KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita, sehingga
tugas makalah muatan lokal tentang “Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB)” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini juga sebagai tugas yang harus
dikerjakan untuk sarana pembelajaran bagi kita.
Makalah
ini kami buat berdasarkan apa yang telah kami terima dan juga kami kutip dari
berbagi sumber baik dari buku maupun dari media elektronik. Semoga isi dari
makalah ini dapat berguna bagi kita dan dapat menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai apa saja yang ada dalam program pemerintah untuk
pengelolaan lingkungan.
Selayaknya
manusia biasa yang tidak pernah lepas dari kesalahan, maka dalam pembuatan
makalah ini masih banyak yang harus di koreksi dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat dianjurkan guna memperbaiki kesalahan dalam
makalah ini. Demikian, apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam isi makalah
ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Taba
Penanjung, 31 Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah……………………………………………………………..1
B.
Rumusan
Masalah…………………………………………………………………...6
C.
Tujuan……………………………………………………………………………….6
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mekanisme Pembangunan Bersih……………………………………….7
B.
Tujuan MPB…………………………………………………………………………7
C.
Fungsi dari
MPB…………………………………………………………………….7
D.
Sektor-Sektor yang Dapat Berpartisipasi
dalam MPB………………………………8
E.
Potensi MPB di Indonesia
…………………………………………………………10
F.
Prinsip-Prinsip Dasar MPB………………………………………………………...11
G.
Tahapan-Tahapan yang Harus Dilalui Suatu
Proyek MPB………………………..12
H.
Siklus Proyek
MPB………………………………………………………………...14
I.
Mempersiapkan PDD dan MPB Skala
Kecil………………………………………15
BAB
III PENUTUP
A.
Rangkuman………………………………………………………………………...20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perubahan
Iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan bahan bakar fosil
serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan.
Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbondioksida (CO2) yang kontribusi
terbesar berasal dari negara industri.
Gas ini memiliki kemampuan menyerap panas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi.
Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan
atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim.
Keberadaan
gas rumah kaca di atmosfir akan bertindak seperti kubah yang menyelimuti bumi dan mencegah energi panas
matahari yang dipantulkan oleh bumi
mengalir ke angkasa sehingga udara akan semakin bertambah panas. Akibat yang ditimbulkan dari pemanasan global
tersebut antara lain terjadinya perubahan cuaca dan curah hujan serta pelelehan gunung
es kutub utara dan selatan. Di negara-negara
tropis pergeseran musim panas dan hujan telah mengakibatkan dalam perencanaan penanaman suatu jenis tanaman
sedangkan di negara-negara beriklim dingin pada musim panas temperatur udara
bertambah tinggi dan pada musim dingin
suhu udara bertambah dingin. Semakin banyaknya jumlah es dari gunung es di kutub utara dan selatan yang
meleleh mengakibatkan permukaan air laut bertambah tinggi. Perubahan ini
mengakibatkan banyak daerah baru yang menjadi sering tergenang oleh air laut.
Gas
rumah kaca dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil, mulai dari memasak sampai Pembangkit Listrik.
Karena kegiatan tersebut sangat umum
dilakukan manusia, maka seiring dengan meningkatnya populasi manusia, konsentrasi Gas rumah kaca pun meningkat.
Akibatnya, semakin banyak sinar yang
terperangkap di dalam bumi. Perubahan iklim berubah secara perlahan tapi pasti. Suhu permukaan bumi pun memanas. Panas
ini kita kenal sebagai pemanasan global
(Global warming).
Masyarakat
internasional bertemu pertama kalinya untuk membahas situasi lingkungan hidup secara global di
Stockholm pada Konferensi PBB tentang
Lingkungan Hidup Manusia (Human Environmental) tahun 1972. Pada peringatan kedua puluh tahun pertemuan
Stockholm tersebut, digelarlah konferensi
bumi di Rio de Jainero tahun 1992. Di konferensi ini ditandatanganilah Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
UNFCC memiliki tujuan utama berupa
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman. UNFCCC mengatur lebih lanjut
ketentuan yang mengikat mengenai
perubahan iklim ini. Pada tahun 1995 konvensi perubahan iklim mulai memiliki kekuatan, dan untuk pertama kalinya
diselenggarakan COP I (Conference of
the Parties) I di Berlin, Jerman, pada tahun yang sama. Mandat Berlin, hasil dari pertemuan COP I dijadikan
sebagai acuan untuk diadopsi Protokol Kyoto pada pertemuan ketiga COP tanggal
11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang.
Protokol
Kyoto merupakan suatu dokumen protokol yang diformulasikan di bawah perjanjian perubahan iklim PBB (United
Nations Framework Convention on
Climate Change – UNFCCC). Protokol ini merumuskan secara rinci langkah yang wajib dan dapat diambil
oleh berbagai negara yang meratifikasinya
untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian internasional perubahan iklim PBB, yakni
“stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dalam
atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan manusia atau antropogenis pada sistem iklim dunia”.
Negara-negara
yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon
dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya,
atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau
menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol Kyoto
diprediksi akan mengurangi rata-rata
cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.
Pada
tanggal 16 Februari 2005, Protokol Kyoto mulai berlaku setelah berhasil mengumpulkan jumlah minimum negara
yang meratifikasinya. Sejauh ini, 188
negara telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto termasuk Amerika Serikat sebagai kontributor emisi
terbesar dunia.
Protokol
Kyoto menggariskan 37 negara industri (disebut negara Annex I) diwajibkan untuk masing-masing mengurangi
emisi gas rumah kaca sampai dengan 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun
1990. Angka ini disepakati berdasarkan rekomendasi yang tertera dalam laporan
panel ilmuwan PBB IPCC.
Negara
yang meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dibagi dalam dua kelompok, yaitu negara Annex I, yaitu Negara
industri maju yang dianggap telah menyumbangkan
emisi gas rumah kaca sejak revolusi industri tahun 1850-an; dan negara
Non-Annex I, yaitu kelompok negara berkembang yang tidak termasuk dalam Annex I, dimana kontribusi gas rumah
kacanya jauh lebih sedikit, serta memiliki
pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah. Protokol Kyoto mewajibkan penurunan emisi gas rumah kaca oleh
negara Annex I sebesar 5,2% di bawah
tingkat emisi 1990 dalam kurun waktu 2008-2012. Negara Non-Annex I tidak diwajibkan menurunkan emisi tapi boleh
melakukannya dengan sukarela.
Protokol
Kyoto memungkinkan diterapkannya tiga mekanisme fleksibilitas
(flexibility
mechanisms) agar negara Annex I dapat tetap memenuhi komitmennya
dengan
biaya yang tidak terlalu tinggi. Ketiga mekanisme tersebut adalah:
1.
JI (Joint Implementation),
kerjasama yang dilakukan antara sesama negara Annex I (negara maju) dalam upaya mereka
menurunkan emisi gas rumah kaca;
biasanya kerjasama ini dilakukan dengan investasi asing antar negara Annex I yang diimbangi dengan unit
penurunan emisi (Emission Reduction Unit–ERU);
2.
IET (International Emission Trading),
perdagangan ERU antara Negara AnnexI;
3.
CDM (Clean Development Mechanism),
pada dasarnya adalah gabungan dari JI
dan IET yang berlangsung antara negara Annex I dengan negara non-Annex I dengan persyaratan mendukung
pembangunan berkelanjutan di negara non-AnnexI).
CDM
merupakan satu satunya mekanisme kerjasama antara negara Annex I dengan negara non-Annex I dalam upaya
mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca yang harus dipenuhi oleh negara
Annex I. Mekanisme ini bisa diistilahkan
sebagai perdagangan karbon, dimana negara non-Annex I mengembangkan suatu
proyek yang ramah lingkungan yang dapat mengurangi reduksi gas karbon kemudian
negara Annex I “membeli” reduksi emisi
(karbon) yang dihasilkan dari proyek tersebut. Dalam mekanisme ini
negara-negara maju yang harus membatasi atau menurunkan emisinya akan
mendapatkan sertifikasi penurunan emisi, dikenal juga secara generik sebagai
kredit karbon atau carbon credits.
Untuk CDM, kredit karbon ini disebut Certified Emissions Reduction,
CER. Transfer sertifikasi penurunan
emisi ini biasanya melalui perdagangan, dengan harga yang ditentukan oleh pasar
sesuai dengan tingkat permintaan dan pasokan dari sertifikasi itu. Mekanisme kerjasama ini melahirkan sebuah
pasar yang biasa disebut sebagai “pasar karbon” (carbon market).
Salah
satu negara Annex I yang merespon permasalahan ini adalah Denmark. Negara yang
awalnya sangat tergantung dari impor minyak bumi ini, kini bersama Jepang
menjadi negara yang paling efisien dalam penggunaan energi, ini mengindikasikan
Denmark dapat menekan emisi yang di hasilkan secara signifikan. Krisis energi
tahun 70-an menjadi pemicu utama transformasi manajemen energi di Denmark.
Berbagai
teknologi berbasis emisi rendah telah banyak dikembangkan oleh Denmark. Denmark
dapat dijadikan contoh untuk melakukan mitigasi dan beberapa program adaptasi
dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Hampir semua teknologi dan sistem
dijalankan Denmark untuk mengurangi emisi karbonnya. Soal pembuatan teknologi
beremisi rendah, sudah beberapa contoh dikemukakan, antara lain sistem
insulasi, sistem kombinasi pembangkit listrik dan pemanas, serta energi angin.
Untuk mengurangi emisi karbon yang telah terlepas, Denmark juga berada di garda
depan untuk teknologi carbon capture and storage (CCS) yang intinya
adalah menangkap emisi karbon dan menyimpannya di bawah permukaan tanah. Dalam Climate
Solutions Denmark menyatakan bahwa perusahaan Vattenfall akan melakukan
pendekatan untuk pembangunan CCS di Northern Jutland, utara Kopenhagen. Menurut
sejumlah ahli geologi, kawasan Jutland merupakan tempat yang ideal untuk
pembangunan CCS.
Selain
CCS, energi angin di Denmark telah mencapai tahapan amat maju. Saat ini energi
angin telah berhasil beberapa jam dalam setahun mampu menghasilkan listrik.
Pulau Samsoe, sekitar empat jam menyeberang dari Kopenhagen, kini menjadi
satu-satunya pulau di dunia yang sama sekali tidak lagi menggunakan bahan bakar
fosil.
Di
bidang transportasi, Denmark juga memproduksi kendaraan listrik yang
menggunakan tenaga baterai. Baterainya akan memungkinkan mobil tersebut melaju
sejauh 150 kilometer sebelum ia perlu diisi ulang. Emisi karbondioksida yang
dihasilkan kendaraan ini hanya setengah
dari emisi yang dihasilkan kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak,
sehingga akan lebih ramah lingkungan.
Dengan
pencapaian Denmark dibidang teknologi beremisi rendah ini, Denmark tidak merasa
khawatir dengan pertumbuhan ekonominya apabila harus menurunkan emisi yang
dihasilkannya. Denmark juga menunjukan bahwa pembangunan dengan pendekatan
pengurangan emisi karbon bukan berarti keterpurukan ekonomi.
Dengan
pencapaian Denmark dibidang ini, akan cukup mudah bagi Denmark untuk mencapai
target penurunan emisi di negaranya. Tetapi pada kenyataannya Denmark sebagai
salah satu negara Annex I selain melakukan sendiri pengurangan emisi GRK yang
dihasilkan di negaranya dengan target sebesar 21 persen yang setara dengan 15
juta ton karbon dalam periode 2008-2012. Denmark juga menawarkan kerjasama
dengan Indonesia untuk pengembangan proyek CDM di Indonesia, dimana tawaran
kerja sama ini mencakup pertukaran informasi mengenai prosedur persetujuan
nasional bagi proyek CDM di Indonesia, promosi pengembangan, peningkatan
kapasitas, fasilitas penilaian, penyetujuan proyek, monitoring kegiatan proyek
CDM, serta penghargaan kepemilikan sertifikat proyek CDM yang dapat
ditransaksikan yaitu berupa CERs.
Indonesia
sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara dan mempunyai garis pantai yang
panjang, dengan jumlah penduduk yang besar dan kemampuan ekonomi yang terbatas,
berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim bagi
lingkungan dan kehidupan bangsa Indonesia. Dampak tersebut meliputi turunnya
produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit
tanaman serta manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil,
dan punahnya keanekaragaman hayati.
Sebagai
negara berkembang yang sedang membangun, Indonesia perlu mempercepat pengembangan industri dan
transportasi dengan tingkat emisi rendahmelalui pemanfaatan teknologi bersih
dan efisien serta pemanfaatan energi terbarukan (renewable energy). Di
samping itu, Indonesia perlu meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk
menyerap GRK. Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan dialihkan ke
negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui CDM yang diatur oleh
Protokol Kyoto.Indonesia menerima tawaran kerjasama Denmark di bidang CDM ini.
Nota
Kesepahaman Kerjasama Mekanisme Pembangunan Bersih antara Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah Denmark, telah ditandatangani pada tanggal 27 Juli 2005,
sebagai dukungan resmi terhadap peluncuran proyek Danish CDM Project
Development Facility di Indonesia. Inisiatif tersebut mengacu kepada dua
tujuan, yang pertama adalah untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
tentang CDM bagi kalangan luas, yang dapat memperoleh keuntungan dari CDM dan
untuk meningkatkan kapasitas bagi para pihak yang terkait dengan CDM di
Indonesia. Tujuan kedua adalah untuk mengembangkan proyek CDM serta
menyalurkan CERs yang dihasilkan kepada pemerintah Denmark, sehingga dapat membantu
Denmark dalam memenuhi target penurunan emisinya.
Untuk
memperlancar proses tersebut, Sekretariat untuk Danish CDM Project
Development Facility telah dibentuk di Kedutaan Denmark Jakarta.
Sekretariat ini akan mengkoordinir proses penyeleksian ide-ide proyek sekaligus
mendukung seluruh proses pengembangan proyek CDM. Hal ini mencakup dukungan
dana bagi biaya transaksi untuk proyek, termasuk memberikan bantuan teknis
dalam pengembangan baseline dan rencana pengawasan, pengembangan PDD (Project Design Document) serta
validasi proyek, bekerjasama dengan institusi swasta dan publik di Indonesia
dan Denmark.
Untuk
bantuan teknis, Kedutaan Denmark telah menugaskan dua institusi dalam
pelaksanaannya, yaitu Econ Analysis di Denmark dan Pelangi di Indonesia.
Selanjutnya, Danish CDM Project Development Facility akan menyediakan
bantuan teknis tersebut untuk mengembangkan ide-ide proyek yang terbaik,
sehingga pada akhirnya dapat mencapai tahap transaksi dengan pemerintah
Denmark. Denmark mengalokasikan dana sekitar 1,5 miliar dolar Amerika Serikat
bagi industri yang beremisi tinggi di Indonesia, untuk ikut program CDM ini dan
pemerintah Denmark memberikan jaminan kepastian untuk membeli sebanyak mungkin
CERs yang berasal dari fasilitas ini.
Dalam
kerjasama ini Denmark melihat Indonesia memiliki potensi yang cukup besar dalam
bidang CDM. Hingga tahun 2012, potensi karbon Indonesia yang dapat dijual
melalui mekanisme CDM ini berjumlah 24 juta ton per tahun dari sektor energi
dan 23 juta ton per tahun dari sektor kehutanan.2012 diperkirakan potensi
karbon Indonesia dari sektor energi sebesar 34 juta metrik karbon atau sebesar
2,1% dari total global.
Melihat
fenomena yang demikian, yang mana Denmark mampu memenuhi sendiri target
penurunan emisi di Negaranya tetapi Denmark juga memilih melakukan kerjasama
CDM dengan Indonesia. Sehingga dalam tulisan ini peneliti ingin mengetahui
alasan Denmark mengapa memilih melakukan kerjasama ini .
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu mekanisme pembangunan bersih?
2.
Apa tujuan MPB?
3.
Apa fungsi dari MPB?
4.
Apa keuntungan MPB?
5.
Bagaimana potensi MPB di sector energy?
6.
Apa syarat khusus untuk proyek MPB
kehutanan?
7.
Bagaimana cara menentukan additionality
lingkungan?
C.
Tujuan
1.
Memahami arti dari MPB
2.
Mengetahui tujuan dari MPB
3.
Menelusuri fungsi dari MPB
4.
Mengetahui keuntungan-keuntungan dari
MPB
5.
Mengetahui apa saja syarat khusus dari
proyek MPB kehutanan
6.
Mengetahui potensi MPB di sector energy
dan sector lainnya
7.
Memahami bagaimana cara menentukan
additionality lingkungan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mekanisme Pembangunan Bersih
Mekanisme
Pembangunan Bersih (MPB) atau dikenal juga sebagai Clean Development Mechanism
(CDM) merupakan salah satu mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto.
Mekanisme MPB merupakan satu-satunya mekanisme yang melibatkan Negara
berkembang, di mana negara maju dapat menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan
mengembangkan proyek ramah lingkungan di negara berkembang.
Mekanisme
ini sendiri pada dasarnya merupakan perdagangan karbon, di mana negara
berkembang dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara yang memiliki
kewajiban untuk menurunkan emisi, yang disebut negara Annex I.
B.
Tujuan
MPB
Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto
pasal 12, tujuan MPB adalah:
1.
Membantu negara berkembang yang tidak
termasuk sebagai negara Annex I dalam menerapkan pembangunan yang berkelanjutan
serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan mengganggu
system ikllim global.
2.
Membantu negara-negara Annex I atau
negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya.
3.
MPB membantu negara-negara Annex I untuk
memenuhi target pengurangan emisi rata-rata mereka sebesar 5,2 persen di bawah
tingkat emisi tahun 1990, sesuai dengan ketentuan di dalam Protokol Kyoto.
C.
Fungsi
dari MPB
Sesuai
tujuannya, MPB menghasilkan proyek yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca
serta mendukung pembangunan berkelanjutan. Bukti bahwa proyek tersebut telah
menurunkan emisi gas rumah kaca adalah diterbitkannya sertifikat pengurangan
emisi (Certified Emission Reductions-CERs) oleh Badan Eksekutif MPB (CDM
Executive Board) atas proyek yang bersangkutan. Sertifikat inilah yang kemudian
dapat dijual negara berkembang ke negara maju.
Negara
berkembang yang terlibat langsung dalam MPB akan mendapatkan investasi baru
untuk melakukan kegiatan yang dapat menurunkan emisi GRK dan juga mendukung
pembangunan berkelanjutan di negaranya.
Selain
itu, melalui mekanisme MPB ini negara-negara tersebut akan mendapatkan
keuntungan berupa adanya transfer teknologi dan dana tambahan yang dapat
membantu mereka untuk mempersiapkan diri menghadapi dampak yang ditimbulkan
perubahan iklim. Walaupun dampak perubahan iklim bervariasi di seluruh dunia,
namun negara berkembang dan negara-negara kepulauan, seperti halnya Indonesia,
merupakan kelompok negara yang mendapat dampak paling nyata dari perubahan
iklim.
Negara
manapun dapat berpartisipasi dalam aktifitas MPB, selama negara tersebut telah
meratifikasi Protokol Kyoto. Negara tersebut juga harus sudah memiliki DNA
(designated national authority) atau suatu otoritas nasional yang fungsi
utamanya memberikan persetujuan nasional terhadap proyek MPB.
Sesungguhnya
siapa saja dapat turut serta sebagai pengembang proyek MPB. Proyek MPB dapat
dikembangkan melalui kemitraan antara lembaga nirlaba, publik dan pihak swasta,
termasuk partisipasi dari masyarakat local dimana proyek itu dikembangkan.
Namun karena MPB merupakan mekanisme berbasis pasar maka MPB dirancang dengan
pertimbangan untuk diimplementasikan oleh sector swasta.
Upaya
penurunan emisi yang bisa dilakukan melalui kegiatan proyek MPB meliputi proyek
energi terbarukan (misal: tenaga matahari, angin, gelombang, panas bumi, air dan
biomassa), menurunkan tingkat konsumsi bahan bakar (efisiensi energi),
mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar lain yang lebih rendah tingkat
emisi GRKnya (pengganti bahan bakar, misal: minyak bumi menjadi gas),
kehutanan, dan jenis lain-lain seperti pemanfaatan gas metan dari pengelolaan
sampah.
D.
Sektor-sektor
yang dapat berpartisipasi dalam MPB
Sektor/Kategori
Sektor/Kategori
Sektor
|
Kategori
|
Energi
|
Pembakaran
bahan bakar:
industri
energi;
industri
manufaktur dan konstruksi;
transportasi;
sektor
lain.
Emisi
fugitive bahan bakar:
bahan
bakar padat;
minyak
dan gas alam;
lainnya.
|
Proses-proses
industri
|
Produk
mineral;
industri
kimia;
produksi
logam;
produksi
lainnya;
produksi
halocarbon dan sulfur heksaflorida;
konsumsi
halocarbon dan sulfur heksaflurida;
lainnya.
|
Penggunaan
bahan pengencer (solvent) dan produk lainnya
|
Pertanian
Fermentasi enteric;
pengelolaan
kotoran hewan;
penanaman
padi;
lahan
pertanian;
pembakaran
padang rumput sesuai dengan peraturan;
pembakaran
residu pertanian; lainnya.
|
Sampah
|
Pembuangan
sampah padat di lahan;
pengelolaan
air buangan;
insinerasi
sampah;
lainnya.
|
Tata
guna lahan
|
perubahan
tata guna lahan dan kehutanan
Aforestasi
;
reforestasi;
pencegahan
deforestasi untuk energi panas dalam proyek skala kecil.
|
Selain
penurunan emisi, kegiatan yang bisa dilakukan dalam MPB ialah penyerapan emisi
(carbon sink) yang bisa dilakukan di sektor kehutanan, karena hutan dpat
menyerap emisi GRK.
Proyek
MPB di sektor kehutanan terbatas pada kegiatan reforestasi dan aforestasi.
Proyek pencegahan deforestasi diijinkan sebagai proyek MPB kehutanan skala
kecil, misalnya bila dapat dibuktikan bahwa pemanfaatan tungku berbahan bakar
kayu yang efisien dapat mengurangi deforestasi. Contoh-contoh proyek MPB di
berbagai sektor/jenis:
1.
Proyek
Bis Umum di Perkotaan
a.
mengganti bahan bakar bis umum dengan
gas atau dengan energi terbarukan seperti biomassa.
b.
Mengganti mesin bis dengan mesin yang
lebih efisien dan lebih bersih.
2.
Proyek
Penerangan di Pedesaan
a.
menggunakan pembangkit tenaga listrik
bertenaga air dalam skala kecil (microhydro).
b.
mengganti penggunaan lampu bohlam di
pedesaan dengan lampu hemat energi.
3.
Industri
Tepung Tapioka
a.
melakukan manajemen limbah produksi
mengunakan bahan bakar biogas untuk proses pengeringan.
E.
Potensi
MPB Di Indonesia
Berdasarkan
perhitungan, potensi MPB secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 2008-2012
terhitung sebesar:
125-300
juta ton CO2
Harga
per ton CO2: US$ 1,5 – US$ 5,5 juta
Pendapatan:
US$ 187,5 – US$ 1.650 juta
Biaya
transaksi: US$ 106 – US$ 390 juta
Laba:
US$ 81,5 juta – US$ 1, 26 milyar
Proyek
MPB di sektor energi dapat dilakukan baik di sisi penyediaan (supply side)
maupun sisi pemakaian (demand side).
Potensi
Pengurangan Emisi CO2 di sektor energi sebelum tahun 2005, Dasar (Base):
Rata-rata Konsumsi Energi (Average Energy Mix) 2000. Opsi teknologi
(Penyediaan energi) Pengurangan CO2 (juta ton)
(Penyediaan energi) Pengurangan CO2 (juta ton)
PLT
Panas Bumi 139.4
Gas
Combined Cycle 0.1
PLTU
Biomassa 23.3
PLT
Air (skala besar) 9.9
PLT
Air (skala kecil) 5.3
Panas
sinar matahari 0.3
Kogenerasi
Turbin Rendah 13
Kogenerasi
Turbin Tinggi 8.7
Refrigerator
yang lebih efisien 0.33
Hitch
Refrigerator 0.63
Compact
Refrigerator 0.23
Incandescent
menjadi fluorescent (SFL) 1.85
Incandescent
menjadi CFL 39
Variable
Speed Motor 8.1
Seperti
yang tercantum di dalam Marrakech Accord, proyek MPB di sektor kehutanan
terbatas pada reforestasi dan aforestasi. Di Indonesia, tipe proyek kehutanan
yang masuk ke dalam kategori tersebut adalah re-boisasi, perkebunan, hutan
masyarakat, penghijauan kembali dan agroforestry.
F.
Prinsip-Prinsip
Dasar MPB
Untuk
menjadi proyek MPB, terdapattiga syarat utama yang harus dipenuhi:
1.
Mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan
di negara tuan rumah.
2.
Menghasilkan keuntungan yang benar-benar
terjadi, terukur dan berjangka, sehubungan dengan mitigasi perubahan iklim.
3.
Memenuhi additionality lingkungan, yaitu
dimana emisi GRK antropogenik pada sumber berkurang dibandingkan emisi yang
akan terjadi jika tidak ada kegiatan proyek MPB.
Ada
uji additionality lain yang harus dipenuhi yaitu additionality financial.
Usulan proyek MPB dianggap memiliki additionality financial apabila proyek
tersebut dibiayai bukan dengan dana ODA (official development assistance).
Usulan
proyek MPB akan mendapat nilai tambah bila memenuhi additionality investasi dan
teknologi. Usulan proyek MPB dianggap memiliki additionality investasi bila
adanya CERs dapat menambah nilai finansial dan komersial dari proyek tersebut.
Usulan proyek MPB dianggap memiliki additionality teknologi bila proyek
tersebut menyebabkan transfer teknologi terbaik, tepat guna, serta ramah lingkungan
di negara tuan rumah.
Kegiatan
MPB kehutanan terbatas pada kegiatan reforestasi dan aforestasi. Reforestasi
adalah konvesi lahan menjadi hutan yang dilakukan oleh manusia pada kawasan
hutan yang rusak sebelum 31 Desember 1989. Sementara aforestasi ialah konvensi
lahan menjadi hutan oleh manusia pada wilayah yang bukan hutan sejak 50 tahun
lau.
Hutan
sendiri didefinisikan sebagai lahan yang luas minimumnya 0.05-1.0 hektar dengan
tutupan tajuk pohon lebih dari 10-30 persen dengan potensi ketinggian pohon
minimum 2-5 meter pada kondisi dewasa.
Proyek
yang menggunakan tenaga nuklir, seperti proyek pembangkit listrik tenaga nuklir
(PLTN), tidak bisa dikategorikan sebagai proyek MPB walaupun memang tidak
mengeluarkan emisi GRK. Hal ini dikarenakan penggunaan nuklir dinilai tidak
aman akibat resiko kebocoran yang tinggi sehingga membahayakan kelangsungan
mahluk hidup di sekitarnya.
Selain
itu, ada beberapa jenis proyek yang meskipun menghasilkan reduksi emisi GRK
tapi kemungkinan keikutsertaannya dalam MPB masih mengundang banyak perdebatan,
yaitu: teknologi batubara bersih (clean coal technology), PLTA skala besar dan
injeksi CO2 ke dalam laut.
Pengurangan
emisi GRK dari proyek MPB yang terjadi sejak tahun 2000 dapat diperhitungkan
dalam masa komitmen pertama (first commitment period), yaitu tahun 2008 hingga
2012. Sejauh ini, peraturan yang telah disusun berkenan dengan MPB hanya
berlaku untuk masa komitmen pertama saja.
Pertisipasi
masyarakat menjadi pengawal yang menjamin bahwa proyek berkontribusi positif
bagi pembangunan berkelanjutan di negara tuan rumah. Baik persetujuan nasional
maupun internasional mensyaratkan adanya konsultasi publik. Pengembang proyek
harus mengkonsultasikan proyeknya pada masyarakat lokal di sekitar lokasi
proyek. Komentar masyarakat dan bagaimana komentar tersebut ditindaklanjuti
harus dijelaskan dalam formulir Aplikasi Persetujuan Nasional dan Dokumen
Desain Proyek (lihat lembar Mempersiapkan Dokumen Desain Proyek).
G.
Tahapan-tahapan
yang harus dilalui suatu proyek MPB
Adapun
tahap-tahap yang harus ditempuh dalam membuat proyek MPB:
1.
Tahap awal dalam mengembangkan sebuah
proyek MPB adalah mengidentifikasi apakah proyek tersebut dapat menurunkan gas
rumah kaca. Selain itu, pengembang proyek perlu melakukan analisis finansial
untuk mengenditifikasi apakah proyek tersebut menguntungkan secara finansial.
2.
Tahap selanjutnya, pengembang proyek
mempersiapkan dokumen desain proyek (biasa disebut PDD). Dokumen ini berisi
informasi lengkap mengenai proyek MPB yang akan dikembangkan. Untuk itu,
pengembang proyek perlu:
(1)
menetapkan batas-batas, baik wilayah maupun waktu;
(2)
melakukan analisa dampak lingkungan;
(3)
menyelenggarakan konsultasi public;
(4) mencari mitra kerja serta menentukan
pembagian keuntungan yang di dapat dari hasil penjualan CERs dan;
(5)
menetapkan metode baseline, yaitu keadaan tanpa adanya proyek MPB tersebut, dan
pemantauan.
Jika pengembang proyek menggunakan
metodologi baseline dan pemantauan yang baru, maka harus diusulkan oleh
institusi yang berwenang, biasa disebut Designated Operational Entity (DOE), kepada
Badan Eksekutif (CDM Executive Board) untuk mendapatkan persetujuannya.
3.
Validasi. Pada tahap ini, seluruh
informasi yang terdapat di dalam PDD, terutama penghitungan baseline, dikaji
untuk kemudian divalidasi oleh badan validator independent (DOE). Badan
independent ini akan mengevaluasi apakah proyek tersebut telah memenuhi semua
persyaratan MPB dan kemudian melaporkannya kepada EB. Pada tahap ini DOE
mengkaji PDD dan dokumen-dokumen pendukungnya untuk mengkonfirmasikan bahwa:
a.
Negara-negara yang terlibat telah
meratifikasi Protokol Kyoto.
b.
PDD dapat diakses oleh publik, dan para
pemangku kepentingan lokal telah diberi kesempatan selama 30 hari untuk
memberikan komentar. Ringkasan komentar dan laporan bagaimana komentar tersebut
telah ditindaklanjuti dicantumkan dalam PDD.
c.
Pengembang proyek telah menyerahkan
analisis dampak lingkungan kepada DOE.
d.
Kegiatan proyek akan menghasilkan reduksi
GRK yang additional.
4.
Persetujuan Nasional. Surat
rekomendasi/persetujuan nasional didapatkan dari otoritas nasional untuk MPB,
yaitu Komisi Nasional MPB, yang berisi pernyataan bahwa partisipasi pengembang
proyek dalam MPB bersifat sukarela dan bahwa kegiatan proyek yang terkait
membantu tercapainya pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
5.
Registrasi. Pada tahap ini Badan
Eksekutif menerima secara formal pengajuan PDD dari DOE. Sebuah proyek yang
didaftarkan ke Badan Eksekutif akan melalui sebuah proses komentar publik
selama 30 hari, di mana PDD akan diumumkan di situs web yang bisa diakses
publik untuk mendapatkan komentar terbuka dari semua pihak. Jika ada keberatan
dari Badan Eksekutif atau pihak yang terlibat dalam kegiatan proyek mengenai
dokumen yang diserahkan, maka badan tersebut akan melakukan kajian yang lebih
mendalam mengenai proyek yang diajukan. Jika tidak ada keberatan dari Badan
Eksekutif, maka proses registrasi diperkirakan akan selesai dalam waktu 8
minggu.
6.
Implementasi proyek dan pemantauan
(monitoring). Implementasi merupakan tahap di mana aktivitas proyek dijalankan.
Tahap implementasi ini bisa dijalankan sebelum atau sesudah registrasi. Jika
dilakukan sebelum registrasi, batas waktu paling awal adalah tahun 2000.
Artinya sebuah proyek yang berjalan sebelum tahun 2000 tidak bisa diajukan
sebagai proyek MPB. Setelah proyek ini didaftarkan, maka pemilik proyek
bertanggung jawab untuk melakukan pemantauan atau monitoring atas emisi GRK
yang berhasil diturunkan oleh proyek yang bersangkutan. Pelaksanannya sendiri
harus sesuai dengan rencana pemantauan yang tertera pada PDD. Kegiatan
pemantauan meliputi kegiatan pengumpulan dan penyimpanan data-data yang
digunakan untuk menghitung emisi baseline dan emisi proyek, dengan
memperhitungkan adanya kebocoran (leakage).
7.
Verifikasi dan Sertifikasi. Pada tahap
ini hasil pemantauan akan dikaji ulang, termasuk metodologi yang digunakan
dalam melakukan pemantauan. Hal ini kemudian dilaporkan secara tertulis,
termasuk di dalamnya jumlah emisi GRK yang berhasil diturunkan. Aktivitas
verifikasi ini dilakukan oleh DOE yang berdeda dengan DOE yang melakukan
validasi (kecuali untuk proyek MPB skala kecil). Hasil pemantauan ini terbuka
untuk publik. Sertifikasi adalah jaminan tertulis oleh DOE yang berisi bahwa
proyek bersangkutan, dalam periode tertentu, telaH berhasil menurunkan emisi
gas rumah kaca sebagaimana yang telah diverifikasi.
8.
Penerbitan CER. Badan Eksekutif
mempunyai waktu maksimum 15 ahri setelah permohonan penerbitan CERs diberikan
untuk mengkaji ulang surat sertifikasi proyek yang bersangkutan. Setelah itu,
Badan Eksekutif harus segera mengumumkan hasilnya dan mempublikasikan
keputusannya sehubungan dengan disetujui atai tidaknya CER yang diusulkan,
beserta alasannya, jika CERs yang diusulkan.
H.
Siklus
Proyek MPB
Badan
Eksekutif merupakan badan internasional di bawah COP/MOP, yaitu pertemuan
tahunan para negara yang sudah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim dan
Protokol Kyoto.
Tugas
utama Badan Pelaksanaan proyek-proyek CDM di Negara berkembang dan bertanggung
jawab pada COP/MOP.
DOE
(Designated Operational Entity) adalah suatu lembaga berbadan hukum domestik atau
international yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Eksekutif untuk
melakukan fungsi sebagai berikut:
1.
Melakukan validasi dan kemudian
meregistrasi suatu usulan proyek MPB.
2.
Melakukan verifikasi reduksi emisi dari
proyek MPB, kemudian melakukan sertifikasi dan memohon agar Badan Pelaksana
untuk menerbitkan CERs.
I.
Mempersiapkan
PDD Dan Proyek MPB Skala Kecil
1.
Mempersiapkan
PDD
Dokumen Desain Proyek (Project Design
Document, PDD) merupakan dokumen yang dimiliki oleh pengembang proyek MPB untuk
memuat seluruh informasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan proyek MPB. Secara
garis besar, PDD ini harus memuat data-data sebagai berikut:
a.
Deskripsi umum proyek, termasuk
penjelasan mengenai teknologi yang digunakan.
b.
Metodologi baseline, termasuk pemenuhan
additionality.
c.
Durasi proyek/crediting period.
d.
Rencana pemantauan, prosedur pemantauan
dan verifikasi.
e.
Perhitungan emisi GRK dan pengurangan emisi
yang dihasilkan proyek.
f.
Dampak lingkungan.
g.
Komentar para pemangku kepentingan.
baseline adalah emisi GRK yang
dihasilkan oleh suatu kegiatan tanpa adanya proyek MPB tersebut. Terdapat
beberapa pendekatan dalam menentukan baseline, yaitu:
a.
Menggunakan data emisi yang terjadi pada
masa sekarang atau masa lalu.
b.
Emisi yang dihasilkan oleh teknologi
yang secara ekonomi menarik untuk diterapkan, dengan memperhitungkan
hambatan-hambatan investasi.
c.
Emisi rata-rata dari kegiatan yang
serupa dengan usulan proyek MPB yang terjadi dalam lima tahun terakhir, dalam
kondisi yang serupa, pada kinerja 20% terbaik.
Terdapat tiga pendekatan, yaitu:
a.
Perubahan yang terjadi pada masa
sekarang atau lalu dalam stok karbon dalam carbon pools di dalam batas proyek.
b.
Perubahan stok karbon dalam carbon pools
di dalam batas proyek dari pemanfaatan lahan yang paling menarik secara ekonomis,
dengan mempertimbangkan hambatan-hambatan investasi.
c.
Perubahan stok dalam batas proyek dari
pemanfaatan lahan yang paling mungkin terjadi pada saat proyek dimulai.
Terlebih dahulu, tentukan reduksi emisi
yang terjadi, baik pada scenario baseline maupun pada skenario proyek MPB.
Additionality lingkungan adalah selisih antara emisi baseline dengan emisi
proyek.
Pengembang proyek perlu memperhatikan
kemungkinan terjadinya kebocoran (leakage). Kebocoran adalah peningkatan emisi
GRK akibat adanya usulan Proyek MPB namun terjadi di luar batas proyek (project
boundary) dan kerangka waktu proyek. Kebocoran ini harus diperhitungkan dalam
penentuan CERs.
Sumber kebocoran sangat tergantung dari
jenis proyek dan juga metode penghitungan emisi proyek dan baseline. Contoh
umum misalnya proyek MPB yang besar mampu menurunkan harga suatu produk dan
kemudian terjadi peningkatan permintaan.
Misalnya, proyek efisiensi energi yang
berakibat pada turunnya harga listrik akan menyebabkan terjadinya peningkatan
permintaan listrik. Akibatnya, emisi yang sebelumnya menurun karena proyek
efisiensi energi, pada akhirnya justru meningkat akibat bertambahnya permintaan
listrik. Informasi yang harus dicantumkan adalah:
a.
Durasi proyek, termasuk tanggal mulai
dan masa operasional proyek.
b.
Pilihan crediting period, yaitu masa
penghitungan emisi karbon yang akan dikreditkan oleh proyek yang bersangkutan.
Terdapat dua pilihan untuk crediting
period:
a.
Satu periode maksimum 10 tahun
b.
Satu periode maksimum 7 tahun, dengan
kemungkinan diperbaharui maksimum 2 kali periode tambahan.
Khusus untuk MPB sektor kehutanan,
pilihan crediting periodnya lebih panjang, yaitu:
a.
Maksimum 20 tahun yang dapat
diperbaharui dua kali, asalkan DOE mengkonfirmasi bahwa baseline yang digunakan
masih berlaku atau telah diperbaharui dengan memperhitungkan data baru.
b.
Maksimum 30 tahun.
Batas proyek atau project boundary
merupakan wilayah dimana reduksi emisi atau penyerapan karbon terjadi. Reduksi
emisi harus terjadi pada situs proyek atau bagian hulu dari proyek. Misalnya,
proyek yang mengurangi konsumsi listrik dengan cara efisiensi, maka reduksi
emisi terjadi di bagian hulu yaitu pada pembangkit listrik.
Rencana Pemantauan digunakan untuk
memantau reduksi emisi GRK yang dihasilkan proyek MPB.
Pengurangan emisi GRK yang akan tertera
dalam sertifikasi CERs adalah emisi berdasarkan baseline dikurangi emisi GRK
yang dihasilkan oleh proyek MPB (berdasarkan hasil dari pemantauan).
Setiap pengusul proyek MPB harus
menjelaskan kemungkinan dampak lingkungan dari proyeknya dalam PDD. Bila dampak
lingkungan dari proyek tersebut signifikan, pengusul proyek harus menjelaskan
bahwa proyek tersebut telah memenuhi peraturan lingkungan yang berlaku fi
negara tuan rumah.
Pengembang proyek harus mengadakan
konsultasi publik, termasuk dampak sosial maupun lingkungan yang ditimbulkan.
Catatan dari konsultasi publik ini harus tertera dalam PDD, termasuk di
dalamnya komentar dari pemangku kepentingan dan bagaimana komentar tersebut
ditanggapi.
2.
MPB
Skala Kecil
Proyek skala kecil sangat didukung untuk
menjadi proyek MPB karena dianggap lebih mendukung pembangunan berkelanjutan.
MPB skala kecil biasanya dikembangkan oleh masyarakat sehingga lebih berdampak
positif secara lokal. Proyek MPB skala kecil adalah:
a.
Proyek energi terbarukan dengan kapasitas
hingga 15 megawatt.
b.
Proyek efisiensi energi yang mengurangi
konsumsi hingga 15 GWh per tahun.
c.
Proyek yang mampu mereduksi emisi dan
secara langsung mengemisi kurang dari 15.000 ton ekivalen CO2 per tahun
Sedangkan
proyek MPB skala kecil khusus untuk kehutanan adalah:
a.
Proyek yang mereduksi kurang dari 8 kilo
ton ekusivalen CO2 per tahun.
b.
Proyek yang dikembangkan oleh komunitas
lokal atau masyarakat dengan tingkat ekonomi lemah (sesuai dengan kriteria
nasional).
Tipe proyek MPB skala kecil:
a.
Tipe
I
1.
Proyek energi berkelanjutan:
2.
Pembangkit listrik oleh pengguna
3.
Energi mekanis untuk pengguna
4.
Energi panas untuk pengguna
5.
Pembangkit listrik terbarukan untuk
jaringan listrik
b.
Tipe
II
1.
Proyek perbaikan energi efisiensi:
2.
Perbaikan energi efisiensi sisi penyediaan-transmisi
dan distribusi.
3.
Energi efisiensi sisi penyediaan-pembangkit
4.
Program energi efisiensi sisi permintaan
untuk teknologi yang spesifik
5.
Usaha-usaha energi efisiensi dan
penggantian bahan bakar untuk fasilitas industry
6.
Usaha-usaha energi efisiensi dan
penggantian bahan bakar untuk gedung-gedung
c.
Tipe
III
Tipe
proyek lainnya:
1.
Pertanian
2.
Penggantian bahan bakar fosil
3.
Reduksi emisi dengan kendaraan pengemisi
GRK yang lebih rendah
4.
Pemanfaatan gas metan (methane recovery)
5.
Penghindaran emisi gas metan
Proyek MPB berskala kecil mendapatkan
berbagai kemudahan. Biaya transaksi untuk proyek MPB skala kecil menjadi lebih
murah karena modalitas dan prosedurnya disederhanakan. Proyek skala kecil
cenderung tidak menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan sehingga dikenai
peraturan lingkungan (AMDAL) yang lebih sederhana. Peraturan-peraturan apa saja
yang disederhanakan:
a.
PDD yang disederhanakan.
b.
Metode baseline dan monitoring serta
penghitungan kebocoran/leakage disederhanakan. Sekretariat UNFCCC telah
menyediakan metode baseline dan monitoring untuk ke-14 jenis proyek MPB skala
kecil (tersebut di atas) untuk dipergunakan bagi pengembang proyek.
c.
DOE yang sama boleh melakukan validasi
dan verifikasi/sertifikasi kegiatan proyek.
d.
Tidak dikenai potongan untuk dana adaptasi
(climate adaptation fund)
e.
Biaya registrasi dikurangi.
f.
Beberapa proyek boleh “disatukan”
(bundling) untuk tahapan-tahapan berikut: PDD, validasi, registrasi, pengawasan,
verifikasi dan sertifikasi.
Debundling adalah pemecahan suatu proyek
yang besar menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Suatu proyek skala kecil
yang merupakan bagian dari proyek yang lebih besar tidak dapat dikategorikan sebagai
Proyek MPB skala kecil.
Suatu usulan proyek skala kecil dianggap
bagian debundling dari suatu proyek besar bila terdapat suatu proyek MPB skala
kecil yang sudah terdaftar atau aplikasi untuk mendaftar dari proyek MPB skala
kecil lain:
a.
Yang dikembangkan oleh partisipan/pengembang
proyek yang sama;
b.
Yang berada dalam kategori proyek dan
menggunakan teknologi yang sama;
c.
Yang terdaftar dalam tahun sebelumnya;
dan
d.
Yang batas proyeknya berada dalam jarak
1km dari batas proyek dari usulan proyek skala kecil pada titik terdekat.
BAB III
PENUTUP
A.
Rangkuman
Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau
dikenal juga sebagai Clean Development Mechanism (CDM) merupakan salah satu
mekanisme yang terdapat di dalam Protokol Kyoto. Mekanisme MPB merupakan
satu-satunya mekanisme yang melibatkan Negara berkembang, di mana negara maju
dapat menurunkan emisi gas rumah kacanya dengan mengembangkan proyek ramah
lingkungan di negara berkembang.
Mekanisme
ini sendiri pada dasarnya merupakan perdagangan karbon, di mana negara berkembang
dapat menjual kredit penurunan emisi kepada negara yang memiliki kewajiban
untuk menurunkan emisi, yang disebut negara Annex I.
Seperti
yang tertera pada Protokol Kyoto pasal 12, tujuan MPB adalah:
1.
Membantu negara berkembang yang tidak
termasuk sebagai negara Annex I dalam menerapkan pembangunan yang berkelanjutan
serta menyumbang pencapaian tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu
menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca dunia pada tingkat yang tidak akan
mengganggu system ikllim global.
2.
Membantu negara-negara Annex I atau
negara maju dalam memenuhi target penurunan jumlah emisi negaranya.
3.
MPB membantu negara-negara Annex I untuk
memenuhi target pengurangan emisi rata-rata mereka sebesar 5,2 persen di bawah
tingkat emisi tahun 1990, sesuai dengan ketentuan di dalam Protokol Kyoto.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya