RESENSI
NOVEL INDONESIA
A.
Tokoh
dan Perwatakan
Novel
|
No
|
Tokoh
|
Perwatakan
|
Bukti
|
Hafalan Shalat Delisa
|
1
|
Delisa
|
Ø Pantang
menyerah
Ø Penyayang
Ø Pemalas
Ø Manja
|
Ø “Badannya
terus terseret. Ya Allah, Delisa ditengah sadar dan tidaknya ingin sujud”
Ø “Ya
Allah Delisa ingin sujud dengan sempurna. Delisa sekarang hafal bacaannya”
Ø “Delisa
tidak lupa seperti tadi subuh”
Ø “Delisa
cinta Ummi karena Allah”
Ø “Delisa
masih ngantuk!” Delisa bandel menarik bantak. Ditaruh di atas kepala. Malas
mendengar suara tertawa Kak Fatimah.
Ø “Kak
Fatimah ganggu saja”
|
|
2
|
Ummi Salammah
|
Ø Rendah
Hati
Ø Sabar
Ø Perhatian
Ø Baik
Ø Bijaksana
|
Ø “Ah
nggak usah. Biar saya bayar penuh Koh Acan!”
Ø “Bukan,
sayang”
Ø “Kan
kita udah janji, kamu nggak akan pegang kalungnya sebelum kamu hafal seluruh
bacaan shalat! Sebelum lulus dari ujian Ibu Guru Nur”
Ø “Tetapi
doanya tetap nggak seperti itu kan, Delisa”
Ø “Kamu
kenapa, sayang?”
Ø “Kamu
sakit?”
Ø “Kamu kan
dikasih tahu artinya oleh Ustadz Rahman”
Ø “Ada
malaikat yang membangunkan Delisa”
Ø “Nah kamu
boleh baca seperti artinya itu”
Ø “Itu lebih
pas”
Ø “Atau
kalau Delisa mau lebih afdal lagi, ya pakai bahasa arabnya! Entar bangunnya
insyaAllah nggak susah lagi”
|
|
3
|
Fatimah
|
Ø Tegas
Ø Sabar
Ø Baik
|
Ø “Ais,
kamu memangnya nggak bisa bangunin Delisa nggak pakai teriak-teriak apa?”
Ø “Delisa
bangun, sayang”
Ø “Delisa
bangun, sayang…. Shubuh!” Fatimah, sulung berumur lima belas tahun membelai
lembut pipi Delisa. Tersenyum berbisik.
|
|
4
|
Aisyah
|
Ø Keras
kepala
Ø Egois
Ø Iri
Ø Nakal
|
Ø “Yee,
Delisa jangankan gerak-gerakan kencang-kencang, speaker meunasa ditaruh
dikupingnya saja, ia nggak bakal bangun-bangun juga”
Ø “Makanya
kamu cepetan menghafal bacaannya”
Ø “Bikin
repot saja”
Ø “Kenapa
Delisa dapat kalung yang lebih bagus! Kenapa kalung Delisa lebih bagus jika
dibandingkan dengan kalung Aisyah”
Ø “Lebih
bagus dari kalung Zahra”
Ø “Kalung
Kak Fatimah”
Ø Delisa
menggeliat. Geli. Cut Aisyah nakal menusuk hidungnya dengan bulu ayam penunjuk
batas tadarus.
|
|
5
|
Zahra
|
Ø Sabar
|
Ø “Iya
tapi kamu nyarinyakan bisa lebih pelan sedikit? Nggak mesti merusak lipatan
pakaian yang lainnya?”
|
|
6
|
Abi Usman
|
Ø Pengertian
Ø Perhatian
|
Ø “Tentu
saja Delisa bisa menghafalnya kembal. Insya Allah jauh lebih cepat sekarang”
Ø “Kan,
Delisa pernah menghafal sebelumnya”
Ø “Bagaimana
sayang, apakah Delisa sudah merasa baikan?”
|
|
7
|
Umam
|
Ø Nakal
|
Ø “Maafin
Umam, Umi. Umam ngaku, Umam yang
ngambil uang belanja Umi”
|
|
8
|
Tiur
|
Ø Baik
|
Ø “Ayo
Delisa, aku ajarin naik sepedanya”
|
|
9
|
Ustad Rahman
|
Ø Pengertian
|
Ø “Biar
nggak kebolak-balik kamu mesti menghafalnya berkali-kali”
Ø “Baca
berkali-kali”
Ø “Nanti
nggak lagi! Nanti pasti bisa”
|
|
10
|
Pak Cik Acan
|
Ø Baik
|
Ø “Udahlah
Umi Salamah, buat Umi Salamah saya kasih setengah harga”
|
|
11
|
Smith Adam
|
Ø Perhatian
|
Ø “Bagaimana
Shopie? Apakah keadaan anak itu berubah”
|
|
12
|
Shopie
|
Ø Baik
|
Ø “Delisa
jangan menangis, saya janji akan sering kirim surat dan hadiah untuk Delisa.
Saya juga suatu saat nanti akan kembali kesini untuk menemui Delisa”
|
B.
Alur
Novel
1.
Alur yang digunakan dalam kedua kutipan
novel tersebut :
a.
Hafalan Shalat Delisa
Alur : Maju –
mundur – maju (campuran)
Alasan :
Alur dari
cerita ini yaitu maju, mundur, maju (campuran) karena pada novel ini
digambarkan bahwa Delisa mengenang masa-masa saat sebelum keluarganya meninggal
karena bencana Tsunami.
“Ummi?
Delisa tiba-tiba ingat Ummi. Ya Allah dimana Ummi. Kepala Delisa berputar
mencari. Di mana pula Kak Fatimah? Kak Zahra? Kak Aisyah? Di mana mereka? “
Pelan
kenangan itu kembali. Lambat Delisa mengingat kejadian enam hari lalu. Delisa
sama sekali tidak pernah tahu, hamper seminggu ia sudah terjerambab di atas
semak-belukar tersebut. Sekolah! Ia di sekolah pagi hari itu. Ia bukankah
sedang menghadap Ibu Guru Nur menghafal bacaan shalat.
2.
Alur yang digunakan berdasarkan
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam novel :
a.
Hafalan Shalat Delisa
Peristiwa 1 : Alur dalam novel ini menggunakan alur progresif atau
alur maju, yakni alurcerita yang ditulissecara kronologis dari awal sampai
akhir. Alur atau Plot atau disebut juga jalan cerita terangkai urut dengan
bab-bab yang berkesinambungan.
Novel ini dibuka dengan kehidupan
sehari-hari seorang anak berumur 6 tahun bersama ketiga kakak perempuannya
(Fatimah, Zahra, dan Aisyah), seorang ibu (Ummi Salamah) dan juga seorang ayah
(Abi Usman).
Dimulai dengan “Shalat Lebih
Baik dari Tidur”, membuat kita kenal dengan keluarga sederhana dan bersahaja
ini dengan paparan bahasa yang tegas kadang lucu. Delisa, si tokoh utama,
digambarkan begitu berbeda dengan anak-anak seumurannya di daerah Lhok
Nga–termasuk kakak-kakaknya, tidak hanya urusan perangai bahkan fisik pun
sangat berbeda. Rambut ikal keemasan, bermata hijau dan paras yang sangat
menggemaskan.
Yang tersaji
pada bagian opening ini adalah bagaimana perjuangan sang Delisa untuk menghafal
bacaan shalatnya. Sederhana sekali memang namun penulis mampu menyuguhkan
narasi-narasi yang tidak biasa.
Peristiwa 2 : Berlanjut pada bab-bab pertengahan (sekitar halaman
60), yaitu klimaks. Sebuah bencana maha dahsyat terjadi. Sebuah patahan pada
lantai bumi. Sebuah gelombang raksasa yang menghantarkan ribuan laksa air laut
ke hamparan Aceh utara, Lhok Nga. Menghantam rumah dan gedung-gedung,
menumbangkan pepohonan, menyeret kendaraan-kendaraan begitu ringannya, menghanyutkan
jiwa-jiwa yang histeris dan menelangsakan mereka yang selamat. Dimulai dengan
“26 Desember 2004 Itu!”, penulis mendeskripsikan kejadian yang mungkin saja
bisa terjadi saat itu. Sosok Delisa yang tiba-tiba lupa bagaimana bacaan
sujudnya yang dilambangkan penulis sebagai pertandaNya yang nyata terhadap
bencana yang akan terjadi dalam catatan kaki penulis. Catatan kaki ini pula
merupakan nilai lebih dan hal yang sangat berbeda dari buku kebanyakan. Pembaca
memanfaatkan catatan kecil tersebut sebagai komentar bahkan gagasan atau
pengharapan penulis sendiri terhadap tokoh dan ceritanya. Pada bab ini Delisa
akan menyetor hafalannya kepada Ibu Guru Nur, saat gilirannya tiba, saat takbir
pertama dimulai, ratusan kilometer jauhnya dari Lhok Nga, lantai laut retak
seketika. Begitu cermat dan sabar penulis mendeskripsikan serta menggabungkan
setiap gerak dan bacaan shalat Delisa dengan alur kejadian bencana tersebut
–tsunami. Hingga Delisa tak mampu mengingat satupun hafalan shalatnya. Di
sinilah semua permasalahan dan penyelesaiaan dimulai.
Peristiwa 3 : Memasuki beberapa bab akhir
yang menjadi anti-klimaks membuat novel ini lebih bercerita banyak akan makna
hidup dan keikhlasan. Penulis menjadikan sosok Delisa yang masih kecil menjadi
sosok yang dewasa sebelum umurnya. Walau itu bukan hal yang tidak mungkin,
namun penulis mampu menyuguhkan permasalahan yang sederhana (selain tsunami)
dengan pertautan batin sebagai wujud pendewasaan yang dialami Delisa.
Pintu-pintu kebaikan itu tertutup bagi orang-orang yang tidak tulus. Begitulah
pesan akhir yang dapat pembaca petik dalam permasalahan Delisa mengenai
hafalannya yang selama ini telah hilang bersama ribuan laksa air yang menimpa
Lhok Nga.
Akhir
cerita yang disuguhkan tidak memaksa. Delisa yang akhirnya memahami makna
keikhlasan pun mampu menghafal bacaan shalatnya dengan begitu lancar.
Seakan-akan bacaan itu berbicara kepada Delisa. Delisa pun pertama kalinya
melakukan shalat dengan sempurna dan khusuk. Begitulah keinginannya selama ini.
Namun, penulis tidak mengakhiri kisah di sini. Di sebuah sungai, usai shalat
Ashar berjamaah, usai melakukan aktivitas bersama teman-teman sekelasnya
membuat kaligrafi, Delisa menuju sungai untuk membersihkan repihan pasir yang
menempel pada lengannya. Ia basuh wajahnya dan mendapati kesejukan yang begitu
menyegarkan. Hingga ia menangkap sebuah cahaya yang selama ini ia cari, yaitu
kalung yang akan diberikan ibunya sebagai hadiah bila ia dapat menghafal bacaan
shalatnya. Bukan tergantung di semak-semak atau batang pohon, namun kalung itu
menggantung digenggaman tulang tangan manusia, Umminya yang selama ini Delisa
rindukan.
C.
Sudut
Pandang
1.
Hafalan Shalat Delisa
Sudut
pandang : Sudut
pandang yang digunakan pengarang dalam novel tersebut yaitu sudut pandang orang
ketiga serba tahu. Hal ini dibuktikan oleh pengarang yang selalu menyebut nama
tokoh-tokoh pemeran dalam novel tersebut, dimana seakan-akan pengarang begitu
mengerti perasaan yang dialami tokoh dalam cerita.
Bagian
yang membuktikan : “Ummi Salammah terpanah. Ya Allah,
kalimat itu sungguh indah. Ya Allah...Kalimat itu membuat hatinya meleleh
seketika.
D.
Setting
(Latar) Novel
1.
Hafalan Shalat Delisa
a. Setting
waktu : Pada saat Delisa menjalani test
hafalan ..............................Sholatnya.Pagi
itu, Sabtu 25 Desember 2003. ..............................Sehari
sebelum badai tsunami menghancurkan ..............................pesisir Lhok Nga. Sebelum
alam kejam sekali ..............................merenggut
semua kebahagiaan Delisa.
b. Setting
tempat : Desa kecil bernama Lhok-Nga pesisir
pantai ..............................Aceh.
.......................................Mereka
tinggal di komplek perumahan sederhana. Dekat sekali dengan pantai. Lhok Nga
memang tepat di tubir pantai. Pantai yang indah. Rumah mereka paling berjarak
empat ratus meter dari pantai. Komplek itu seperti perumahan di seluruh kota
Lhok Nga, religius dan bersahabat.
c. Setting
Suasana : Suasana saat akan terjadi Gempa sangat tragis, ..............................seluruh orang pergi
berhamburan mencari ..............................tempat
yang aman.
Gelombang
itu menyentuh tembok sekolah. Beberapa detik sebelumnya terdengar suara
bergemuruh. Juga teriakan-teriakan ketakutan orang di luar. Delisa tidak
melihat betapa menggentarkan sapuan gelombang raksasa itu. Delisa mendengar
suara mengerikan itu.
Tetapi
Delisa sedang khusuk. Delisa ingin menyelesaikan hafalan shalatnya dengan baik.
Ya Allah Delisa ingin berpikiran satu. Maka ia tidak bergeming dari berdirinya.
E.
Tema dan
Amanat Novel
1.
Hafalan Shalat Delisa
Tema :
Amanat : 1. Teruslah Bersyukur dengan apa yang telah di
berikan Oleh ......Allah SWT.
2. Jangan pernah putus asa dan tetap semangatlah
menjalani hidup ini.
3. Sayangilah Keluargamu seperti mereka
menyayangimu.
F.
Gaya
Bahasa
1.
Hafalan Shalat Delisa
Gaya
Hiperbola
“Ya
Allah, Kalimat itu membuat hatinya meleleh seketika”.
“Ya
Allah, tubuh itu belum bercahaya. Tubuh yang ditatapnya bercahaya. Berkemilauan
menakjubkan. Lihatlah! Lebih indah dari tujuh pelangi dijadikan satu”
Gaya
Personifikasi
“Gelomang
tsunami sudah menghantam bibir pantai”
“Terlambat,
gelombang itu menyapu lebih cepat”
Gaya
Metafora
“Pohon-pohon
bertumbangan bagai kecambang yang akarnya lemah menunjang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya