AIR MATA KOREK API
“Ah,
sialan!”, umpat Lena, seorang wanita muda berumur 20an tatkala batang korek api
yang ia coba gesek patah karena tangannya begitu gugup memegangnya. Umpatan
tersebut tidak terlalu jelas ia ucapkan karena di ujung mulutnya sedang
bertengger sebatang rokok yang baru saja ia keluarkan dari bungkusnya. Kemudian
tetap dengan sebatang rokok di mulut, kembali ia mengambil sebatang korek api
dari kotaknya dan me nggeseknya lagi dengan pelan. Dari gesekan yang kedua keluarlah
api yang kemudian ia sulutkan ke ujung rokok hingga perlahan ia mulai menikmati
asap demi asap yang ia hirup ke dalam paru-parunya. Ia kini mulai sedikit
tenang. Kegugupan dihatinya mulai mereda. Rupanya dengan merokok ia dapat
mengantisipasi kegugupannya.
Selang
beberapa menit kembali Lena mengumpat,“Brengsek!”. Umpatannya tak lain ditujukan
kepada dua orang asing yang duduk di belakangnya. Kedua orang itu adalah wanita
muda yang memiiki penampilan sama denganya. Mereka sedang berbisik-bisik membicarakanya.
Sesekali mereka tertawa kecil dan membuat Lena bertambah dongkol mendengarnya.
Beberapa menit kemudian, Lena segera sadar ketika ia melihat papan peringatan
di depannya yang berbunyi “Dilarang Merokok”. Dengan segera ia mematikan rokok
di tangannya dan membuangnya ke tempat sampah. Ia menggerutu dengan suara
pelan, “Mereka mentertawankanku karena aku merokok. Ah, dimana-mana dilarang
ngerokok. Untung aja di tempat kerja bebas-bebas aja. Mau ngisep rokok atau
ganja gak ada yang ngelarang. Ah, siapa juga yang mau ngelarang. Hanya
tempatnya saja yang terlarang”.
Sambil
menunggu giliran masuk, ia kembali memoleskan gincu merah menyala ke kedua bibirnya.
Sambil menatap cermin ia berkata pada dirinya sendiri dengan semangat yang
dibuatbuat,”Cukup untuk menarik perhatian dokter Hadi”. Namun ketika menyebut
namanya, ia kembali gugup. Hatinya kembali khawatir. Ia berdo’a agar yang
dikhawatirkannya tidak terjadi.
“Ah,
sudahlah. Aku terlalu berlebihan. Dugaanku pasti salah. Dan apa gunannya aku berdo’a.
Tuhan tidak akan mendengar do’a dari makhluk sepertiku”. Gumannya dalam hati.
Dan
ketika tiba gilirannya ia dipanggil, dengan gesit ia berdiri hingga terlihat
dengan jelas postur tubuhnya yang begitu montok dengan rambut pirang terurai
sepanjang punggungnya. Dengan menggunakan setelan rok mini dan atasan u can
see serta sepatu hak tinggi ia melenggang masuk ke dalam ruang periksa.
Di
ruang periksa wanita itu terkejut karena yang sedang duduk di kursi dokter
bukanlah dokter Hadi yang ia kenal. Melainkan seorang dokter muda berusia 20an
dengan postur tegap. Berambut cepak berwarna hitam. Dengan kumis halus dan
bibir yang tipis ia tersenyum mempersilahkan Lena duduk.
“Ah, kemana dokter Hadi, dok?”, tanya Lena.
“Dokter
Hadi dipindahtugaskan ke rumah sakit lain. Saya disini bertugas menggantikan
beliau”.
“Kemana?”.
Tanya Lena kaget.
“Maaf.
Kami tidak bisa memberitahukan mengenai hal itu”.
Mendengar
itu, hati Lena merasa kecewa. Ketakutan dan kekhawatiran kembali menjalari hatinya.
Hari ini mestinya ia bertemu dengan dokter Hadi. Karena sudah satu bulan waktu
yang ditunggunya untuk bertemu dengannya.
“Nama
saya Deny. Saya dokter muda disini, nyonya”
“Jangan
panggil aku nyonya. Umurku masih 26 tahun. Panggil saja aku Lena”.
“Baik
kalau begitu. Apa keluhan anda?”
“Aku
disini sih sebernarnya ingin ketemu dokter Hadi. Setelah beberapa minggu yang
lalu melakukan pemeriksaan dengannya. Tapi karena dia sudah tidak disini lagi,
mungkin bisa dokter yang melakukannya padaku sekarang. Melakukan pemeriksaan
maksudku”. Ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.
Dokter
Deny kemudian membuka buku catatan pasien. Ia mencari catatan medis atas nama Lena.
Dan setelah menemukannya, ia mulai bertanya,“Anda terinveksi HIV, benar?”
“Seperti
yang tertera di situ dok”. Jawabnya.
“Kalau
boleh saya pastikan kembali, disini tertulis anda didiaknosis terinveksi HIV
sebulan yang lalu dengan pemeriksaan oleh dokter Hadi”.
“Betul
sekali, dokter”. Jawab Lena.
“Sebelumnya,
nama anda Marlena. Usia 26 tahun. Pekerjaan anda, maaf, seorang penghibur.”
“Begitulah,
dok. Tapi tidak cukup kata penghibur untuk menggambarkan pekerjaanku saat ini.
Penghibur itu banyak. Ada penghibur di layar televisi, penghibur di radio, dan
penghibur di atas panggung. Nah, untukku sendiri dok, penghibur di atas kasur”.
Canda Lena untuk menutupi kekhawatiran di hatinya.
Hening
sejenak. Tiba-tiba Lena bertanya. “Kalian sudah kenal dekat?. Maksudku kau dengan
dokter Hadi”.
“Tidak
juga”. Jawab dokter Deny dengan singkat, kemudian kembali terfokus pada catatan
di tangannya.
“Emang
udah berapa lama kau mengabdi disini, dok?”
“Sudah
hampir enam bulan”. Jawabnya lagi dengan singkat.
Dalam
hati, Lena berkata. “Dasar para dokter. Atau kalian saja yang sudah lama
bekerja dalam satu tempat belum bisa
mengenal dekat satu sama la in. Atau dokter Hadi yang begitu dingin sehingga
sulit mengenal seseorang lebih dalam? Atau semua lelaki yang kukenal memiliki
sifat seperti itu?. Ah, sudahlah”.
Kemudian
dokter Deny berhenti sejenak dari catatan yang dibacanya. Ia berpaling ke arah Lena
dan berkata. “Dari catatan yang saya baca, anda sudah melakukan pekerjaan ini
selama lima tahun. Tapi kalau boleh saya tahu, alasan apa yang membuat anda
menekuni pekerjaan ini?”.
Mendengar
pertanyaan dokter Deny, Lena sedikit tersinggung dan menjawab.“Ah, pertanyaan
basi. Gak bisa kujawab untuk pertanyaan seperti itu pada dokter. itu mejadi
rahasiaku. Lagipula pertanyaan itu apa gunanya untuk bahan pemeriksaanku, dok?
Atau kalau dokter masih penasaran, bisa bertanya langsung pada dokter Hadi. Ah,
dia pasti tau benar alasan aku melakukan pekerjaan ini”. Jawab Lena.
Bingung
dengan jawaban Lena, dokter Deny kemudian melajutkan memeriksa catatan medis Lena.
Sedangkan Lena begitu mengucap nama Dokter Hadi, ia kembali merasa gugup. Kekhawatiran
mulai terasa lagi di hatinya. Ia kemdian meraba-raba isi tasnya, mencari
bungkus rokok dan korek apinya.
“Ah,
ketemu”, gumamnya tanpa membuat dokter Deny perpaling ke arahnya.
Dengan
perlahan ia kembali menggesek batang korek api kemudian menyulutkan apinya ke
ujung batang rokok yang sudah bertengger di bibir merahnya. Ia menghisap dan
menghembuskan asap rokoknya dengan perlahan sambil memejamkan mata. Kemudian ia
hisap dan hembuskan lagi sehingga ruang periksa kini penuh dengan asap rokok.
“Maaf,
kiranya anda sudah tau bahwa disini dilarang merokok”. Tegur dokter Deny sambil
menutup buku catatan medis Lena. Ia melanjutkan, “Sebaiknya kita segera
melakukan pemeriksaan dengan cepat”. Ajak dokter Deni. Kiranya ia sudah tidak
tahan berhadapan dengan pasien yang satu
ini.
Lena
kemudian mematikan rokoknya dan membuangnya bersama dengan batang korek api yang
telah menghitam ke dalam tempat sampah di dekat tempat duduknya. “Sebenarnya,
selain ingin melakukan pemeriksaan ulang penyakit HIV ini, aku juga ingin
memeriksa sesuatu yang lain disini, dok”. Ujar Lena kemudian.
“Apa
itu?”
Awalnya
Lena sedikit ragu menjawabnya, tetapi denagan sedikit keberanian ia menjawab, “Selama
dua bulan ini aku telat datang bulan. Aku khawatir aku hamil, dok. Apa mungkin
seorang pengidap HIV bisa hamil, dok?”. Tanya Lena.
“Seorang
pengidap HIV memang bisa hamil. Untuk memastikannya mari kita periksa dulu!”
Perlahan
Lena berdiri. Berjalan menuju tempat pemeriksaan. Hatinya beredegup kencang. Ia
rasanya ingin menagis. Tetapi ia tak sanggup melakukannya disini. Ia
berpura-pura untuk tegar. Ia mencoba menghilangkan pikirannya yang bukan-bukan.
Namun apa yang dipikirkan Lena memang benar adanya. Kekhawatirannya kini
terbukti. Setelah diperiksa, ternyata ia memang benar hamil.
“Sudah
kuduga”, ujar Lena dengan suara lirih. Hatinya kini benar-benar pilu. Ia telah merelakan
hidupnya terbebani oleh penyakit mematikan. Tapi kini ia harus menanggung beban
baru dalam hidupnya. Beban benih di dalam rahimnya yang akan terbebani oleh
penyakit yang sama dengan yang deritanya. Ia merasa hidupnya kacau. Tidak
terasa setitik air mata keluar dari pelupuk matanya.
“Anda
harus menggugurkannya mumpung masih berusia dua bulan”. Kata dokter Deny tiba-tiba.
“Karena tidak ada jalan lain selain itu. Penyakit HIV sudah pasti menurun dari
ibu ke anak yang dikandungnya”
“Itu
pasti aku lakukan”. Jawab Lena sambil menunduk.
Matanya
yang berkaca-kaca tidak mampu ia tunjukan pada dokter Deny. Dia menunduk menatap tempat sampah yang ada di depannya. Ia
melihat batang korek api menghitam tegeletak di dalam tempat sampah tersebut.
Batang korek bekas yang ia pakai merokok tadi. Kemudian tanpa sadar ia
memungutnya dan menunjukannya pada dokter Deny.
“Dokter
tahu aku ini tak ada bedanya dengan batang korek api yang telah menghitam ini. Dokter
tahu mengapa?”. Tanya Lena. Tetapi Dokter Deny hanya menggeleng dengan dahi mengkerut.
”Sebatang
korek api yang apinya habis dipakai untuk menyulut rokok pasti ia akan terbuang
percuma di dalam tempat sampah. Karena apa lagi yang diharapkan dari sebatang
korek api bekas. Sama halnya dengan kami, wanita pelacur yang selalu ditinggal
pergi oleh para lelaki setelah mereka puas bermain-main. Apalagi aku. Yang
lebih kotor dan hitam. Lelaki itu rupanya jijik setelah mengetahui aku
terjangkit penyakit ini, sehingga ia tidak mau menemuiku lagi hari ini. Ia lupa
pada janjinya untuk membantuku melewati hari-hariku yang sulit ini. Atau itu
hanya omong kosong sewaktu ia mengatakannya. Apalagi aku yang kini tengah me
ngandung anaknya, dok. Dia mungkin akan lebih jijik dan membenciku setelah ia
tahu kenyataannya”.
Dokter
Deny mendengarkannya dengan seksama. Kemudian Lena melanjutkan, “Aku masih ingat
dua bulan yang lalu ketika kami bertemu di diskotik. Aku kebetulan duduk
sendirian waktu itu. Tiba-tiba ia datang menghampiriku dengan membawa dua botol
bir penuh. Ia cukup tampan. Wajahnya putih bersih. Ia menggunakan setelan jas
dan celana hitam serta sepatu pantovel menandakan ia seorang yang mempunyai
pekerjaan mapan dan hidupnya terjamin. Aku terpesona waktu itu. Kemudian ia
duduk dan mengajakku berkenalan. Aku tambah terpesona ketika aku tahu dia
seorang dokter. Karena rasanya aku belum pernah bertemu dengan seorang dokter
di tempat seperti itu.”Ungkap Lena.
Kemudian Dia melanjutkan, “Seperti lelaki lainnya, ia mau membayarku untuk
melayaninya semalaman. Kami melakukannya dalam keadaan mabuk sehingga di lupa menggunakan
kondom pada waktu itu. Dan akhirnya seperti inilah jadinya”. Lena kembali menunduk.
“Kemudian sebulan yang lalu aku menemuinya, selain untuk melihat wajah
tampannya lagi, aku juga ingin memeriksa kesehatanku karena pada waktu itu aku
mengalami demam yang tidak wajar. Dan setelah diperiksa dan dites darah
olehnya, aku ternyata mengidap menyakit HIV. Dia kemudian memberikanku resep
obat. Dia juga bersedia membantuku untuk melewati hari-hariku yang sulit ini.
Dia mau memberiku semangat. Karena waktu itu aku begitu ketakutan. Aku tahu
obat untuk penyakit ini bukan untuk menyembuhkanku, tetapi untuk menunda
kematianku saja. Tetapi kenyataannya ia pergi”. Isak tangis Lena mengakhiri
kisah singkatnya.
Dokter
Deny yang dari tadi menyimak ceritanya, dengan ragu bertanya, “Apa lelaki itu dokter
Hadi?”. Dan Lena hanya mampu mengangguk
pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya