dapat menjaga lidah
kita, maka banyaklah kita mendapat pahala”
Mendengar kata-kataku itu,
teman-temanku hanya tertawa dan berbicara kotor di depanku.
“Itu sih aku sudah tahu,” kata Darta
dengan sinisnya.
“Kalau kamu sudah tahu, kenapa kalian
berbuat hal demikian?,” tanyaku.
“Berbuat apa?,” tanya teman-temanku.
“Seperti bicara kotor, membicarakan
orang lain, menghina, dan waktu di masjid kalian malah asyik ngobrol,” jawabku.
“oh, itu khilaf,” jawab Irga
singkat.
“Segampang itu kalian mengatakan
khilaf, bagaimana hati orang yang kalian hina?” tanyaku lagi.
Mereka hanya diam dan kami sudah
sampai dirumah masing-masing. Berselang satu jam, terdengar suara hentakan kaki
yang beralaskan sedal jepit dan terdengar seseorang mengetuk pintu rumahku. Ku
lihat dari jendela kamarku yang kebetulan dekat dengan teras rumahku, ada
sesosok orang yang duduk di kursi teras rumahku, dia adalah Arga. Tak perlu
berpikir lama aku segera membuka pintu dengan perlahan tapi pasti.
“Hai Arga, ada apa?,” tanyaku
basa-basi.
“Cuma mau main aja,” jawab Arga
sedikit gugup.
“Ayo masuk!” ajakku.
Aku mengambil dua gelas jus buah di
dapur, dan mempersilahkan Arga meminumnya.
“Sesesesebenarnya ada yang mau aku
katakan padamu Nggi,” kata Arga sedikit gemetar.
“Kamu mau mengatakan apa Ga?,”
jawabku penasaran.
“Apa yang dikatakan kamu itu tadi
benar sekali,” dengan nada yang menyenangkan.
“Terus, kenapa kamu berpihak dengan
Darta, Alda, dan Andra?,” jawabku sedikit kesal.
“Aku hanya ingin mereka senang
denganku, dan mengganggap bahwa aku ini anak gaul dan kekinian,” jawabnya
sambil menundukkan kepalanya.
“Aku tahu posisimu sekarang, tinggal
kamu saja mau pilih kedustaan atau kebaikan”
“Aku mau jadi orang yang baik, tapi
aku harus mengikuti pergaulan yang mereka lakukan supaya mereka mau berteman
denganku,” jawab Arga mulai meneteskan air mata.
“Kita harus punya pendirian yang
tetap, tak mudah tergoyahkan oleh angin apapun, hidup kita ini bukan orang yang
menentukan, melainkan diri kita sendiri,” sambil menepuk pundak Arga.
Tak lama kami berbincang, datanglah
Andra dengan wajah yang penuh dengan keringat. Dengan cepat ia melepaskan alas
kakinya kemudian duduk di samping Arga.
“Aku tahu apa yang kamu inginkan Ga,
kamu ingin menjadi orang biasa dan tidak mau berbuat dusta. Karena aku juga
ingin begitu, itulah sebabnya aku kesini,” kata Andra sedikit ngos-ngosan.
“Kita
harus membahagiakan hati orang lain, tetapi kita juga harus menjaga diri kita
sendiri dan tidak berlebihan sampai kita yang akan menjadi tumbalnya,” kataku.
Keesokan
harinya seperti biasa, pulang dari sekolah kami bermain di halaman rumahku
sambil duduk-duduk disana. Darta dan Alda merasa aneh kepada Arga dan Andra,
mereka melihat sikap Arga dan Andra yang berbeda seperti biasanya.
“Kok,
kenapa Andra dan Arga bersikap aneh sekarang?,” tanya Darta.
“Saya
sudah menerka, kalian pasti merasa aneh dengan Arga dan Andra,” jawabku sedikit
mencibir.
“Jangan-jangan
kamu sudah mencuci otak mereka,” kata Alda.
“Emang
saya dukun, pakai cuci otak segala, yang ada itu mereka sudah sadar atas apa
yang mereka telah perbuat selama ini,” jawabku sedikit keras.
“Oh
gitu, kalo begitu saya ingin mengaku, sebenarnya saya merasa bersalah selama
ini. Saya merasa tidak ada gunanya hidup dengan dusta,” jawab Darta meraih
tanganku.
“Saya
juga sadar, bahwa selama ini saya cuma ikut-ikutan saja. Itu semua demi kalian
supaya kalian mau berteman dengan saya,” sahut Alda dengan mata yang berbinar-binar.
“Sudahlah
kawan, kita semua pasti ingin menyenangkan hati orang-orang yang ada di dekat
kita. Hanya kita saja kurang tahu bagaimana cara menyenangkan hati semua orang
tanpa kita yang akan kena getah hitamnya,” jawabku menenangkan teman-temanku.
Akhirnya
teman-temanku saling mengerti satu sama lain dan mereka akhirnya tahu bahwa
mereka sama-sama ingin jadi orang lebih baik. Aku sangat senang sekali melihat
pemandangan baru ini, betapa indahnya dunia tanpa adanya ketidak salah pahaman.
Itulah namanya teman, kita harus saling memahami satu sama lain baik dari segi
sikap maupun dari segi perilaku yang di tuturkan. Itulah sebabnya dalam
berteman aku memilah teman yang baik maupun yang kurang baik, karena bagiku
semua orang itu baik tapi keinginan yang mau jadi panutan semua oranglah yang
membuat kita menjadi lupa diri bahwa kita adalah manusia.
Langsung aja download filenya di sini bro, sis, gan, om, tan, "GREENTHREE"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya