animasi-bergerak-selamat-datang-0276

Sabtu, 19 Mei 2018

Makalah "Mekanisme Pembangunan Bersih"


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, sehingga tugas makalah muatan lokal tentang “Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)” dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini juga sebagai tugas yang harus dikerjakan untuk sarana pembelajaran bagi kita. 
Makalah ini kami buat berdasarkan apa yang telah kami terima dan juga kami kutip dari berbagi sumber baik dari buku maupun dari media elektronik. Semoga isi dari makalah ini dapat berguna bagi kita dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai apa saja yang ada dalam program pemerintah untuk pengelolaan lingkungan.
Selayaknya manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan, maka dalam pembuatan makalah ini masih banyak yang harus di koreksi dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat dianjurkan guna memperbaiki kesalahan dalam makalah ini. Demikian, apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam isi makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.



Taba Penanjung,  31 Januari  2017



Penulis














DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang Masalah……………………………………………………………..1
B.            Rumusan Masalah…………………………………………………………………...6
C.            Tujuan……………………………………………………………………………….6

BAB II PEMBAHASAN
A.           Pengertian Mekanisme Pembangunan Bersih……………………………………….7
B.            Tujuan MPB…………………………………………………………………………7
C.            Fungsi dari MPB…………………………………………………………………….7
D.           Sektor-Sektor yang Dapat Berpartisipasi dalam MPB………………………………8
E.            Potensi MPB di Indonesia …………………………………………………………10
F.             Prinsip-Prinsip Dasar MPB………………………………………………………...11
G.           Tahapan-Tahapan yang Harus Dilalui Suatu Proyek MPB………………………..12
H.           Siklus Proyek MPB………………………………………………………………...14
I.               Mempersiapkan PDD dan MPB Skala Kecil………………………………………15

BAB III PENUTUP
A.           Rangkuman………………………………………………………………………...20

DAFTAR PUSTAKA












BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Perubahan Iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan  manusia dalam penggunaan bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan  kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK)  terutama karbondioksida (CO2) yang kontribusi terbesar berasal dari negara  industri. Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi  matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan  pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim.
Keberadaan gas rumah kaca di atmosfir akan bertindak seperti kubah yang  menyelimuti bumi dan mencegah energi panas matahari yang dipantulkan oleh  bumi mengalir ke angkasa sehingga udara akan semakin bertambah panas. Akibat  yang ditimbulkan dari pemanasan global tersebut antara lain terjadinya perubahan  cuaca dan curah hujan serta pelelehan gunung es kutub utara dan selatan. Di  negara-negara tropis pergeseran musim panas dan hujan telah mengakibatkan  dalam perencanaan penanaman suatu jenis tanaman sedangkan di negara-negara beriklim dingin pada musim panas temperatur udara bertambah tinggi dan pada  musim dingin suhu udara bertambah dingin. Semakin banyaknya jumlah es dari  gunung es di kutub utara dan selatan yang meleleh mengakibatkan permukaan air laut bertambah tinggi. Perubahan ini mengakibatkan banyak daerah baru yang menjadi sering tergenang oleh air laut.
Gas rumah kaca dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil,  mulai dari memasak sampai Pembangkit Listrik. Karena kegiatan tersebut sangat  umum dilakukan manusia, maka seiring dengan meningkatnya populasi manusia,  konsentrasi Gas rumah kaca pun meningkat. Akibatnya, semakin banyak sinar  yang terperangkap di dalam bumi. Perubahan iklim berubah secara perlahan tapi  pasti. Suhu permukaan bumi pun memanas. Panas ini kita kenal sebagai  pemanasan global (Global warming).
Masyarakat internasional bertemu pertama kalinya untuk membahas  situasi lingkungan hidup secara global di Stockholm pada Konferensi PBB  tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human Environmental) tahun 1972. Pada  peringatan kedua puluh tahun pertemuan Stockholm tersebut, digelarlah  konferensi bumi di Rio de Jainero tahun 1992. Di konferensi ini ditandatanganilah  Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). UNFCC memiliki tujuan  utama berupa menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada  di tingkat aman. UNFCCC mengatur lebih lanjut ketentuan yang mengikat  mengenai perubahan iklim ini. Pada tahun 1995 konvensi perubahan iklim mulai  memiliki kekuatan, dan untuk pertama kalinya diselenggarakan COP I  (Conference of the Parties) I di Berlin, Jerman, pada tahun yang sama. Mandat  Berlin, hasil dari pertemuan COP I dijadikan sebagai acuan untuk diadopsi Protokol Kyoto pada pertemuan ketiga COP tanggal 11 Desember 1997 di kota  Kyoto, Jepang.
Protokol Kyoto merupakan suatu dokumen protokol yang diformulasikan  di bawah perjanjian perubahan iklim PBB (United Nations Framework  Convention on Climate Change – UNFCCC). Protokol ini merumuskan secara  rinci langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang  meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian  internasional perubahan iklim PBB, yakni “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca  dalam atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan manusia  atau antropogenis pada sistem iklim dunia”.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk  mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca  lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan  global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi  rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. 
Pada tanggal 16 Februari 2005, Protokol Kyoto mulai berlaku setelah  berhasil mengumpulkan jumlah minimum negara yang meratifikasinya. Sejauh  ini, 188 negara telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto termasuk  Amerika Serikat sebagai kontributor emisi terbesar dunia.
Protokol Kyoto menggariskan 37 negara industri (disebut negara Annex I)  diwajibkan untuk masing-masing mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990. Angka ini disepakati berdasarkan rekomendasi yang tertera dalam laporan panel ilmuwan PBB IPCC.
Negara yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dibagi dalam dua  kelompok, yaitu negara Annex I, yaitu Negara industri maju yang dianggap telah  menyumbangkan emisi gas rumah kaca sejak revolusi industri tahun 1850-an; dan negara Non-Annex I, yaitu kelompok negara berkembang yang tidak termasuk  dalam Annex I, dimana kontribusi gas rumah kacanya jauh lebih sedikit, serta  memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Protokol Kyoto  mewajibkan penurunan emisi gas rumah kaca oleh negara Annex I sebesar 5,2%  di bawah tingkat emisi 1990 dalam kurun waktu 2008-2012. Negara Non-Annex I  tidak diwajibkan menurunkan emisi tapi boleh melakukannya dengan sukarela.




Protokol Kyoto memungkinkan diterapkannya tiga mekanisme fleksibilitas
(flexibility mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap memenuhi komitmennya
dengan biaya yang tidak terlalu tinggi. Ketiga mekanisme tersebut adalah:
1.             JI (Joint Implementation), kerjasama yang dilakukan antara sesama negara                                         Annex I (negara maju) dalam upaya mereka menurunkan emisi gas rumah  kaca; biasanya kerjasama ini dilakukan dengan investasi asing antar  negara Annex I yang diimbangi dengan unit penurunan  emisi (Emission  Reduction Unit–ERU); 
2.             IET (International Emission Trading), perdagangan ERU antara Negara  AnnexI;
3.             CDM (Clean Development Mechanism), pada dasarnya adalah gabungan  dari JI dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara  non-Annex I dengan persyaratan mendukung pembangunan berkelanjutan di negara non-AnnexI).

CDM merupakan satu satunya mekanisme kerjasama antara negara Annex  I dengan negara non-Annex I dalam upaya mencapai target pengurangan emisi gas   rumah kaca yang harus dipenuhi oleh negara Annex I. Mekanisme ini bisa  diistilahkan sebagai perdagangan karbon, dimana negara non-Annex I mengembangkan suatu proyek yang ramah lingkungan yang dapat mengurangi reduksi gas karbon kemudian negara  Annex I “membeli” reduksi emisi (karbon) yang dihasilkan dari proyek tersebut. Dalam mekanisme ini negara-negara maju yang harus membatasi atau menurunkan emisinya akan mendapatkan sertifikasi penurunan emisi, dikenal juga secara generik sebagai kredit karbon atau carbon credits.  Untuk CDM, kredit karbon ini disebut Certified Emissions Reduction, CER.  Transfer sertifikasi penurunan emisi ini biasanya melalui perdagangan, dengan harga yang ditentukan oleh pasar sesuai dengan tingkat permintaan dan pasokan dari sertifikasi itu.  Mekanisme kerjasama ini melahirkan sebuah pasar yang biasa disebut sebagai “pasar karbon” (carbon market).
Salah satu negara Annex I yang merespon permasalahan ini adalah Denmark. Negara yang awalnya sangat tergantung dari impor minyak bumi ini, kini bersama Jepang menjadi negara yang paling efisien dalam penggunaan energi, ini mengindikasikan Denmark dapat menekan emisi yang di hasilkan secara signifikan. Krisis energi tahun 70-an menjadi pemicu utama transformasi manajemen energi di Denmark.
Berbagai teknologi berbasis emisi rendah telah banyak dikembangkan oleh Denmark. Denmark dapat dijadikan contoh untuk melakukan mitigasi dan beberapa program adaptasi dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Hampir semua teknologi dan sistem dijalankan Denmark untuk mengurangi emisi karbonnya. Soal pembuatan teknologi beremisi rendah, sudah beberapa contoh dikemukakan, antara lain sistem insulasi, sistem kombinasi pembangkit listrik dan pemanas, serta energi angin. Untuk mengurangi emisi karbon yang telah terlepas, Denmark juga berada di garda depan untuk teknologi carbon capture and storage (CCS) yang intinya adalah menangkap emisi karbon dan menyimpannya di bawah permukaan tanah. Dalam Climate Solutions Denmark menyatakan bahwa perusahaan Vattenfall akan melakukan pendekatan untuk pembangunan CCS di Northern Jutland, utara Kopenhagen. Menurut sejumlah ahli geologi, kawasan Jutland merupakan tempat yang ideal untuk pembangunan CCS.
Selain CCS, energi angin di Denmark telah mencapai tahapan amat maju. Saat ini energi angin telah berhasil beberapa jam dalam setahun mampu menghasilkan listrik. Pulau Samsoe, sekitar empat jam menyeberang dari Kopenhagen, kini menjadi satu-satunya pulau di dunia yang sama sekali tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil.
Di bidang transportasi, Denmark juga memproduksi kendaraan listrik yang menggunakan tenaga baterai. Baterainya akan memungkinkan mobil tersebut melaju sejauh 150 kilometer sebelum ia perlu diisi ulang. Emisi karbondioksida yang dihasilkan kendaraan ini  hanya setengah dari emisi yang dihasilkan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak, sehingga akan lebih ramah lingkungan.
Dengan pencapaian Denmark dibidang teknologi beremisi rendah ini, Denmark tidak merasa khawatir dengan pertumbuhan ekonominya apabila harus menurunkan emisi yang dihasilkannya. Denmark juga menunjukan bahwa pembangunan dengan pendekatan pengurangan emisi karbon bukan berarti keterpurukan ekonomi. 
Dengan pencapaian Denmark dibidang ini, akan cukup mudah bagi Denmark untuk mencapai target penurunan emisi di negaranya. Tetapi pada kenyataannya Denmark sebagai salah satu negara Annex I selain melakukan sendiri pengurangan emisi GRK yang dihasilkan di negaranya dengan target sebesar 21 persen yang setara dengan 15 juta ton karbon dalam periode 2008-2012. Denmark juga menawarkan kerjasama dengan Indonesia untuk pengembangan proyek CDM di Indonesia, dimana tawaran kerja sama ini mencakup pertukaran informasi mengenai prosedur persetujuan nasional bagi proyek CDM di Indonesia, promosi pengembangan, peningkatan kapasitas, fasilitas penilaian, penyetujuan proyek, monitoring kegiatan proyek CDM, serta penghargaan kepemilikan sertifikat proyek CDM yang dapat ditransaksikan yaitu berupa  CERs.
Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai yang panjang, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas, berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.
Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, Indonesia perlu  mempercepat pengembangan industri dan transportasi dengan tingkat emisi rendahmelalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy). Di samping itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk menyerap GRK. Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan dialihkan ke negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui CDM yang diatur oleh Protokol Kyoto.Indonesia menerima tawaran kerjasama Denmark di bidang CDM ini.
Nota Kesepahaman Kerjasama Mekanisme Pembangunan Bersih antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Denmark, telah ditandatangani pada tanggal 27 Juli 2005, sebagai dukungan resmi terhadap peluncuran proyek Danish CDM Project Development Facility di Indonesia. Inisiatif tersebut mengacu kepada dua tujuan, yang pertama adalah untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang CDM bagi kalangan luas, yang dapat memperoleh keuntungan dari CDM dan untuk meningkatkan kapasitas bagi para pihak yang terkait dengan CDM di Indonesia. Tujuan kedua adalah untuk mengembangkan proyek CDM serta menyalurkan CERs yang dihasilkan kepada pemerintah Denmark, sehingga dapat membantu Denmark dalam memenuhi target penurunan emisinya. 
Untuk memperlancar proses tersebut, Sekretariat untuk Danish CDM Project Development Facility telah dibentuk di Kedutaan Denmark Jakarta. Sekretariat ini akan mengkoordinir proses penyeleksian ide-ide proyek sekaligus mendukung seluruh proses pengembangan proyek CDM. Hal ini mencakup dukungan dana bagi biaya transaksi untuk proyek, termasuk memberikan bantuan teknis dalam pengembangan baseline dan rencana pengawasan, pengembangan  PDD (Project Design Document) serta validasi proyek, bekerjasama dengan institusi swasta dan publik di Indonesia dan Denmark. 
Untuk bantuan teknis, Kedutaan Denmark telah menugaskan dua institusi dalam pelaksanaannya, yaitu Econ Analysis di Denmark dan Pelangi di Indonesia. Selanjutnya, Danish CDM Project Development Facility akan menyediakan bantuan teknis tersebut untuk mengembangkan ide-ide proyek yang terbaik, sehingga pada akhirnya dapat mencapai tahap transaksi dengan pemerintah Denmark. Denmark mengalokasikan dana sekitar 1,5 miliar dolar Amerika Serikat bagi industri yang beremisi tinggi di Indonesia, untuk ikut program CDM ini dan pemerintah Denmark memberikan jaminan kepastian untuk membeli sebanyak mungkin CERs yang berasal dari fasilitas ini.
Dalam kerjasama ini Denmark melihat Indonesia memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang CDM. Hingga tahun 2012, potensi karbon Indonesia yang dapat dijual melalui mekanisme CDM ini berjumlah 24 juta ton per tahun dari sektor energi dan 23 juta ton per tahun dari sektor kehutanan.2012 diperkirakan potensi karbon Indonesia dari sektor energi sebesar 34 juta metrik karbon atau sebesar 2,1% dari total global.

Melihat fenomena yang demikian, yang mana Denmark mampu memenuhi sendiri target penurunan emisi di Negaranya tetapi Denmark juga memilih melakukan kerjasama CDM dengan Indonesia. Sehingga dalam tulisan ini peneliti ingin mengetahui alasan Denmark mengapa memilih melakukan kerjasama ini .

B.            Rumusan Masalah
1.             Apa itu mekanisme pembangunan bersih?
2.             Apa tujuan MPB?
3.             Apa fungsi dari MPB?
4.             Apa keuntungan MPB?
5.             Bagaimana potensi MPB di sector energy?
6.             Apa syarat khusus untuk proyek MPB kehutanan?
7.             Bagaimana cara menentukan additionality lingkungan?

C.           Tujuan
1.             Memahami arti dari MPB
2.             Mengetahui tujuan dari MPB
3.             Menelusuri fungsi dari MPB
4.             Mengetahui keuntungan-keuntungan dari MPB
5.             Mengetahui apa saja syarat khusus dari proyek MPB kehutanan
6.             Mengetahui potensi MPB di sector energy dan sector lainnya
7.             Memahami bagaimana cara menentukan additionality lingkungan












BAB II
PEMBAHASAN

A.           Pengertian Mekanisme Pembangunan Bersih
Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau dikenal juga sebagai Clean Development Mechanism (CDM) merupakan salah satu mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto. Mekanisme MPB merupakan satu-satunya mekanisme yang melibatkan Negara berkembang, di mana negara maju dapat menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan mengembangkan proyek ramah lingkungan di negara berkembang.
Mekanisme ini sendiri pada dasarnya merupakan perdagangan karbon, di mana negara berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi, yang disebut negara Annex I.

B.            Tujuan MPB
Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto pasal 12, tujuan MPB adalah:
1.             Membantu negara berkembang yang tidak termasuk sebagai negara Annex I dalam menerapkan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan mengganggu system ikllim global.
2.             Membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya.
3.             MPB membantu negara-negara Annex I untuk memenuhi target pengurangan emisi rata-rata mereka sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990, sesuai dengan ketentuan di dalam Protokol Kyoto.

C.           Fungsi dari MPB
Sesuai tujuannya, MPB menghasilkan proyek yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca serta mendukung pembangunan berkelanjutan. Bukti bahwa proyek tersebut telah menurunkan emisi gas rumah kaca adalah diterbitkannya sertifikat pengurangan emisi (Certified Emission Reductions-CERs) oleh Badan Eksekutif MPB (CDM Executive Board) atas proyek yang bersangkutan. Sertifikat inilah yang kemudian dapat dijual negara berkembang ke negara maju.
Negara berkembang yang terlibat langsung dalam MPB akan mendapatkan investasi baru untuk melakukan kegiatan yang dapat menurunkan emisi GRK dan juga mendukung pembangunan berkelanjutan di negaranya.
Selain itu, melalui mekanisme MPB ini negara-negara tersebut akan mendapatkan keuntungan berupa adanya transfer teknologi dan dana tambahan yang dapat membantu mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi dampak yang ditimbulkan perubahan iklim. Walaupun dampak perubahan iklim bervariasi di seluruh dunia, namun negara berkembang dan negara-negara kepulauan, seperti halnya Indonesia, merupakan kelompok negara yang mendapat dampak paling nyata dari perubahan iklim.
Negara manapun dapat berpartisipasi dalam aktifitas MPB, selama negara tersebut telah meratifikasi Protokol Kyoto. Negara tersebut juga harus sudah memiliki DNA (designated national authority) atau suatu otoritas nasional yang fungsi utamanya memberikan persetujuan nasional terhadap proyek MPB.
Sesungguhnya siapa saja dapat turut serta sebagai pengembang proyek MPB. Proyek MPB dapat dikembangkan melalui kemitraan antara lembaga nirlaba, publik dan pihak swasta, termasuk partisipasi dari masyarakat local dimana proyek itu dikembangkan. Namun karena MPB merupakan mekanisme berbasis pasar maka MPB dirancang dengan pertimbangan untuk diimplementasikan oleh sector swasta.
Upaya penurunan emisi yang bisa dilakukan melalui kegiatan proyek MPB meliputi proyek energi terbarukan (misal: tenaga matahari, angin, gelombang, panas bumi, air dan biomassa), menurunkan tingkat konsumsi bahan bakar (efisiensi energi), mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar lain yang lebih rendah tingkat emisi GRKnya (pengganti bahan bakar, misal: minyak bumi menjadi gas), kehutanan, dan jenis lain-lain seperti pemanfaatan gas metan dari pengelolaan sampah.

D.           Sektor-sektor yang dapat berpartisipasi dalam MPB
Sektor/Kategori
Sektor
Kategori
Energi
Pembakaran bahan bakar:
industri energi;
industri manufaktur dan konstruksi;
transportasi;
sektor lain.
Emisi fugitive bahan bakar:
bahan bakar padat;
minyak dan gas alam;
lainnya.
Proses-proses industri
Produk mineral;
industri kimia;
produksi logam;
produksi lainnya;
produksi halocarbon dan sulfur heksaflorida;
konsumsi halocarbon dan sulfur heksaflurida;
lainnya.
Penggunaan bahan pengencer (solvent) dan produk lainnya
Pertanian Fermentasi enteric;
pengelolaan kotoran hewan;
penanaman padi;
lahan pertanian;
pembakaran padang rumput sesuai dengan peraturan;
pembakaran residu pertanian; lainnya.
Sampah
Pembuangan sampah padat di lahan;
pengelolaan air buangan;
insinerasi sampah;
lainnya.
Tata guna lahan
perubahan tata guna lahan dan kehutanan
Aforestasi ;
reforestasi;
pencegahan deforestasi untuk energi panas dalam proyek skala kecil.

Selain penurunan emisi, kegiatan yang bisa dilakukan dalam MPB ialah penyerapan emisi (carbon sink) yang bisa dilakukan di sektor kehutanan, karena hutan dpat menyerap emisi GRK.
Proyek MPB di sektor kehutanan terbatas pada kegiatan reforestasi dan aforestasi. Proyek pencegahan deforestasi diijinkan sebagai proyek MPB kehutanan skala kecil, misalnya bila dapat dibuktikan bahwa pemanfaatan tungku berbahan bakar kayu yang efisien dapat mengurangi deforestasi. Contoh-contoh proyek MPB di berbagai sektor/jenis:
1.             Proyek Bis Umum di Perkotaan
a.             mengganti bahan bakar bis umum dengan gas atau dengan energi terbarukan seperti biomassa.
b.             Mengganti mesin bis dengan mesin yang lebih efisien dan lebih bersih.
2.             Proyek Penerangan di Pedesaan
a.             menggunakan pembangkit tenaga listrik bertenaga air dalam skala kecil (microhydro).
b.             mengganti penggunaan lampu bohlam di pedesaan dengan lampu hemat energi.
3.             Industri Tepung Tapioka
a.             melakukan manajemen limbah produksi mengunakan bahan bakar biogas untuk proses pengeringan.

E.            Potensi MPB Di Indonesia
Berdasarkan perhitungan, potensi MPB secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 2008-2012 terhitung sebesar:
125-300 juta ton CO2
Harga per ton CO2: US$ 1,5 – US$ 5,5 juta
Pendapatan: US$ 187,5 – US$ 1.650 juta
Biaya transaksi: US$ 106 – US$ 390 juta
Laba: US$ 81,5 juta – US$ 1, 26 milyar

Proyek MPB di sektor energi dapat dilakukan baik di sisi penyediaan (supply side) maupun sisi pemakaian (demand side).
Potensi Pengurangan Emisi CO2 di sektor energi sebelum tahun 2005, Dasar (Base): Rata-rata Konsumsi Energi (Average Energy Mix) 2000. Opsi teknologi
(Penyediaan energi) Pengurangan CO2 (juta ton)
PLT Panas Bumi 139.4
Gas Combined Cycle 0.1
PLTU Biomassa 23.3
PLT Air (skala besar) 9.9
PLT Air (skala kecil) 5.3
Panas sinar matahari 0.3
Kogenerasi Turbin Rendah 13
Kogenerasi Turbin Tinggi 8.7
Refrigerator yang lebih efisien 0.33
Hitch Refrigerator 0.63
Compact Refrigerator 0.23
Incandescent menjadi fluorescent (SFL) 1.85
Incandescent menjadi CFL 39
Variable Speed Motor 8.1




Seperti yang tercantum di dalam Marrakech Accord, proyek MPB di sektor kehutanan terbatas pada reforestasi dan aforestasi. Di Indonesia, tipe proyek kehutanan yang masuk ke dalam kategori tersebut adalah re-boisasi, perkebunan, hutan masyarakat, penghijauan kembali dan agroforestry.

F.            Prinsip-Prinsip Dasar MPB
Untuk menjadi proyek MPB, terdapattiga syarat utama yang harus dipenuhi:
1.             Mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan di negara tuan rumah.
2.             Menghasilkan keuntungan yang benar-benar terjadi, terukur dan berjangka, sehubungan dengan mitigasi perubahan iklim.
3.             Memenuhi additionality lingkungan, yaitu dimana emisi GRK antropogenik pada sumber berkurang dibandingkan emisi yang akan terjadi jika tidak ada kegiatan proyek MPB.

Ada uji additionality lain yang harus dipenuhi yaitu additionality financial. Usulan proyek MPB dianggap memiliki additionality financial apabila proyek tersebut dibiayai bukan dengan dana ODA (official development assistance).
Usulan proyek MPB akan mendapat nilai tambah bila memenuhi additionality investasi dan teknologi. Usulan proyek MPB dianggap memiliki additionality investasi bila adanya CERs dapat menambah nilai finansial dan komersial dari proyek tersebut. Usulan proyek MPB dianggap memiliki additionality teknologi bila proyek tersebut menyebabkan transfer teknologi terbaik, tepat guna, serta ramah lingkungan di negara tuan rumah.
Kegiatan MPB kehutanan terbatas pada kegiatan reforestasi dan aforestasi. Reforestasi adalah konvesi lahan menjadi hutan yang dilakukan oleh manusia pada kawasan hutan yang rusak sebelum 31 Desember 1989. Sementara aforestasi ialah konvensi lahan menjadi hutan oleh manusia pada wilayah yang bukan hutan sejak 50 tahun lau.
Hutan sendiri didefinisikan sebagai lahan yang luas minimumnya 0.05-1.0 hektar dengan tutupan tajuk pohon lebih dari 10-30 persen dengan potensi ketinggian pohon minimum 2-5 meter pada kondisi dewasa.
Proyek yang menggunakan tenaga nuklir, seperti proyek pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), tidak bisa dikategorikan sebagai proyek MPB walaupun memang tidak mengeluarkan emisi GRK. Hal ini dikarenakan penggunaan nuklir dinilai tidak aman akibat resiko kebocoran yang tinggi sehingga membahayakan kelangsungan mahluk hidup di sekitarnya.
Selain itu, ada beberapa jenis proyek yang meskipun menghasilkan reduksi emisi GRK tapi kemungkinan keikutsertaannya dalam MPB masih mengundang banyak perdebatan, yaitu: teknologi batubara bersih (clean coal technology), PLTA skala besar dan injeksi CO2 ke dalam laut.
Pengurangan emisi GRK dari proyek MPB yang terjadi sejak tahun 2000 dapat diperhitungkan dalam masa komitmen pertama (first commitment period), yaitu tahun 2008 hingga 2012. Sejauh ini, peraturan yang telah disusun berkenan dengan MPB hanya berlaku untuk masa komitmen pertama saja.
Pertisipasi masyarakat menjadi pengawal yang menjamin bahwa proyek berkontribusi positif bagi pembangunan berkelanjutan di negara tuan rumah. Baik persetujuan nasional maupun internasional mensyaratkan adanya konsultasi publik. Pengembang proyek harus mengkonsultasikan proyeknya pada masyarakat lokal di sekitar lokasi proyek. Komentar masyarakat dan bagaimana komentar tersebut ditindaklanjuti harus dijelaskan dalam formulir Aplikasi Persetujuan Nasional dan Dokumen Desain Proyek (lihat lembar Mempersiapkan Dokumen Desain Proyek).

G.           Tahapan-tahapan yang harus dilalui suatu proyek MPB
Adapun tahap-tahap yang harus ditempuh dalam membuat proyek MPB:
1.             Tahap awal dalam mengembangkan sebuah proyek MPB adalah mengidentifikasi apakah proyek tersebut dapat menurunkan gas rumah kaca. Selain itu, pengembang proyek perlu melakukan analisis finansial untuk mengenditifikasi apakah proyek tersebut menguntungkan secara finansial.
2.             Tahap selanjutnya, pengembang proyek mempersiapkan dokumen desain proyek (biasa disebut PDD). Dokumen ini berisi informasi lengkap mengenai proyek MPB yang akan dikembangkan. Untuk itu, pengembang proyek perlu:
(1) menetapkan batas-batas, baik wilayah maupun waktu;
(2) melakukan analisa dampak lingkungan;
(3) menyelenggarakan konsultasi public;
(4) mencari mitra kerja serta menentukan pembagian keuntungan yang di dapat dari hasil penjualan CERs dan;
(5) menetapkan metode baseline, yaitu keadaan tanpa adanya proyek MPB tersebut, dan pemantauan.
Jika pengembang proyek menggunakan metodologi baseline dan pemantauan yang baru, maka harus diusulkan oleh institusi yang berwenang, biasa disebut Designated Operational Entity (DOE), kepada Badan Eksekutif (CDM Executive Board) untuk mendapatkan persetujuannya.
3.             Validasi. Pada tahap ini, seluruh informasi yang terdapat di dalam PDD, terutama penghitungan baseline, dikaji untuk kemudian divalidasi oleh badan validator independent (DOE). Badan independent ini akan mengevaluasi apakah proyek tersebut telah memenuhi semua persyaratan MPB dan kemudian melaporkannya kepada EB. Pada tahap ini DOE mengkaji PDD dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk mengkonfirmasikan bahwa:
a.             Negara-negara yang terlibat telah meratifikasi Protokol Kyoto.
b.             PDD dapat diakses oleh publik, dan para pemangku kepentingan lokal telah diberi kesempatan selama 30 hari untuk memberikan komentar. Ringkasan komentar dan laporan bagaimana komentar tersebut telah ditindaklanjuti dicantumkan dalam PDD.
c.             Pengembang proyek telah menyerahkan analisis dampak lingkungan kepada DOE.
d.             Kegiatan proyek akan menghasilkan reduksi GRK yang additional.
4.             Persetujuan Nasional. Surat rekomendasi/persetujuan nasional didapatkan dari otoritas nasional untuk MPB, yaitu Komisi Nasional MPB, yang berisi pernyataan bahwa partisipasi pengembang proyek dalam MPB bersifat sukarela dan bahwa kegiatan proyek yang terkait membantu tercapainya pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
5.             Registrasi. Pada tahap ini Badan Eksekutif menerima secara formal pengajuan PDD dari DOE. Sebuah proyek yang didaftarkan ke Badan Eksekutif akan melalui sebuah proses komentar publik selama 30 hari, di mana PDD akan diumumkan di situs web yang bisa diakses publik untuk mendapatkan komentar terbuka dari semua pihak. Jika ada keberatan dari Badan Eksekutif atau pihak yang terlibat dalam kegiatan proyek mengenai dokumen yang diserahkan, maka badan tersebut akan melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai proyek yang diajukan. Jika tidak ada keberatan dari Badan Eksekutif, maka proses registrasi diperkirakan akan selesai dalam waktu 8 minggu.
6.             Implementasi proyek dan pemantauan (monitoring). Implementasi merupakan tahap di mana aktivitas proyek dijalankan. Tahap implementasi ini bisa dijalankan sebelum atau sesudah registrasi. Jika dilakukan sebelum registrasi, batas waktu paling awal adalah tahun 2000. Artinya sebuah proyek yang berjalan sebelum tahun 2000 tidak bisa diajukan sebagai proyek MPB. Setelah proyek ini didaftarkan, maka pemilik proyek bertanggung jawab untuk melakukan pemantauan atau monitoring atas emisi GRK yang berhasil diturunkan oleh proyek yang bersangkutan. Pelaksanannya sendiri harus sesuai dengan rencana pemantauan yang tertera pada PDD. Kegiatan pemantauan meliputi kegiatan pengumpulan dan penyimpanan data-data yang digunakan untuk menghitung emisi baseline dan emisi proyek, dengan memperhitungkan adanya kebocoran (leakage).
7.             Verifikasi dan Sertifikasi. Pada tahap ini hasil pemantauan akan dikaji ulang, termasuk metodologi yang digunakan dalam melakukan pemantauan. Hal ini kemudian dilaporkan secara tertulis, termasuk di dalamnya jumlah emisi GRK yang berhasil diturunkan. Aktivitas verifikasi ini dilakukan oleh DOE yang berdeda dengan DOE yang melakukan validasi (kecuali untuk proyek MPB skala kecil). Hasil pemantauan ini terbuka untuk publik. Sertifikasi adalah jaminan tertulis oleh DOE yang berisi bahwa proyek bersangkutan, dalam periode tertentu, telaH berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana yang telah diverifikasi.
8.             Penerbitan CER. Badan Eksekutif mempunyai waktu maksimum 15 ahri setelah permohonan penerbitan CERs diberikan untuk mengkaji ulang surat sertifikasi proyek yang bersangkutan. Setelah itu, Badan Eksekutif harus segera mengumumkan hasilnya dan mempublikasikan keputusannya sehubungan dengan disetujui atai tidaknya CER yang diusulkan, beserta alasannya, jika CERs yang diusulkan.

H.           Siklus Proyek MPB
Badan Eksekutif merupakan badan internasional di bawah COP/MOP, yaitu pertemuan tahunan para negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto.
Tugas utama Badan Pelaksanaan proyek-proyek CDM di Negara berkembang dan bertanggung jawab pada COP/MOP.
DOE (Designated Operational Entity) adalah suatu lembaga berbadan hukum domestik atau international yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Eksekutif untuk melakukan fungsi sebagai berikut:
1.             Melakukan validasi dan kemudian meregistrasi suatu usulan proyek MPB.
2.             Melakukan verifikasi reduksi emisi dari proyek MPB, kemudian melakukan sertifikasi dan memohon agar Badan Pelaksana untuk menerbitkan CERs.








I.               Mempersiapkan PDD Dan Proyek MPB Skala Kecil
1.             Mempersiapkan PDD
Dokumen Desain Proyek (Project Design Document, PDD) merupakan dokumen yang dimiliki oleh pengembang proyek MPB untuk memuat seluruh informasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan proyek MPB. Secara garis besar, PDD ini harus memuat data-data sebagai berikut:
a.             Deskripsi umum proyek, termasuk penjelasan mengenai teknologi yang digunakan.
b.             Metodologi baseline, termasuk pemenuhan additionality.
c.             Durasi proyek/crediting period.
d.             Rencana pemantauan, prosedur pemantauan dan verifikasi.
e.             Perhitungan emisi GRK dan pengurangan emisi yang dihasilkan proyek.
f.              Dampak lingkungan.
g.             Komentar para pemangku kepentingan.

baseline adalah emisi GRK yang dihasilkan oleh suatu kegiatan tanpa adanya proyek MPB tersebut. Terdapat beberapa pendekatan dalam menentukan baseline, yaitu:
a.             Menggunakan data emisi yang terjadi pada masa sekarang atau masa lalu.
b.             Emisi yang dihasilkan oleh teknologi yang secara ekonomi menarik untuk diterapkan, dengan memperhitungkan hambatan-hambatan investasi.
c.             Emisi rata-rata dari kegiatan yang serupa dengan usulan proyek MPB yang terjadi dalam lima tahun terakhir, dalam kondisi yang serupa, pada kinerja 20% terbaik.

Terdapat tiga pendekatan, yaitu:
a.             Perubahan yang terjadi pada masa sekarang atau lalu dalam stok karbon dalam carbon pools di dalam batas proyek.
b.             Perubahan stok karbon dalam carbon pools di dalam batas proyek dari pemanfaatan lahan yang paling menarik secara ekonomis, dengan mempertimbangkan hambatan-hambatan investasi.
c.             Perubahan stok dalam batas proyek dari pemanfaatan lahan yang paling mungkin terjadi pada saat proyek dimulai.



Terlebih dahulu, tentukan reduksi emisi yang terjadi, baik pada scenario baseline maupun pada skenario proyek MPB. Additionality lingkungan adalah selisih antara emisi baseline dengan emisi proyek.
Pengembang proyek perlu memperhatikan kemungkinan terjadinya kebocoran (leakage). Kebocoran adalah peningkatan emisi GRK akibat adanya usulan Proyek MPB namun terjadi di luar batas proyek (project boundary) dan kerangka waktu proyek. Kebocoran ini harus diperhitungkan dalam penentuan CERs.
Sumber kebocoran sangat tergantung dari jenis proyek dan juga metode penghitungan emisi proyek dan baseline. Contoh umum misalnya proyek MPB yang besar mampu menurunkan harga suatu produk dan kemudian terjadi peningkatan permintaan.
Misalnya, proyek efisiensi energi yang berakibat pada turunnya harga listrik akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan listrik. Akibatnya, emisi yang sebelumnya menurun karena proyek efisiensi energi, pada akhirnya justru meningkat akibat bertambahnya permintaan listrik. Informasi yang harus dicantumkan adalah:
a.             Durasi proyek, termasuk tanggal mulai dan masa operasional proyek.
b.             Pilihan crediting period, yaitu masa penghitungan emisi karbon yang akan dikreditkan oleh proyek yang bersangkutan.

Terdapat dua pilihan untuk crediting period:
a.             Satu periode maksimum 10 tahun
b.             Satu periode maksimum 7 tahun, dengan kemungkinan diperbaharui maksimum 2 kali periode tambahan.

Khusus untuk MPB sektor kehutanan, pilihan crediting periodnya lebih panjang, yaitu:
a.             Maksimum 20 tahun yang dapat diperbaharui dua kali, asalkan DOE mengkonfirmasi bahwa baseline yang digunakan masih berlaku atau telah diperbaharui dengan memperhitungkan data baru.
b.             Maksimum 30 tahun.

Batas proyek atau project boundary merupakan wilayah dimana reduksi emisi atau penyerapan karbon terjadi. Reduksi emisi harus terjadi pada situs proyek atau bagian hulu dari proyek. Misalnya, proyek yang mengurangi konsumsi listrik dengan cara efisiensi, maka reduksi emisi terjadi di bagian hulu yaitu pada pembangkit listrik.
Rencana Pemantauan digunakan untuk memantau reduksi emisi GRK yang dihasilkan proyek MPB.
Pengurangan emisi GRK yang akan tertera dalam sertifikasi CERs adalah emisi berdasarkan baseline dikurangi emisi GRK yang dihasilkan oleh proyek MPB (berdasarkan hasil dari pemantauan).
Setiap pengusul proyek MPB harus menjelaskan kemungkinan dampak lingkungan dari proyeknya dalam PDD. Bila dampak lingkungan dari proyek tersebut signifikan, pengusul proyek harus menjelaskan bahwa proyek tersebut telah memenuhi peraturan lingkungan yang berlaku fi negara tuan rumah.
Pengembang proyek harus mengadakan konsultasi publik, termasuk dampak sosial maupun lingkungan yang ditimbulkan. Catatan dari konsultasi publik ini harus tertera dalam PDD, termasuk di dalamnya komentar dari pemangku kepentingan dan bagaimana komentar tersebut ditanggapi.

2.             MPB Skala Kecil
Proyek skala kecil sangat didukung untuk menjadi proyek MPB karena dianggap lebih mendukung pembangunan berkelanjutan. MPB skala kecil biasanya dikembangkan oleh masyarakat sehingga lebih berdampak positif secara lokal. Proyek MPB skala kecil adalah:
a.             Proyek energi terbarukan dengan kapasitas hingga 15 megawatt.
b.             Proyek efisiensi energi yang mengurangi konsumsi hingga 15 GWh per tahun.
c.             Proyek yang mampu mereduksi emisi dan secara langsung mengemisi kurang dari 15.000 ton ekivalen CO2 per tahun

Sedangkan proyek MPB skala kecil khusus untuk kehutanan adalah:
a.             Proyek yang mereduksi kurang dari 8 kilo ton ekusivalen CO2 per tahun.
b.             Proyek yang dikembangkan oleh komunitas lokal atau masyarakat dengan tingkat ekonomi lemah (sesuai dengan kriteria nasional).

Tipe proyek MPB skala kecil:
a.             Tipe I
1.            Proyek energi berkelanjutan:
2.            Pembangkit listrik oleh pengguna
3.            Energi mekanis untuk pengguna
4.            Energi panas untuk pengguna
5.            Pembangkit listrik terbarukan untuk jaringan listrik

b.             Tipe II
1.            Proyek perbaikan energi efisiensi:
2.            Perbaikan energi efisiensi sisi penyediaan-transmisi dan distribusi.
3.            Energi efisiensi sisi penyediaan-pembangkit
4.            Program energi efisiensi sisi permintaan untuk teknologi yang spesifik
5.            Usaha-usaha energi efisiensi dan penggantian bahan bakar untuk fasilitas industry
6.            Usaha-usaha energi efisiensi dan penggantian bahan bakar untuk gedung-gedung

c.             Tipe III
Tipe proyek lainnya:
1.            Pertanian
2.            Penggantian bahan bakar fosil
3.            Reduksi emisi dengan kendaraan pengemisi GRK yang lebih rendah
4.            Pemanfaatan gas metan (methane recovery)
5.            Penghindaran emisi gas metan

Proyek MPB berskala kecil mendapatkan berbagai kemudahan. Biaya transaksi untuk proyek MPB skala kecil menjadi lebih murah karena modalitas dan prosedurnya disederhanakan. Proyek skala kecil cenderung tidak menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan sehingga dikenai peraturan lingkungan (AMDAL) yang lebih sederhana. Peraturan-peraturan apa saja yang disederhanakan:
a.             PDD yang disederhanakan.
b.             Metode baseline dan monitoring serta penghitungan kebocoran/leakage disederhanakan. Sekretariat UNFCCC telah menyediakan metode baseline dan monitoring untuk ke-14 jenis proyek MPB skala kecil (tersebut di atas) untuk dipergunakan bagi pengembang proyek.
c.             DOE yang sama boleh melakukan validasi dan verifikasi/sertifikasi kegiatan proyek.
d.             Tidak dikenai potongan untuk dana adaptasi (climate adaptation fund)
e.             Biaya registrasi dikurangi.
f.              Beberapa proyek boleh “disatukan” (bundling) untuk tahapan-tahapan berikut: PDD, validasi, registrasi, pengawasan, verifikasi dan sertifikasi.

Debundling adalah pemecahan suatu proyek yang besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Suatu proyek skala kecil yang merupakan bagian dari proyek yang lebih besar tidak dapat dikategorikan sebagai Proyek MPB skala kecil.
Suatu usulan proyek skala kecil dianggap bagian debundling dari suatu proyek besar bila terdapat suatu proyek MPB skala kecil yang sudah terdaftar atau aplikasi untuk mendaftar dari proyek MPB skala kecil lain:
a.             Yang dikembangkan oleh partisipan/pengembang proyek yang sama;
b.             Yang berada dalam kategori proyek dan menggunakan teknologi yang sama;
c.             Yang terdaftar dalam tahun sebelumnya; dan
d.             Yang batas proyeknya berada dalam jarak 1km dari batas proyek dari usulan proyek skala kecil pada titik terdekat.


























BAB III
PENUTUP

A.           Rangkuman
 Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau dikenal juga sebagai Clean Development Mechanism (CDM) merupakan salah satu mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto. Mekanisme MPB merupakan satu-satunya mekanisme yang melibatkan Negara berkembang, di mana negara maju dapat menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan mengembangkan proyek ramah lingkungan di negara berkembang.
Mekanisme ini sendiri pada dasarnya merupakan perdagangan karbon, di mana negara berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi, yang disebut negara Annex I.
Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto pasal 12, tujuan MPB adalah:
1.             Membantu negara berkembang yang tidak termasuk sebagai negara Annex I dalam menerapkan pembangunan yang berkelanjutan serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan mengganggu system ikllim global.
2.             Membantu negara-negara Annex I atau negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya.
3.             MPB membantu negara-negara Annex I untuk memenuhi target pengurangan emisi rata-rata mereka sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990, sesuai dengan ketentuan di dalam Protokol Kyoto.














DAFTAR PUSTAKA








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kalian sangat berharga bagi saya

Survey Monkey

Survey Monkey/Monkey Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan umpan balik untuk membantu mengumpulkan informasi & data pelanggan dari surv...