KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah dengan judul Munakahat dapat kami
selesaikan dengan baik, dengan tujuan memenuhi tugas Mata Kuliah Umum
Pendidikan Agama Islam.
Makalah dengan judul Munakahat ini berisi materi
mengenai pengertian pernikahan, hukum, rukun dan syarat, iddah dan talak.
Dengan makalah ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam mengenai pernikahan dan
dapat mengetahui hukum-hukum pernikahan, sehingga tidak salah mengerti dan
tidak melakukan hal yang telah dilarang agama.
Ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Kepada pembaca kami harapkan saran dan
kritik yang konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini, karena kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca
dalam pembinaan diri menjadi manusia yang religius yang siap membangun bangsa
dan landasan agama.
Taba
Penanjung, 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah .............................................................................1
1.2
Rumusan Masalah ...................................................................................1
1.3
Tujuan Masalah .......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Munakahat
................................................................................2
2.2 Hukum Munakahat
....................................................................................3
2.3 Tujuan Munakahat
.................................................................................4
2.4 Rukun Dan Syarat Nikah
........................................................................5
2.5 Muhrim
......................................................................................................8
2.6 Kewajiban Suami Istri
.............................................................................9
2.7 Talak ..........................................................................................................10
2.8 Iddah
.......................................................................................................14
2.9 Rujuk ........................................................................................................15
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
..................................................................................................17
3.2 Saran .........................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang sempurna. Namun juga
manusia adalah mahluk yang sangat rentan tergoda oleh hal-hal yang ada didunia
yang sementara ini. Dengan kesempurnaanya manusia, mereka mempunyai akal, nafsu
dan pemikiran yang sangat berkembang namun hal diatas tidak menjamin bahwa
manusia akan menjadi mahluk yang arif dan bijaksana. Dalam kehidupan
sehari-hari manusia bahkan dapat bertindak melebihi mahluk lain yang notabene
adalah mahluk yang tak sesempurna manusia. Hal ini menjadikan manusia begitu
mudah terombang ambing dalam bertindak. Manusia membutuhkan lawan jenis untuk
menyalurkan nafsu keinginannya dalam membangun ikatan pernikahan untuk
menurunkan keturunan yang syah sesuai dengan ketentuan hukum islam. Oleh karena
itu dalam makalah ini akan disampaikan menegnai hukum-hukum pernikahan sesuai
syariat agama islam.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang pernikahan, maka
diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya beserta dalil-dalilnya?
2. Apa tujuan pernikahan?
3. Apa rukun dan syarat pernikahan?
4. Siapa orang yang haram dinikah atau
dipinang?
5. Bagaiman kewajiban seorang istri dan
seorang suami?
1.3 Tujuan Makalah
1. Mengetahui pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya beserta dalil-dalilnya?
2. Mengetahui tujuan pernikahan?
3. Mengetahui rukun dan syarat
pernikahan?
4. Mengetahui orang yang haram dinikah atau
dipinang?
5. Mengetahui kewajiban seorang istri dan
seorang suami?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Munakahat
(Pernikahan)
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu,
berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam
suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun
1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk menikah
adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ
الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya
:”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka
nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj
(kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa
itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak
mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah
atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria
terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si
peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan
selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan.
Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya.
Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang dengan yang meminang
telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan.
Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan
berlangsungnya pernikahan disebut dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan
ini biasanya seorang peminang atau calon suami memberikan suatu barang kepada
yang dipinang (calon istri) sebagai tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah
Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang
bertunangan adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul
sebagaimana suami istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali
pernikahan. Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria
dan wanita yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa
pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi
menjadi 2 kelolmpok yaitu :
1.
Yang haram dipinang dengan cara sindiran dan terus terang adalah wanita
yang termasuk muhrim, wanita yang masih bersuami, wanita yang berada dalam masa
iddah talak roj’i dan wanita yang sudah bertunangan.
2.
Yang haram dipinang dengan cara terus terang, tetapi dengan cara sindiran
adalah wanita yang berada dalam iddah wafat dan wanita yang dalam iddah talak
bain (talak tiga).
2.2 Hukum Munakahat
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah
mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian
ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah
dapat berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya
adalah sebagi berikut:
1.
Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah yang menjadi dasar hukum nikah.
2.
Wajib, yaitu orang yang telah mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak
menikah khawatir akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3.
Sunat, yaitu orang yang sudah mampu menikah namun masih sanggup
mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus kepada perzinaan.
4.
Makruh, yaitu orang yang akan melakukan pernikahan dan telah memiliki
keinginan atau hasrat tetapi ia belum mempunyai bekal untuk memberikan nafkah
tanggungan-nya.
5.
Haram, yaitu orang yang akan melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat
yang buruk, seperti niat menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.
2.3 Tujuan Munakahat
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah
untuk memenuhi hajat
manusia (pria terhadap
wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama Islam. Secara umum tujuan pernikahan
dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1.
Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman
dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara
supaya hidup menjadi bahagia dan tentram. Allah SWT berfirman :
Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya“.
(Ar-Rum : 21).
2.
Membina rasa cinta dan kasih sayang. Nikah merupakan salah satu cara untuk
membina kasih sayang antara suami, istri dan anak. ( lihat
QS. Ar- Rum : 21)
Artinya :”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan
sayang “. (Ar- Rum : 21).
3.
Untuk memenuhi kebutuhan seksual yang syah dan diridhai Allah SWT.
4.
Melaksanakan Perintah Allah swt. Karena melaksanakan perintah Allah swt
maka menikah akan dicatat sebagai ibadah. Allah swt., berfirman : Artinya
:” Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa’ : 3)
5.
Mengikuti Sunah Rasulullah saw. Rasulullah saw., mencela orang yang hidup
membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda
beliau dalam haditsnya:
أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى
فَلَيْسَ مِنِّى (رواه البخارى و مسلم)
Artinya:
“Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka
bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6.
Untuk memperoleh keturunan yang syah. Allah SWT berfirman:
Artinya :” Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)
2.4 Rukun dan Syarat nikah
a. Calon Suami,
syaratnya:
a. Beragama Islam,
b. Bukan mahram calon istri,
c. Tidak terpaksa dan dipaksa.
b. Calon
Istri, syaratnya:
a. Beragama islam atau ahli kitab,
b. Bukan mahram calon suami,
c. Sedang tidak mempunyai suami,
d. Tidak dalam masa iddah.
c. Sigat
aqad, yang terdiri dari ijab dan qobul
1. Ijab adalah ucapan wali mempelai perempuan
yang berisi pernyataan menikahkan anaknya.
2. Qobul adalah ucapan calon suami yang berisi
penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya.
Contoh Ijab
: Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan
anak perempuan saya bernama si Fulan binti …… dengan ……. dengan
mas kawin seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an”.
أَنْكَحْتُكَ
وَزَوَّجْتُكِ فُلاَنَة بِنْتِمَهْرِ عَدَوَاتِ الصَّلاَةِ وَثَلاَثِيْنَ جُزْأً
مِنْمُصْحَافِالْقُرْاَنِ حَالاً
Contoh
Qobul : Calon suami menjawab: “Saya terima nikah dan perjodohannya
dengan diri saya dengan mas kawin tersebut di depan”. Bila
dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut :
قَبِلْتُ نِكَحَهَا
وَتَزْوِجَهَا لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
Perempuan
yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah.
Rasulullah saw, bersabda : Artinya :”Perempuan
mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan itu batal (tidak
syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
d. Wali
mempelai perempuan, artinya orang yang berhak menikahkan dengan syarat:
a) Laki-laki,
b) Beragama islam,
c) Balig,
d) Berakal sehat,
e) Merdeka,
f) Adil,
g) Tidak sedang ihram, haji, dan umrah.
Wali nikah di bagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Wali nasab: yaitu wali yang
mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan
dinikahkan. Adapun Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a) Ayah kandung, ayah tiri tidak syah jadi wali,
b) Kakek (ayah dari ayah mempelai perempuan)
dan seterusnya ke atas,
c) Saudara laki-laki sekandung
d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
seayah
g) saudara laki-laki ayah yang seayah dengan
ayah
h) Anak laki-laki dari sdr laki-laki ayah yang
sekandung dengan ayah
i) Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
yang seayah dengan ayah.
2. Wali hakim: yaitu seorang kepala
Negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim
di limpahkan kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian menteri agama
mengangkat pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor
Urusan Agama Islam yang berada di setiap kecamatan.
Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila
memenuhi kondisi sebagai berikut:
a)
Wali nasab benar-benar tidak ada
b)
Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak memenuhi syarat dan wali yang lebih
jauh (ab’ad) tidak ada.
c)
Wali aqrob bepergian jauh dan tidak memberi kuasa kepada wali nasab urutan
berikutnya untuk berindak sebagai wali nikah.
d)
Wali nasab sedang berikhram haji atau umroh
e)
Wali nasab menolak bertindak sebagi wali nikah
f)
Wali yang lebih dekat masuk penjara sehingga tidak dapat berintak sebagai
wali nikah
g)
Wali yang lebih dekat hilang sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
h)
Wali hakim berhak untuk bertindak sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW yang artinnya :”Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW
bersabda : Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil, jika wali-wali itu menolak jadi wali nikah maka sulthan (wali hakim)
bertindak sebagi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali”.(HR. Darulquthni)
e. Dua orang
saksi, syaratnya:
a) Beragama Islam,
b) Balig,
c) Berakal sehat,
d) Merdeka,
e) Laki-laki,
f) Adil,
g) Tidak sedang ihram, haji, atau umrah.
Saksi harus benar-benar adil. Rasulullah
saw., bersabda:
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ (روه احمد )
Artinya:”Tidak syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2
orang saksi yang adil”. (HR. Ahmad)
Setelah
selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum
mengadakan walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang
yang sengaja tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan
RasulNya’. (HR. Bukhori).
2.5 Muhrim
Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang
diharamkan. Menurut Istilah dalam ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram
dinikahi. Penyebab wanita yang haram dinikahi ada 4 macam:
1. Wanita
yang haram dinikahi karena keturunan
a) Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek
dari ibu dan nenek dari ayah).
b) Anak perempuan kandung dan seterusnya ke
bawah (cucu dan seterusnya).
c) Saudara perempuan sekandung (sekandung,
sebapak atau seibu).
d) Saudara perempuan dari bapak.
e) Saudara perempuan dari ibu.
f) Anak perempuan dari saudara laki-laki dan
seterusnya ke bawah.
g) Anak perempuan dari saudara perempuan dan
seterusnya ke bawah.
2. Wanita yang haram
dinikahi karena hubungan sesusuan
a)
Ibu yang menyusui.
b) Saudara perempuan sesusuan
3. Wanita
yang haram dinikahi karena perkawainan
a) Ibu dari isrti (mertua)
b) Anak tiri (anak dari istri dengan suami
lain), apabila suami sudah kumpul dengan ibunya.
c) Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah di
cerai atau belum. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)
d) Menantu (istri dari anak laki-laki), baik
sudah dicerai maupun belum.
4. Wanita yang haram
dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri.
Misalnya
haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua
orang bersaudara,
terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang
perempuan dengan kemenakannya. (lihat An-Nisa :
23)
2.6 Kewajiban Suami Istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus
melakukan kewajiban-kewajiban hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan
landasan niat ikhlas karena Allah SWT semata. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena laki-laki telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka”. (An-Nisa : 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri
adalah penaggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan”. (HR.
Bukhori Muslim).
Secara umum kewajiban suami istri adalah sebagi
berikut :
2.6.1 Kewajiban
Suami
a) Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal
kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara
maksimal.(lihat At-Thalaq:7)
b) Bergaul dengan istri secara makruf,yaitu
dengan cara yang layak dan patut.
Misalnya dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan
dan sebagainya.
c) Memimpin keluarga, dengan cara membimbing,
memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab. (Lihat
An-Nisa : 34).
d) Membantu istri dalam tugas sehari-hari,
terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang
shaleh. (At-Tahrim:6)
2.6.2 Kewajiban
Istri
a) Patuh dan taat pada suami dalam batas-batas
yang sesuai dengan ajaran Islam. Perintah suami yang bertentangan dengan ajaran
Islam tidak wajib di taati.
b) memelihara dan menjaga kehormatan diri dan
keluarga serta harta benda suami.
c) Mengatur rumah tangga dengan baik sesuai
dengan fungsi ibu sebagai kepala
rumah tangga.
d) Memelihara dan mendidik anak terutama
pendidikan agama. Allah swt, berfirman:
Artinya
:”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka”. (At-Tahrim : 6)
e) Bersikap hemat, cermat, ridha dan syukur
serta bijaksana pada suami.
2.7 Talak
2.7.1 Pengertian
Dan Hukum Talak
Menurut bahasa
talak berarti melepaskan ikatan. Menurut istilah talak ialah lepasnya
ikatan pernikahan dengan lafal talak. Asal hukum talak adalah makruh,
sebab merupakan perbuatan halal tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi
Muhammad saw, bersabda :
أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ الطَّلاَق (رواه ابوداود)
Artinya
:”Perbuatan halal tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR.
Abu Daud)
2.7.2 Rukun
Talak
a) Yang
menjatuhkan talak(suami), syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b) Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c) Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas)
maupun dengan carakinayah (sindiran).
1. Cara sharih, misalnya “saya
talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan cara sharih tidak
memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih, maka
jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
2. Cara kinayah, misalnya
“Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan orang lain,
saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah memerlukan
niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal
sebenarnya tidak berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
2.7.3 Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak
dapat diucapkan/dituliskan dengan
kata-kata yang jelas atau dengan kata-kata sindiran.
Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh
rujuk (kembali) sebelum habis masa idahnya dan apabila
masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. (lihat Al-Baqoroh
: 229). Pada
talak 3 suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh
nikah lagi sebelum istrinya itu nikah
dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak
oleh suami keduanya itu”.
2.7.4 Macam-Macam Talak.
Talak dibagi
menjadi 2 macam yaitu
1)
Talak Raj’i yaitu talak dimana suami boleh
rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami
kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh rujuk
kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2)
Talak Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam yaitu talak bain sughro dan
talak bain kubra.
a.
Talak bain sughro yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri
yang belum dicampuri dan talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri
boleh rujuk dengan cara akad nikah lagi baik masih dalam
masa idah atau sudah habis masa idahnya.
b.
Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami
sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang berbeda.
Dalam talak ini suami tidak boleh
rujuk atau menikah dengan bekas istri
kecuali dengan syarat:
a.
Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain.
b.
Telah dicampuri dengan suami yang baru.
c.
Telah dicerai dengan suami yang baru.
d.
Telah selesai masa idahnya setelah dicerai suami yang baru.
2.7.5
Macam-macam Sebab Talak.
Talak bisa
terjadi karena :
1)
Ila’ yaitu
sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan
adat arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah
kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim
berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau mentalaknya.
2)
Lian, yaitu
sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4
kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : “Laknat Allah swt atas
diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah 4 kali
dan yang kelima dengan kata-kata: “Murka Allah swt, atas diriku bila tuduhan
itu benar”.
3)
Dzihar, yaitu
ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya
seperti : “Engkau seperti punggung ibuku “. Dzihar
merupakan adat jahiliyah yang dilarang Islam sebab dianggap salah
satu cara menceraikan istri.
4)
Khulu’ (talak
tebus) yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada
suami. Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak
antara lain:
a.
Istri sangat benci kepada suami,
b.
Suami tidak dapat memberi nafkah.
c.
Suami tidak dapat membahagiakan istri.
5)
Fasakh, ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu
yaitu :
1. Karena rusaknya akad nikah seperti :
a) diketahui bahwa istri adalah mahrom suami,
b) Salah seorang suami / istri keluar dari
ajaran Islam.
c) Semula suami/istri musyrik kemudian salah
satunya masuk Islam.
2. Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti :
a) Terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku
laki-laki baik ternyata penjahat.
b) Suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu
hubungan rumah tangga.
c) Suami dinyatakan hilang.
d) Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.
2.7.6 Hadhonah.
Hadhonah artinya
mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil. Jika suami/istri bercerai maka
yang berhak mengasuh anaknya adalah:
a)
Ketika masih kecil adalah ibunya dan biaya tanggungan ayahnya.
b)
Jika si ibu telah menikah lagi maka hak mengasuh anak adalah ayahnya.
2.8 Iddah
Secara
bahasa iddah berarti ketentuan. Menurut
istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah dicerai
suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk atau tidak.
1. Lamanya
Masa Iddah.
a. Wanita yang sedang hamil masa idahnya sampai
melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b. Wanita yang tidak hamil, sedang
ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4 bulan 10 hari.
(lihat QS. Al-Baqoroh ayat 234)
c. Wanita yang dicerai suaminya sedang ia
dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci). (lihat
QS. Al-Baqoroh : 228)
d. Wanita yang tidak haid atau belum haid masa
idahnya selama tiga bulan. (Lihat QS, At-Talaq :4).
e......Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa
iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab : 49)
2 Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a.
Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyyah (dapat
rujuk) berhak mendapat dari suami yang mentalaknya:
tempat tinggal, pakaian, uang belanja. Sedang wanita yang
durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b.
Wanita dalam iddah bain (iddah talak 3 atau khuluk) hanya
berhak atas tempat tinggal saja. (Lihat QS. At-Talaq : 6)
c.
Wanita dalam iddah wafat tidak mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan
anaknya berhak mendapat harta warits suaminya.
2.9 Rujuk.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya
suami istri pada ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj’i
dan masih dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk adalah
QS. Al-Baqoroh: 229, yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki rujuk”.
1. Hukum
Rujuk.
a) Mubah, adalah asal hukum rujuk.
b) Haram, apabila si istri dirugikan serta
lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
c) Makruh, bila diketahui meneruskan
perceraian lebih bermanfaat.
d) Sunah, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat
dibanding meneruskan perceraian.
e) Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri
lebih dari satu.
2. Rukun
Rujuk.
a) Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya
talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b) Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan
tidak terpaksa.
c) Sighat (lafal rujuk).
d) Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.
PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun 1974.
1.
Garis besar Isi UU No : 1 tahun 1974. UU No : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal.
2.
Pencatatan Perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan tentang pelaksanaan pencatatan
perkawinan ini tercantun dalam PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 sampai 9.
3.
Syahnya Perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa :
“Perkawina adalah syah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya
itu”.
4.
Tujuan Pekawinan. Dalam Bab
1 pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawina adalah untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5.
Talak. Dalam Bab VIII pasal 29 ayat 1
dijelaskan bahwa : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah fihak.
6.
Batasan Dalam Berpoligami.
a.
Dalam pasal 3 ayat 1 diljelaskan bahwa :”Pada dasarnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
b.
Dalam pasal 4 dan 5 ditegaskan bahwa
dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
c.
Pengadilan hanya memberi ijin berpoligami apabila :
1.
Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
2.
Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
3.
Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
4.
Dalam pengajuan berpoligami harus dipenuhi syarat-syarat :
a.
Adanya persetujuan dari istri.
b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c.
Adanya jaminan bahwa suami
akan belaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
munakahat merupakan salah satu wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam
islam tidak ada istilah pacaran, saat saling mengenal dikenal dengan istilah
khitbah nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang
dilakukan menurut hukum syariat Islam. Menikah wajib bagi
seseorang yang sudah siap baik mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan
dilakukan dengan talak, di dalam islam talak diperbolehkan, tetapi sangat di
benci oleh Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan untuk
kembali, yaitu dengan rujuk.
3.2 Saran
Sebagai salah satu umat islam sebaiknya setelah siap
mental maupun fisiknya, disegerakan menikah selain untuk menghindari zina, juga
dapat menjadi suatu ibadah jika dilakukan untuk mencadi ridho Allah SWT dan
memenuhi kewajiban sebagai umat islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya