HARI LAHIRKU HARI MATIKU
Aku terlahir dengan paras cantik, keluarga yang serba kecukupan,
dan pandai. sampai suatu saat kejadian pahit yang tak mampu dibayangkan
menimpaku. kejadian naas saat itu merenggut kebahagiaan ku. laju truk yang bagaikan
angin itu menghantam mobil ayah ku. setelah koma selama setahun. beruntung nyawa
ayah masih terselamatkan. ayah sadar dari komanya meski aku harus menerima kenyataan
bahwa ayah kehilangan indra pendengarannya dan akibat kerusakan sarafnya ayah
seperti orang yang tak berakal.
Untuk membiayai pengobatan ayah selama setahun, biaya hidup kami,
belum lagi perusahaan yang terbengkalai, akhirnya perusahaan kami terpaksa
gulung tikar. Roda pun berputar posisi kami sekarang di bawah. kini, aku tak sanggup
lagi membeli barangbarang mewah. Jangankan barang mewah, barang murah pun tak
sanggup aku meliriknya.
Pagi itu, waktu nya untuk ku berangkat ke sekolah. sebelum
berangkat sekolah seperti biasa kami sarapan terlebih dulu karena ayah dan ibu
tak mempunyai banyak uang untuk memberi ku ongkos. ibu membagikan mie menu kami pagi ini. “ko mie lagi? ibuuuu,
aku bosan. kapan kita makan enak lagi seperti dulu bu? Adikku berbicara dengan nada
yang lirih sambil menangis. ibu hanya terdiam. tiba-tiba beranjak dari meja
makan dan berlari ke kamar. aku menghampirinya, terdengar suara ibu menangis
tersedu-sedu meluapkan kesedihannya. tak
sanggup aku menahan kepedihanku air mata ku pun mengalir dengan derasnya.
“ibuuu, jangan menangis bu, kita harus kuat. ini cobaan dari allah” sahut ku
mencoba menenangkan ibu. “ibu gak kuat nak, ibu gak kuat cobaan ini terlalu
beraat ibu gak sanggup lebih baik ibu mati” jawab ibuku. “astaghfirullah bu, istighfar
bu kalo ibu gaada aku sama siapa bu? Siapa yang rawat ayah” sahut ku. “cepat pergi
sekolah, nanti terlambat gak usah mikirin ibu. Sana pergi” usir ibuku. aku pun pergi ke sekolah meski
air mata ku tak hentinya mengalir merasakan pedihnya takdir ku ini.
Waktu menunjukkan pukul 3.00 sore waktunya aku pulang kerumah. Kejadian
tadi pagi masih terngiang diingatanku. Kata
kata ibu terus terdengar ditelingaku .
Setibanya dirumah, kaget bukan kepalang. Begitu banyak orang
berkerumun di gubuk ku. Aku bertanya-tanya apa gerangan yang membuat mereka
berkumpul di rumah ku. Rasa penasaran
bercampur rasa takut menghantui perasaan ku. Namun apalah daya ku beranikan diri mencari tahu kebenaran.
Meskipun ragu Kulangkah kan kaki ku masuk kedalam rumah. Bukan main kaget nya aku ketika melihat adik ku
tergeletak tak sadarkan
diri, busa putih memenuhi mulut nya. Sedangkan ibu, tak kusangka ibu nekad mengakhiri hidupnya dengan seutas tali
setelah meminumkan racun tikus kepada adik ku. Badannya tergantung lemas tak
bernyawa. Hati ku tercabik-cabik lebih perih dari luka yang terkena air garam. Teganya ibu
melakukan ini pada ku. Tak kusangka satu satunya orang tempat ku mengadu kini telah tiada , aku berharap ini
hanya mimpi buruk. Mimpi buruk yang segera usai . Ingin ku terbangun dari mimpi buruk ini
, namun tak sanggup ku menolak inilah kenyataan takdir pahit ku. Kesal, kecewa, sedih, marah,
gundah, semua bercampur
aduk. Disamping mayat adikku tergeletak sepucut surat. Pesan terakhir ibu sebelum mengakhiri hidupnya
Anak ku tersayang, maafin ibu. Ibu udah gak bisa dampingin kamu
tumbuh dewasa. Ibu udah gak kuat nak hidup seperti ini. hidup kita sekarang gak ada
bedanya sama neraka. lebih baik ibu pergi. Ibu gak sanggup nanggung kepedihan
hidup kita. Ibu juga ajak adik mu ikut ibu. Jangan ikut ibu ya nak, jaga diri baik-baik.
Jaga ayah .maafin ibu. ibu harap kamu bahagia .
Air mata ku mengalir dengan derasnya. Tak sanggup sungguh tak
sanggup ku menerima nya. Tubuh ku lemas tak kuasa menopang berat badan ku. bagaikan
ditimpa batu seberat
10 ton. Ibu ibu ibu berkali kali ku
meneriakkan namanya. Ibu tetap tak kunjung sadar. Teganya ibu meninggalkan ku. Meninggalkan ku bersama
pria tua tak berguna ini. Kulimpahkan semua kekesalan ku kepada ayah.
Seolah-olah dialah penyebab semua kepahitan ini.
Sejak kematian ibu, sikap ku terhadap ayah memburuk. Bahkan
sebutan anak durhaka pantas untukku. Kondisi ayah membaik meskipun ia masih telihat
seperti orang setengah berakal. Hari demi hari kujalani .
Pernah suatu hari, ditengah perjalanan pulang sekolah. Kulihat
ayah sedang dipermainkan
oleh sekumpulan anak-anak kecil. Kulihat brosur tercecer ditanah. Ternyata ayah mencoba untuk mencari
uang dengan membagikan brosur iklan tempat les. Mereka meneriaki ayah ku orang
gila. Memang itu tidak sepenuh nya salah ayah memang terlihat seperti orang gila. Tetapi hatiku sedih melihat
nya. Pantaskah mereka menghina kami? Apakah kami ingin memiliki takdir seperti ini?
Tidak! Tak ada seorang pun yang menginginkan takdir ini. Jika aku boleh memilih, aku
pasti akan memilih menjadi orang kaya selama hidup ku. Mendapatkan kebahagiaan.
Hidup dengan layak. Tapi allah berkehendak lain, inilah ketentuan yang ia berikan .
Hidup seperti binatang
penuh caci maki dan kesedihan.
Dengan tatapan tajam aku lantangkan kalimat kepada anak-anak
itu "tahu apa kaliaan? Ha? Tahu apa
tentang hidup kami? Seenaknya mencaci kami. Hidup kami baik-baik saja sebelum
ayah ku kecelakaan. Nyawa kalian pun mampu aku beli!!"
"Orang gila! Baju aja compang camping mau beli nyawa"
celetuk salah seorang anak sambil melempar uang seribu lecek kewajah ku.
"Jangan-jangan uang seribu pun kaka tak pernah megang hahahahahaa"
lanjutnya. Habis sudah kesabaran ku. Dengan penuh emosi Kudorong badan kecil
nya hingga tersungkur ke tanah. Seketika ia dan temannya terdiam. kutatap wajahnya
dengan mata penuh kebencian. Kuteriakkan kepada mereka "PERGI !!!! Cepat
PERGIIII atau kubunuh kalian!" Mereka semua menangis dan lari terbirit
birit meninggalkan ku dan ayah ku.
Kami pun berjalan pulang, didepan pintu rumah kutatap ayah. Aku
begitu jijik melihat penampilannya. Pantas lah mereka semua mengejek dan
menghina ayah. Seketika aku lemparkan brosur-brosur yang ada di tangan ayah.
Brosur itu berhamburan ditanah. Aku memaki ayah ku habis-habisan aku berkata
pada nya "buat apa ayah lakukan itu? Buat apaaa? Apa aku suruh ayah
bekerja? Apa iya? Engga kan yah? Apa gak cukup ayah bikin aku malu setiap hari
apa gak cukup yaaah?" Teriakku kepada ayah. Tak puas meneriaki nya aku pun
menarik baju ayah yang compang camping hingga ia tersungkur ketanah seraya berkata
"inilah kenapa mereka memaki ayaah, ayah dekil kumuh pakai baju pun
compang-camping pantaslah mereka mengejek ayah. Ayah memang pantas diejek. Ayah
itu emang gilaa!!" Kutendang brosur yang berhamburan ditanah kubanting pintu
lalu masuk kedalam kamar . Air mata ku kembali mengalir. tak henti-henti nya
aku menangis. Bertambah perihnya ketika aku ingat kondisi ayah sebelum
kecelakaan. Memakai jas, mengendarai mobil mewah, begitu dihormati begitu
disegani oleh orang-orang. Hanya dengan setoreh tanda tangan pun ratusan juta
rupiah masuk kekantong ayah. Berbanding terbalik dengan keadaan kami sekarang.
Sekian lama kurenungi nasib. Tiba-tiba Teringat oleh ku bahwa
hari ini adalah hari ulang tahun ku. Apalah pentingnya hari ulang tahun bagi
ku. Toh tidak ada orang yang akan mengucapkan selamat ulang tahun lagi kepada
ku. Tidak ada hadiah, dan tidak ada kata bahagia untuk ku. Sejak kecelakaan
ayah, hidupku berubah drastis sepertinya senyum sangat takut menghampiriku.
Tok tok tok terdengar suara orang mengetuk pintu dengan keras
nya. Cepat-cepat aku berjalan membukakan pintu, plakkk! betapa kagetnya aku
seorang ibu-ibu tiba-tiba menampar pipiku. Belum kering air mata dipipiku kini
tamparan sudah menyambahnya. Ya Tuhaan apalagi ini. Cobaan tiada hentinya .
Orang itu mencaci ku seenaknya seraya berkata
"orang miskin gak tau diri! Sudah miskin belaga kaya! Gak punya kaca? Oh
ya makan saja susah mana punya uang untuk beli kaca! Beraninya bikin anak saya
nangis. Ayah kamu itu emang gila. Ya terima aja gak usah belaga mau beli nyawa
anak saya! Kamu itu sampah! Sampah masyarakat yang pantas dicaci" dia
meludahi ku dan lalu pergi. Tak sanggup ku berkata apa-apa. Aku hanya terdiam.
Tak percaya apa yang baru saja aku alami. Sebegitu hina nya kah diriku? Aku
sungguh tak memahami hidup ini .
Menangis, menangis, menangis aku lelah dengan hal itu. Baru
kusadari bahwa ayah ternyata tak ada dirumah. Kemana dia pergi? Aku cemas. Cemas
karna ku peduli? Tidak! Aku hanya takut dia membuat masalah lagi dan menghadiahkan
ku sebuah tamparan lagi. Aku pun bergegas mencari nya. Kesana kesini tak
kunjung kutemui. Hingga diperempatan jalan kulihat banyak kerumunan. Rasa penasaran
membawa ku menghampiri kerumunan itu, tiba-tiba hatiku gelisah entah mengapa.
Tak berhenti ditamparan, penderitaan ku masih berlanjut. Kulihat
ayah tergeletak tak bernyawa. Tubuhnya berlumuran darah. Kecelakaan yang kedua
kalinya berhasil merenggut nyawanya. Keluarga ku satu-satu nya pergi
meninggalkan ku. Kulihat tangan ayah memegang sebuah perekam suara. Aku bertanya-tanya
mengapa ayah memegang benda itu. Kuputar rekaman suara itu lalu terdengar suara
ayah berkata "nak, ayah merekam ini. selamat ulang tahun nak. Ayah
baik-baik saja, ayah baik-baik saja. Selamaayah memiliki mu nak. Maafkan ayah. selama
ayah memilikimu ayah baik-baik saja. Ayah tidak sempurna tetapi ayah memiliki
cinta yang sempurna untuk mu" tiiiiiiiiiinn tiba-tiba suara klakson
berbunyi. Terlintas dipikiran ku ayah meninggal karena ku, hanya untuk membelikan
anak durhaka nya ini sebuah perekam suara ayah bahkan tidak memperhatikan jalan
yang dilalui nya. Penyesalan yang mendalam melintasi perasaan ku. Bahkan dihari
ulang tahun ku pun ayah meninggalkan ku untuk selamanya.
Tak ada lagi alasan ku untuk melanjutkan hidup ini. Terlalu
pahit terlalu pedih takdir yang harus ku jalani, satu per satu orang yang
kusayangi meninggalkan ku. Satu per satu kebahagiaan mencampakkan ku. Kepedihan
tiada henti datang mengeroyokku. Tak ada lagi harapan, hanya keputus asaan.
Dihari kelahiran ku pun tuhan tega mengambil ayah ku. Bagiku tuhan begitu
kejam. Akhirnya ku putuskan untuk mengakhiri hidup ku. Aku berjalan dan terus
berjalan hingga kutemukan sungai yang mengalir dengan derasnya. Aliran yang
menggambarkan deras nya air mata ku. Aku meloncat ke dalam sungai. berharap,
kepedihan yang ku alami. hilang bersama ragaku yang terbawa derasnya aliran sungai
.
sertakan pengarang,penerbit,pendahuluan serta ketebalan buku
BalasHapus