PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
SYIRKAH
DISUSUN OLEH
NOKI DEPRIANTO
FERI APRIANSA
KELAS
XI IPS 3
SMA NEGERI
2 BENGKULU TENGAH
A. Definisi Syirkah
Secara etimologi, syirkah ataau
perkongsian berarti :
اَلاِ ختِلَاطُ اي خَلطُ اَحَدِ
المَالَينِ بِا لَا خِرِ بِحَيثُ لَا يَمتَزَانِ عَن بَعضِهِمَا
“
percampuran, yakni bercampurnya salah satu dar dua harta dengan harta lainnya,
tanpa dapat dibedakan antara keduanya”
Menurut terminologi, ulama fiqh
beragam pendapat dalam mendefinisikan syirkah, antara lain :
Menurut
Malikiyah :
هِيَ اِذَن فيِ التَّصَرُّ فِ لَهُمَا مَعًا اَنفُسُهُمَا اَي اَن يَاْ
ذَنَ كُلُّ وَاحِدٍ مِن اشَّرِكَينِ لِصَاحِبِهِ فِي اَن يَتَصّرَّ فَ قِي مَا لِ
لَهُمَا مَعَ اِبقَاءِ حَقِّ ا لتَّصَرُّفِ لِكُلٍّ مِنهُمِا
Artinya :
“ Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (
tasharruf ) harta yang dimilki dua orang secara bersama – sama oleh keduanya,
yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan
harta milik keduanya, namun masing - masing memiliki hak untuk bertasharruf.
Menurut
Hanabilah :
فِي
اِستِحَاقٍ اَو تَصَرُّفٍالِاجتِمَاعُفيِ ا
Artinya :
“ Perimpunan adalah hak ( kewenangan ) atau
pengolahan harta ( tasharruf ) .
Menurut
Syafi’iyah :
ثُبُوتُ الحَقِّ فيِ شّيءٍ لِاثنَينِ
فَاَكثَرَ عَلَى جِهَةِ الشُّيُوعِ
Artinya :
“ Ketetapan hak pada sesuatu yang dimilki dua orang
atau lebih dengan cara yang masyhur ( diketahui ) “
Menurut
Hanafiyah :
عِبَارَةٌ عَن عَقدٍ بَينَ المُتَشَا رِكَينِ فِي رَاسِ ا لمَالِ وَ ا لرِّبحِ
Artinya :
Ungkapan tentang adanya tranaksi ( akad ) antara dua orang yang bersekutu pada
pokok harta dan keuntungan.
Apabila diperhatikan secara
seksama, definisi yang terakhir dapat dipandang paling jelas, karena
mengungkapkan hakikat perkongsian, yaitu transaksi ( akad ) . Adapun pengertian
lainnya tampaknya hanya menggambarkan tujuan, pengaruh, dan hasil perkongsian.
B. Dasar Hukum Syirkah
Landasan syirkah ( perseroan )
terdapat dalam Al – Qur’an, Al – Hadits , dan Ijma’, sebagai berikut :
Al
– Qur’an
فَهُم شُركَا ءُ فِى ا لثُّلُثِ
“Mereka bersekutu dalam yang sepertiga” (
QS. An – Nisa : 12 )
كَثِيراً مِنَ ا لخُلَطَاءِ لَيَبغِي بَعضُهُم
عَلَى بَعضٍ اِلَّا ا لَّذِينَ ا مَنُو ا وَ عَمِلُوا لصَّالِحَاتِ وَ قَلِيلٌ مَا
هُم... وَاِنّ
“ Sesungguhnya kebanyakan dari orang – orang yang
bersrikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali
orang – orang yang beriman dan beramal shaleh dan amat sedikitlah mereka ini.”
( QS . Shad : 24 )
As
– Sunnah
عَن اَبِي هُرَيرَةَ رَفَعَهُ اِلَى
النَّبِيِّ .م. فَالَ :اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ : اَنَا ثَالِثُ ا
لشَّرِيكَينِ مَا لَم يَخُن اَحَدُهُمَا
صَا حِبَهُ فَاِذَا خَانَهُ خَرَجتُ
مِن بَينِهِمَا ( رواه ابو داود و ا لحاكم و صححه اسناده )
“ Dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada
Nabi SWT berfirman “ Aku adalah yang ketiga pad dua orang yang bersekutu selama
salah seorang dari keduanya tidak mengkhianati temannya, Aku akan keluar dari
persekutuan tersebut apabila salah seorang mengkhianatinya” ( HR. Abu Dawud dan
Hakim dan menyahihkan sanadnya ).
Maksudnya, Allah SWT akan menjaga
dn menolong dua orang yang bersekutu dan menurunkan berkah pada pandngan
mereka. Jika salah seorang yang
bersekutu itu mengkhianati temannya , Allah SWT akan menghilangkan pertolongan
dan keberkahan tersebut.
Legalitas perkongsian pun
diperkuat, ketika Nabi diutus , masyarakat sedang melakukan perkingsian. Beliau
besabda :
اللهِ
عَلَى ا لشَّرِيكَينِ مَا لَم يَتَخَاوَنَا يَدُ
“Kekuasaan Allah selalu berada pada dua orang yang bersekutu selama keduanya
tidak berkhianat” ( HR. Bukhari dan Muslim ).
Al
– Ijma’
Umat Islam sepakat bahwa syirkah
dibolehkan. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang jenisnya.
C. Pembagian Perkongsian
Syirkah itu ada dua macam, syirkah amlak dan syirkah
‘uqud:
1.
Perkongsian ‘Amlak , adalah dua
orang atau lebih yang memiliki barang tanpa adanya akad. Perkongsian ini
terbagi menjadi dua, yaitu :
a.
Syirkah Jabariyah, yaitu perkongsian
yang ditetapkan kepada dua orang atau lebih yang bukan didasarkan atas
perbuatan keduanya , seperti A dan B menerima warisan sebuah rumah. Dalam
contoh ini rumah tersebut dimiliki bersama oleh A dan B secara otomatis ( paksa
), dan keduanya tidak bisa menolak.
b.
Syirkah Ikhtiyariah, yaitu perkongsian
yang muncul karena adanya kontrak dari dua orang yang bersekutu. Contoh A dan B
membeli sebidang tanah. Dalam hal ini pembeli yaitu A dan B bersama – sama memiliki tanah tersebut secara
sukarela tanpa ada paksaan dari pihak lain.
2.
Perkongsian ‘Uqud, adalah bentuk
transaksi yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bersekutu dalam harta
dan keuntungannya.
a.
Ulama Hanafiyah membagi syirkah ‘uqud
menjadi tiga bagian, yaitu :
1.
Syirkah amwal
a.
Mufawadhah
b.
‘inan
2.
Syirkah a’mal
a.
Mufawadhah
Inan
3.
Syirkah Wujuh
a.
Mufawadhah
b.
Inan
b.
Menurut Hanabilah, perkongsian dibagi
menjadi lima:
1.
Perkongsian ‘Inan
2.
Perkongsian Mufawadhah
3.
Perkongsian ‘Abdan
4.
Perkongsian Wujuh
5.
Perkongsian Mudharabah.
c.
Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah,
syirkah terbagi menjadi 4 bagian , yaitu :
1.
Syirkah ‘Inan
2.
Syirkah Mufawadhah
3.
Syirkah Abdan
4.
Syirkah Wujuh
Ulama fiqh sepakat bahwa
perkongsian ‘inan diperbolehkan , sedangkan bentuk – bentuk lainnya masih
diperselisihkan.
Ulama Syafi’iyah, Zhahiriyah, dan
Imamiyah membatalkan semua syirkah kecuali syirkah ‘inan dan mudharabah.
Ulama Hanabilah membolehkan semua
syirkah kecuali syirkah mufawadhah. Ulama Malikiyah membolehkan semua syirkah
kecuali syirkah wujuh dan mufawadhah yang disebutkan ulama Hanafiyah.
Pada bagian ini akan dijelaskan
jenis – jenis syirkah menurut Syafi’iyah, yang meliputi :
Syirkah
‘Inan
Definisi syirkah ‘inan sebagaimana
dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah sebagai berikut :
وَ هِيَ اَن يَشتَرِكَ ا ثنَانِ فِي
مَالٍ لَهُمَا عَلَى اَن يَتَّجِرَا فِيهِ وَ ا لرِّبحُ بَينَهُمَا
Syirkah ‘inan adalah suatu perssekuutan atau kerja
sama antara dua pihak dengan harta ( modal ) untuk diperdagangkan dan
keuntungan dibagi di antara mereka.
Dari definisi tersebut, dapat
dipahami bahwa syirkah ‘inan adalah persekutuan dalam modal dan keuntungan,
termasuk kerugian. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan seorang persero tidak
hanya dibenarkan bersekutu dalam keuntungan saja, sedangkan dalam kerugian ia
dibebaskan.
Dalam hal modal yang diinvestasikan
sama, maka keuntungan yang dibagikan boleh sama antarampara peserta dan boleh
pula berbeda. Hal tersebut tergantung pada ksepakatan yang dibuat oleh para
peserta pada waktu terbentuknya akad. Adapun dalam hal kerugian maka
perhitungannya disesuaikan pada modal yang diinvestasikan. Hal ini sesuai
dengan kaidah yang berbunyi :
الرِّبحُ
عَلَى مَا شَرَطَ , وَ الضِيعَةُ عَلىَ قَدرِ الَالَينِ
“ Keuntungan diatur sesuai dengan syarat yang mereka
sepakati, sedangkan kerugian tergantung pada besarnya modal yang
diinvesatsikannya.”
Contoh : A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat
menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing
memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja
dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah
ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali
jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka
masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
Syirkah
Mufawadhah
Muwafadhah dalam arti bahasa adalah
al – musawah , yang artinya “ persamaan “. Syirkah yang kedua ini dinamakan
syirkah muwafadahah karena di dalamnya terdapat unsur persamaan dalam modal,
keuntungan, melakukan tasharruf, dan lain – lainnya.
Menurut satu pendapat, mufawadhah
diambil dai kata at – tafwidh ( penyerahan ), karena masing – masing peserta
menyerahkan hak untuk melakukan tsharruf kepada teman serikat yang lainnnya .
Dalam arti istilah, syirkah
mufawadhah didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili sebgai berikut :
وَهِيَ فِى الِصطِلَاحِ : ان يتعاقد
اثنان فا كثر على ان يشتركا في عمل بشرط ان يكون متساويين في رأس مالهما و تصرفهما
و دينهما اي ( ملتهما ) ويكون كل واحد منهما كفيلا عن الاخر فيما يجب عليه من شراء
و بيع.
Syirkah mufawadhah menurut istilah
adalah suatu akad yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk bersekutu (
bersama – sama ) dalam mengerjakan sesuatu perbuatan dengan syarat keduanya
sama dalam modal, tasarruf, dan agamanya, dan masing – masing peserta modal
menjadi penanggung jawab atas yang lainnya di dalam hal – hal yang wajib
dikerjakan , baik berupa penjualan maupun pembelian.
Dari defiinisi tersebut juga dapat diketahui
bahwa dalam syirkah mufawadhah terdapat syarat – syarat yang harus diketahui ,
yaitu :
1.
Persamaan dalam modal. Apabila salah
satu peserta modalnya lebih besar daripada peserta yang lainnya. Misalnya A
modal yang ditanamnya Rp. 10.000.000,00 sedangkan B hanya Rp. 5.000.000,00 ,
maka syirkah hukunya tidak sah.
2.
Persamaan dalam hak tasarruf. Maka tidak
sah syirkah mufawadhah antara anak yang masih di bawah umur dan orang dewasa.
Karena hak tasarruf keduanya tidak sama.
3.
Persamaan dalam agama. Dengan, tidak sah
syirkah mufawadhah antara orang Muslim dan orang kafir.
4.
Tiap – tiap peserta harus menjadi
penanggung jawab atas peserta yang lainnya dalam hak dan kewajiban sekaligus
sebagai wakil. Dengan demikian, tindakan hukuk peserta yang satu tidak boleh
lebih besar daripada tindakan peserta hukum yang lainnya.[1]
Menurut Hanafiah dan Malikiyah,
syirkan mufawadhah ini hukumnya dibolehkan. Hal ini karena syirkah mufawadhah
banyak dilakukan oleh orang selama beberapa waktu, tetapi tidak seorangpun yang
menolaknya. Sedangkan Imam Syafi’i tidak membolehkannya. Beliau mengatakan :
اِذَا لَم تَكُن شِركَةُ
المُفَاوَضَةِ بَاطِلَةً فَلَا بَاطِلَ اَعرِفُهُ فِي الدُّنيَا
“ Apabila syirkah mufawadhah tidak dianggap batal,
maka tidak ada lagi sesuatu yang batal yang saya ketahui di dunia ini”
Syafi’i berpendapat bahwa syirkah
mufawadhah adalah suatu akad yang tidak ada dasrnyya dalam syara’. Untuk
mewujudkan persamaan dalam berbagai hal merupakan hal yang sulit, karena di
dalamnya da unsur gharar ( tipuan ) dan ketidakjelasan. Sedangkan hadits yang
digunakan sebagai dasar oleh Hanafiah, merupak hadits yang tidak sha[2]hih
dan tidak dapat diterima.
Syirkah
Wujuh
Syirkah wujuh didefinisikan oleh
Sayyid Sabiq adalah " pembelian yang dilakukan oleh dua orang atau
lebih tanpa menggunakan modal, dengan berpegang pada penampilan mereka dan
kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan ketentuan mereka bersekutu
dalam keuntungan.
Dari defiinisi tersebut, dapat
dipahami bahwa syirkah wujuh adalah suatu syirkah atau kerja sama antara dua
orang atu lebih nutuk membeli suatu barang tanpa menggunakan modal. Mereka
berpegang pada penampilan mereka dan
kepercayaan para pedagang tehadap mereka. Dengan demikin, transaksi yang dilakukan
adalah dengan cara berutang dengan perjanjian tanpa pekerjaan dan tanpa harta (
modal ).
Menurut Hanafiyah,, Hanabilah,
Zaidiyah, syirkah wujuh hukumnya boleh, karena bentuknya berupa satu jenis
pekerjaan. Kepemilikan terhadap barang yang dibeli boleh berbeda antara satu
peserta dengan peserta lainnnya. Sedangkan keuntungan dibagi natara para
peserta, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing – masing dalam kepemilikan
atas barang yang dibeli. Akan tetapi, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyah berpendapat
bahwa syirkah wujuh hukumnya batal. Alasan mereka adalah bahwa syirkah selalu
berkaitan dengan harta dan pekerjaan, sedangkan dalam syirkah wujuh, keduanya (
harta dan pekerjaan ) tidak ada. Yang ada hanya penampilan para anggota
serikat, yang diandalkan untuk mendapatkan kepercayaan dari para pedagang.
Syirkah
Abdan
Syirkah abdan didefinisikan oleh
Sayyid Sabiq adalah kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk menerima
suatu pekerjaan dengan ketentuan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai
dengan kesepakatan.
Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa syirkah abdan ( syirkah a’mal ) adalah suatu bentuk kerja sama
antara dua orang atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama – sama,
dan upah kerjanya dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang
disepakati bersama. Contohnya, tukang batu dengan beberapa temannya berserikat
( bekerja sama ) dalam mengerjakan pembangunan sebuah gedung sekolah. Kerja
sama tersebut bisa dalam satu jenis pekerjaan yang sama, seperti tukang dengan
tukang batu, dan bisa juga dalam jenis pekerjaan yang berbeda. Misalnya kerja
sama antara tukang batu dengan tukang kayu dalam mengerjakan pembangunan sebuah
gedung kantor.
Menurut Malikiyah, Hanafiah,
Hnabilah, dan Zaidiyah, syirkah ‘abdan hukumnya boleh, karena tujuan utamanya
adalah memperoleh keuntungan. Dalil dibolehkannya syirkah ‘abdan adalah hadits
Ibnu Mas’ud :
عَبدِالله بنُ مَسعُود قَالَ : اِشتَرَكتُ انَا
وَ عَمَّا رُ وَ سَعدٌ فِيمَا نُصِيبُ يَومَ بَدرٍ, فَجَاءَ سَعدٌ بِاَسِيرَينِ
وَلَم اَجِيءْ اَنَا وَعُمَّارُ بِشيءٍ
Dari Abdillah Ibnu Mas’ud ia berkata : “Saya ,
Ammar, dan Sa’ad bersekutu dalam hasil yang diperoleh pada Perang Badar. Maka
Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar tidak
memperoleh apa – apa ( HR. An – Nasa’i ).
Hadis ini menggambarkan tentang
kerja sama antara para sahabat dalam hasil harta rampasan perang. Kerja sama
tersebut dilakukan dengan menggunakan tenaga, tidak menggunakan ( modal ). Ini
menunjukkan bahwa syirkan abdan itu dibolahkan. Hanya saja Malikiyah mengajukan
beberapa syarat untuk keabsahan syirkah abdan ini, yaitu :
1.
Pekerjaan atau profesi antara para
peserta harus sama. Apabila para profesinya berbeda maka hukumnya tidak boleh,
kecuali garapan pekerjaannya saling mengikat. Misalnya, tukang kayu dan tukang
batu mengerjakan sebuah rumah. Dalam contoh ini hukum syirkah nya dibolehkan
karena pekerjaan yang satu bergantung pada pekerjaan yang lainnya.
2.
Tempat pekerjaannya juga harus satu
lokasi. Apabila lokasi keduanya berbeda, maka syirkahnya tidak sah.
3.
Pembagian upah harus sesuai dengan kadar
pekerjaan yang disyaratkan bagi setiap anggota serikat.[3]
Menurut Syafi’iah, Imamiyah, dan
Zufar dari Hanafiah, syirkah abdan hukumnya batal, karena menurut mereka
syirkah itu hanya khusu dalam modal saja, bukan dalam pekerjaan.
D. Syarat – Syarat Syirkah ‘Uqud
Ulama Hanafiah menetapkan syarat –
syarat untuk syirkah ‘uqud. Sebagian dari syarat –syarat tersebut ada yag
berlaku umum untuk semua jenis syirkah ‘uqud, dan sebagian lagi berlaku khusus
untuk masing – masing jenis syirkah. Syarat – syarat itu adalah sebagai berikut
:
Syarat
– syarat umum syirkah ‘uqud
Untuk keabsahan syirkah ‘uqud harus dipenuhi syarat
– syarat sebagai berikut:
1.
Tasarruf yang menjadi objek akad syirkah
harus bisa diwakilkan. Dalam syirkah ‘uqud keuntungan yang iperoleh merupakan
milik bersama yang harus dibagi sesuai dengan kesepakatan. Kepemilikan bersama
dalam keuntungan tersebut menghendaki agar setiap anggota serikat menjadi wakil
dari anggota serikat lainnya dalam pengelolaan harta ( modal ) , di samping
bertindak atas namanya sendiri. Atas dasar itu maka setiap anggota serikat
memberikan kewenangan kepada anggota serikat lainnya untuk melakukan tasarruf,
baik dalam hal penjualan, pembelian maupun penerimaan kontarak kerja. Dengan
demikian, masing – masing peserta menjadi wakil bagi peserta lainnya.
2.
Pembagian keuntungan harus jelas. Bagian
keuntungan untuk masing - masing anggota serikat nisabnya harus ditentukan
dengan jelas, misalnya 20 %, 10 %, 30 %, atau 40 %. Apabila pembagian
keuntungan tidak jelas, maka syirkah menjadi fasid, karena keuntungan merupakan
salah satu ma’qud ‘alaih.
3.
Keuntungan harus merupakan bagian yang dimilki bersama secara
keseluruhan, tidak ditentukan untuk A 100, B 200 misalnya. Apabila keuntungan
telah ditentukan, maka akad syirkah menjadi fasid. Hal itu karena syirkah
mengharuskan adanya penyertaan dalam keuntungan, sedangkan penentuan kepada
orang tertentu akan menghilangkan hakikat perkongsian.
E. Syarat khusus untuk syirkah Amwal
Untuk keabsahan syirkah amwal, baik
syirkh ‘inan maupun syirkah mufawadhah, harus dipenuhi beberapa syarat yang
khusus, sebagai berikut :
1.
Modal
syirkah harus berupa barang yang ada
Menurut Jumhur fuqaha modal syirkah
harus berupa barang yang ada, baik pada waktu akad maupun pada waktu jual beli.
Dengan demikian, modal tidak boleh berupa utang, atau harta yang tidak ada di
tempat akad. Hal ini karena tujuan syirkah adalah memperoleh keuntungan yang
didapatkan melaui tasharruf, sedangkan tasarruf tidak bisa dengan utang atau
barang yang tidak ada di tempat akad.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah, modal dari para peserta tidak harus dicampur menjadi satu, karena
menurut mereka dalam syirkah yang penting akdnya, bukan hartanya. Akan tetapi,
menurut Zufar, Syafi’iyah, Zhahiriah, Zaidiyah, dan Imamiyah, modal dari para
peserta harus dicampur menjadi satu, sehingga tidak bisa dibedakan antara modal
yang satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan arti syirkah adalah
ikhthilath ( campur ), dan percampuran tidak akan terwujud apabial harta masih
dibedakan antara yang satu dengan yang lain.
2.
Modal
syirkah harus berharga secara mutlak
Ulama madzhab empat sepakat bahwa
modal syirkah harus berupa sesuatu yang bernilai secara mutlak, seperti utang.
Oleh karena itu, tidak sah modal syirkah dengan modal barang – barang, baik
berupa benda tetap maupun benda bergerak. Hal ini karena syirkah dengan modal
barang, bukan uang menyebabkan ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan, dan
hal itu memicu terjadinya perselisihandan pertentangan di antara para peserta.
Menurut Imam Malik, odal syirkahtidak mesti beruoa uang, melainkan juga boleh
dengan barang yang diperkirakan nilainya, baik jenisnya sama atu berbeda.
Alasannya adalah bahwa syirkah adalah dilakukan dengan modal yang jelas,
sehingga mirip dengan uang.[4]
F. Syarat untuk Syirkah Mufawadhah
Ulama Hanafiah mengemukakan syarat
– syarat untuk syirkah mufawadhah sebagai berikut :
1.
Masing -
masing anggota serikat memilki kecakapan untuk melakukan wakalah dan
kafalah, yaitu harus merdeka, baligh, berakal, dan cerdas.
2.
Persamaan dalam modal, baik ukyran maupun harganya, sejak
awal sampai akhir.
3.
Segala sesuatu yang layak menjadi modal
dari salah seorang anggota serikat harus dimasukkan ke dalam syirkah
4.
Pembagian keuntungan harus sama. Apabila
pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkahnya bukan mufawadhah
5.
Persamaan dalam kegiatan perdagangan.
Ulama Hanafiyah dan Muhammad mensyaratkan syirkah mufawadhah antara sesama
Muslim, dan tidak boleh dengan orang kafir.
6.
Dalam melakukan transaksi ( akad ) harus
menggunakan kata mufawadhah.[5]
Syarat – syarat yang disebutkan
tadi harus dipenuhi untuk syirkah mufawadhah. Apabila salah satu syarat tidak
ada, maka syirkah akan berubah menjadi syirkah ‘inan, karena syarat – syarat tersebut
tidak diperlukan dalam syirkah ‘inan. Dengan demikian, dalam syirkah ‘inan
tidak disyaratkan kecakapan dalam wakalah, persamaan dalam mdal dan keuntungan,
dan persamaan dalam kegiatan perdagangan, sebagaimana yang disyaratkan dalam
syirkah mufwadhah.
G. Syarat – syarat Syirkah A’mal (
Abdan )
Apabila bentuk syirkah a’mal ini
mufawadhah maka berlakulah syarat – syarat syirkah mufawadhah, sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. Apabila bentuk syirkah ‘inan maka tidak ada
persyaratan syirkah mufawadhah tersebut, kecuali kecakapan dalam wakilah. Oleh
karena itu, Imam Abu Hanifah mengatakan “ setiap akad yang di dalamnya
dibolehkan kafalah dibolehkan pula syirkah, dan apa yang tidak boleh wakalah,
maka tidak boleh pula syirkah.
Apabila pekerjaan memerlukan alat,
sedangkan alat itu dipakai oleh salah seorang anggota serikat maka hal itu
tidak mempengaruhi syirkah, dengan ketentuan alat itu tidak disewakan untuk
orang lain. Apabila alat itu disewakan unuk menggarap pekerjaan lain maka
upahnya untuk orang yang memilki alat, dan syirkah menjadi fasid.
H. Syarat – syarat Syirkah wujuh
Apabila bentuk syirkah ini
mufawadhah maka berlakulah syarat – syarat syirkah mufawadhah ( persamaan dalam
berbagai hal ). Akan tetapi, apabila bentuknya syirkah ‘inan maka tidak ada
persyaratan syirkah mufawadhah, seperti persamaan dalam tasarruf, pembagian
keuntungan, dan sebagainya.
Hukum
Syirkah ‘Uqud
Hukum syurkah ‘uqud ada dua macam :
1.
Shahih
2.
Fasid
Syirkah shahih adalah syirkah yang
syarat – syarat sahnya terpenuhi. Sedangkan syirkah fasid adalah syirkah yang
syarat – syaratnya tidak terpenuhi atau rusak. Secara garis besar, menurut
Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, apabila syirkah fasid maka keuntungan
dibagi di antara para peserta, sesuai dengan modal masing – masing. Di bawah
ini akan di jelaskan hukum – hukum syirkah yang shahih, sesuai dengan jenis
syirkahnya yang meliputi syirkah ‘inan, mufawadhah, wujuh, dan abdan.
Hukum
Syirkah ‘Inan
1.
Syarat
pekerjaan
Dalam syirkah ‘inan para anggota
serikat dibolehkan membuat persyaratan – persyaratan di antara mereka berkaitan
dengan kegiatan usaha. Misalnya A dan B berserikat dan keduanya melakukan jual
beli yang hasilnya dibagi berdua dengan syarat – syarat sesuai kesepakatan.
Atau salah satu anggota serikat melakukan jual beli, sedangkan yang lainnya
tidak.
2.
Pembagian
keuntungan
Pembagian keuntungan disesuaikan
dengan besanya modal yang diinvestasikan, baik sama besarnya atau berbeda.
Apabila modal yang diinvestasikan sama maka keuntungan juga dibagi dengan kadar
yang sama. Akan tetapi, apabila modalnya berbeda maka keuntngannya juga
berbeda. Contohnya, A dan B berkongsi dengan masing – masing menanamkan modal
Rp. 10.000.000,00.
Apabila usahanya mendapatkan
keuntungan Rp. 4.000.000,00, maka A dan B masing – masing mendapat bagian 50 %
dari keuntungan, yaitu Rp. 2.000.000,00. Akan tetapi, apabila A menanamkan
modal Rp. 20.000.0000,00 sedangkan B Rp.10.000.000,00 dan keuntunagan yang
diperoleh Rp.4.500.000,00, maka pembagian keuntungan diperhitungkan dengan
modal yang diinvestasikan, yaitu A : 2/3 x Rp. 4.500.000,00 = Rp. 3.000.000,00,
sedangkan B : 1/3 x Rp.4.500.000,00 = Rp. 1.500.000,00.
Dalam keadaan modal yang
diinvestasikan sama, menurut Ulama Hanfiyah kecuali Zufar, boleh ditetapkan
pembagian keuntungan bagi salah satu anggota serikat berbeda ( lebih besar ) ,
namun dengan syarat harus disertai dengan imbalan pekerjaan yang lebih besar
daripada angoota serikat lainnya. Hal
tersebut dikarenakan menurut mereka pemberian keuntungan didasatkan atas mal (
modal ), oekerjaan ( amal ), dan tanggung jawab ( dhaman ). Dalam hal ini
keuntungan disebabkan oleh tambahan
pekerjaan. Hnabilah dan Zaidiyah sama pendapatnya dengan Hanafiyah, yaitu
dibolehkan pembagian keuntungan yang lebih besar kepada anggota serikat. Adapun
dalam hal kerugian, ulama sepakat dibagi sesuai dengan besar kecilnya modal.
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah,
Zhahiriyah, Imamiah, dan Zufar dari Hanafiyah, unntuk sahnya syirkah ‘inan
disyaratkan keuntungan dan kerugian diperhitungkan nisbahnya dengan modal yang
ditanamnya, karena keuntungan merupakan tambahan atas harta ( modal ) dan
kerugian merupakan pengurangan atas harta ( modal ). Dengan demikian, kerugian
mnyerupai keuntungan.
I.
Rusaknya
Harta Syirkah
Menurut Hanafiyah dan Syafi’iyah,
apabila harta ( modal ) syirkha seluruhnya atau salah satunya rusak atau hilang
sebelum digunakan untuk membeli atau sebelum dicampur, maka syirkah menjadi
batal. Hal tersebut dikarenakan ma’qud ‘alaih ( objek ) akad syirkah adalah
harta ( modal ). Apabila ma’qud ‘aai rusak maka akad menjadi batal. Apabila
kerusakan terjadi setelah dibelanjakan maka akad syirkah tidak batal, dan apa
yang dibelanjakan menjadi tanggungan para peserta syirkah, karena mereka
melakukan pembelian dalam konteks syirkah.
Menurut Hanabilah, syirkah terjadi
karena semata – mata telah dilakukannya akad, dan secara otomatis semua modal
peserta menyatu menjadi modal syirkah. Apabila
odal yang dimiliki oleh salah seorang peserta rusak atau hilang sebelum
dicampur atau dibelanjakan, maka kerusakan atau kehilangan tersebut diangap
sebagai kerusakan sebagian modal syirkah dan tidak membatalkan akad syirkah.
J.
Melakukan
Tasarruf dengan Harta Syirkah
Setiap anggota serikat dalam
syirkah ‘inan berhak melakukan jual beli dengan harta syirkah karena dengan
telah dilakukannya akad syirkah, setiap anggota mengizinkan kepada anggota
lainnya untuk menjual harta syirkah. Di samping itu, syirkah mengandung unsur
wakalah, sehingga setiap anggota serikat bisa mewakili anggota serikat lainnya
dalam melakukan jual beli.
Di samping itu, setiap anggota
serikat boleh menjual harta syirkh dengan tunai atau utnag, sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku di kalangan para pedagang.Akan tetapi, ulama Syafi’iyah
tidak membolehkan jual beli utang dengan modal syirkah. Sedangkan di kalangan
ulama Hanabilah dengan pendpat yang rajih membolehkan jual beli utang dengan
harta syirkah.
Di antara bentuk – bentuk tasarruf
yang boleh dilakukan menggunakan harta syirkah, yaitu :
1.
Membelanjakan dan menitipkan harta
syirkah
2.
Memberikan modal kepada seseorang dengan
cara mudharabah
3.
Memberkan kuasa kepada orang lain untuk
melakukan jual beli
4.
Menggadaikan dan menerima gadai
5.
Melakukan hiwalah ( pemindahan utang )
6.
Menggunakan untuk ongkos perjalanan
K. Hukum Syirkah Mufawadhah
Semua ketentuan – ketentuan yang
brelaku dan boleh dilaksanakan oleh para anggota serikat dalam syirkah ‘inan,
juga boleh berlaku dalam syirkah mufawadhah. Demikian pula hal – hal yang
menjadi syarat sahsyirkh ‘inan juga menjadi syarat sah syirkah mufawadhah, dan
segala hal yang menyebabkan rusak atau batalnya syirkah ‘inan, juga mneyebabkan
rusaknya syirkah mufawdhah. Hal ini karena syirkah mufawadhah itu adalah
syirkah ‘inan dengan diberi tambahan.
Adapun ketentuan – ketentuan khusus
yang berlaku untuk syirkah mufawadhah dalah sebagai berikut:
1.
Pengakuan utang, dibolehkan atas dirinya
atau rekannya
2.
Penetapan kesamaan utang
3.
Harus ada peminjaman harta
4.
Masing – masing memiliki hak menuntut
segala aturan yang berkaitan dengan pembelian atau penjualan
5.
Segala perbuatan yang tidak berhubungan
dengan perkongsian tidak boleh diambil dari perkongsian, seperti membayar
denda, mahar, dan lain – lain.
L. Hukum Syirkah Wujuh
Dua orang yang bersekutu dalam
syirkah wujuh, baik mufawadhah maupun ‘inan, dia berada pada posisi syirkah
amwal, baik dalam hal perkara yang wajib dikerjakan oleh keduanya atau yang
boleh dikerjakan oleh salah satunya. Aoabila syirkah dimutlakkan, ia menjadi
syirkah ‘inan, sebab syirkah mutlak mengaruskan ‘inan.
Jika syirkah wujuh berbentuk
mufawadhah berarti berbagai hal yangg berkaitan dengan jual beli, harus sama.
Sebab mufawadhah melarang ketidaksamaan.
Ulama Hanabilah meskipun
membolehkan syirkah wujuh, mereka mensyaratkan harus berbentuk syirkah ‘inan.
Jika melarang syirkah yang berbrntuk mufawadhah, tidak ada ketetapan syara’
sebab mengandung unsur penipuan, seperti pada jual beli gharar.
M. Hukum Syirkah A’mal
1.
Berbentuk
mufawadhah
Apabila syirkah a’mal berbentuk
mufawadhah, setiap orang yang bersekutu diwajibkan menanggung segala sesuatu
yang berhubungan dengan perkongsian. Contoh syirkah mufawadhah, dua orang
menerima suatu pekerjaan dengan cara bersekutu, maka keduanya harus menanggung
pekerjaan tersebut secara seimbang. Begitu pula dalam keuntungan dan kerugian.
Selain itu, hendaklah seorang di antara mereka dapat menjadi penjamin rekannya.
2.
Berbentuk
‘inan
Ketetapan pada syirkah ‘inan
sebenarnya sama dengan syirkah mufawadhah di atas apabila dihubungkan denagn
keharusan menanggung pekerjaan secara baik. Satu pihak boleh saja menyuruh
rekannya kapan saja, sebagimana rekannya juga dapat meminta upah kapan saja.
Segi kebaikan dari syirkah ini adalah dapat menunutu pekerjaan dari salah
seorang yang bersekutu, untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab bersama.
3.
Pembagian
laba
Pembagian laba pada syirkah ini
bergantung ada tanggungan bukan pada pekerjaan, apabila salah seorang pekerja,
sedang lainnnya tidak sakit atu pergi, maka upah tetap iberikan sesuai dengan persyaratan yang
mereka tetapkan.
4.
Penanggungan
Kerugian
Menanggung kerugian pada syirkah juga bergantung
jaminan yang mereka berikan.
N. Hal – Hal Yang Membatalkan Syirkah
Hal – hal yang membatalkan syirkah
ada yang sifatnya umum dan berlaku untuk semua syirka, dan ada yang khusus untuk syirkah tertentu, di
antaranya :
Sebab
– sebab yang membatalkan syirkah secara umum
1.
Pembatalan oleh salah seorang anggota
serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan akad jaiz dan ghairu
lazim, sehingga memungkinkan untuk difasakh.
2.
Meninggalnya salah seorang anggota
serikat.
3.
Apabila salah seorang anggota serikat
meninggal dunia, maka syirkah menjadi batal atau fasakh karena batalnya hak
milik, dan hilangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf karena meninggal, baik
anggota serikat lainnya mengetahu atau tidak.
4.
Murtadnya salah seorang anggota serikat
dan berpindah ke darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
5.
Gilanya peserta yang terus menerus,
karena gila menghilangkan status wakil dari wakalah, sedangkan syirkah
mengandung unsur wakalah.
Sebab
– sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
1.
Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau
harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli barang
dalam syirkah amwal. Alasannya, karena yang menjadi barang transaksi adalah
harta, maka kalau rusak akan menjadi batal sebagaimana yang terjadi pada
transaksi jual beli.
2.
Tidak ada kesamaan modal
3.
Apabila tidak ada kesamaan modal dalam
syirkah mufawadhah pada awal transaksi, perkongsian batal. Sebab hal itu
merupakan syarat syirkah mufawadhah.[6]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya