animasi-bergerak-selamat-datang-0276

Minggu, 16 Juli 2017

Ulumul Qur'an



KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar, sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah ULUMUL QUR’AN ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Junjungan kita Rasulullah SAW yang mana telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kepada para pembaca kami mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah yang saya buat selanjutnya. Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan khususnya bagi saya.
Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan dapat sedikit mewujudkan pengetahuan didalam lembaran ini.



Bengkulu, Senin, 19 Desember 2016




Penyusun

 


















DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................................         i
DAFTAR ISI ...........................................................................................................         ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG .................................................................................         1
B.     RUMUSAN MASALAH ............................................................................         2
C.     TUJUAN MAKALAH ................................................................................         2
BAB II PEMBAHASAN
QIRA’AT SAB’AH .................................................................................................         3
A.    PENGERTIAN QIRA’AT SAB’AH...........................................................         3
B.     LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA’AT ............         4
C.     DASAR HUKUM ........................................................................................         5
D.    MACAM-MACAM QIRA’AT ....................................................................         5
E.     HIKMAH MEMPELAJARI QIRA’AT ......................................................         10
BAB III PENUTUP
1.      Kesimpulan ...................................................................................................         11
2.      Daftar Pustaka ..............................................................................................         12

   

























BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya. Selain sebagai sumber ilmu, Al Qur’an juga mempunyai ilmu dalam membacanya.
Dalam surat Al Isra’, Allah SWT telah berfirman :

Artinya : “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’:9)

Juga telah di sebutkan dalam sebuah hadits, Sabda Rasulullah SAW :
Artinya:“Orang yang membaca satu huruf dari Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan setara dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf akan tetapi alih satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)

Begitu besar keagungan Al Qur’an  sampai – sampai dalam membacanya pun harus disertai ilmu membaca yang di sebut ilmu Qira’at, karena di kawatirkan apabila dalam membaca Al Qur’an tidak disertai ilmunya akan berakibat berubahnya arti, maksud serta tujuan dalam setiap firman yang tertulis dalam Al Qur’an.
Selain ilmu Qira’at, Al Qur’an juga suatu rangkain kalimat yang serasi satu dengan yang lainnya. keserasian kalimat antar kalimat, ayat antar ayat sampai kepada surat antar surat membuat Al Qur’an di juluki suatu rangkain syair yang begitu indah mustahil untuk di serupai. dalam rangkaian Ulumul Qur’an, keserasian dalam Al Qur’an di sebut Munasabah Al Qur’an.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.       Apa pengertian Qira’at Sab’ah?
2.       Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
3.       Apa yang mendasari hukum Qira’at?
4.       Ada berapa macam-macam Qira’ah?
5.       Apa urgensi mempelajari Qira’at?
6.       Apa pengaruh Qira’at dalam Istinbath hukum?
7.       Apa hikmah dari adanya Qira’at?

C.      TUJUAN MAKALAH
1.       Memahami pengertian Qira’at Sab’ah.
2.       Mengetahui latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at
3.       Mengetahui dasar hukum Qira’at
4.       Untuk mengetahui macam-macam Qira’at serta imamnnya.
5.       Memahami urgensi mempelajari Qira’at
6.       Untuk mengetahui pengaruh Qira’at dalam Istinbath hukum
7.       Untuk Mengetahui Hikmah dari adanya Qira’at.









































BAB II
PEMBAHASAN
QIRA’AT SAB’AH

A.      PENGERTIAN QIRA’AT SAB’AH
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulumul Qur'an. Ilmu Qira’at tidak mempelajari halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Menurut bahasa قراءات adalah bentuk jamak dari قراءة yang merupakan isim masdar dari قرأ yang artinya "Bacaan".
Adapun menurut istilah, ilmu qira′at adalah Ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata Al-Qur`an berikut cara penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama ahli Al-Qur`an ) maupun yang terjadi dengan menisabkan setiap wajah bacaannya kepada seorang Iman Qira’at.
Qira’at adalah bentuk ucapan (pengucapan) kalimat Al Qur’an yang didalamnya termasuk perbedaan-perbedaan yang bersumber dari Rosululloh SAW. Tiap-tiap Qiraat yang disandarkan pada seorang Imam memiliki kaidah-kaidah bacaan tertentu dan juga memiliki rumusan-rumusan tajwid yang berbeda-beda dalam rangka untuk membaguskan bacaannya. Dari sini dapat dikatakan bahwa Qira’at dan tajwid merupakan dua ilmu yang berbeda tetapi sangat berkaitan erat. Ilmu Qira’at mengenai bentuk peengucapan bacaan, sedangkan ilmu tajwid bagaimana mengucapkan dengan baik.
Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh adalah macam cara membaca Al-Qur’an yang berbeda. Disebut Qira’at tujuh karena ada tujuh imam Qira’at yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki langgam bacaan tersendiri. Tiap imam Qira’at memiliki dua orang murid yang bertindak sebagai perawi. Tiap perawi tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara membaca Qur’an, Sehingga ada empat belas cara membaca al-qur’an yang masyhur. Perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh imam Qira’at maupun oleh perawinya. Cara membaca tersebut merupakan ajaran Rasulullah dan memang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan. Jadi, kesemuannya ini adalah bacaan-bacaan al Quran yang sama kuat derajat ke Qur’anannya. Bacaan ini, masing-masing boleh di baca siapapun meski pembaca atau pendengarnya tidak mengerti. Contohnya, bacaan عَليهمْ -و عليهمُ – عليهُم . Boleh mambaca salah satunya, asalkan bacaannya menjalur pada satu model bacaan, tidak campur dengan bacaannya Imam Tujuh. Contoh lagi, (ملك - مالك)  mim panjang atau yang pendek boleh-boleh saja. Contoh yang tidak boleh adalah (الدين يَومَ مَلَكَ), mungkin ini maknanya masih sama dengan (الدين يومَ مَلكِ) tapi tidak boleh membaca (الدين يَومَ مَلَكَ) karena ini bukan salah satu dari bacaannya Imam Tujuh.

B.      LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA’AT
Beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya perbedaan qira’at diantaranya yaitu :
1.             Perbedaan syakkal, harokat atau huruf. Karena mushaf mushaf terdahulu tidak menggunakan syakkal dan harokat, maka imam-imam qira’at membantu memberikan bentuk-bentuk qira’at.

2.             Nabi sendiri melantunkan berbagai versi qira’ah didepan sahabat-sahabatnya. Seperti dalah suatu hadis:
Dari umar bin khathab, ia berkata, “aku mendengar hisyam bin hakim membaca surat al-furqon di masa hidup rasulullah. aku perhatikan bacaannya. tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat ia shalat, tetapi aku urungkan. maka, aku menunggunya sampai salam. begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ‘siapakah yang mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ ia menjawab, ‘rasulullah yang membacakannya kepadaku. lalu aku katakan kepadanya, ‘kamu dusta! demi Allah, rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. kemudian aku bawa dia menghadap rasulullah, dan aku ceritaan kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat al-furqon dengan huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surat al-furqon kepadaku. maka rasulullah berkata, ‘lepaskanlah dia, hai umar. bacalah surat tadi wahai hisyam!’ hisyam pun kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’ lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan rasulullah kepadaku. maka kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di antaranya.’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Jarir).

3.             Adanya pengakuan nabi (takrir) terhadap berbagai versi qira’ah para sahabatnya. 

4.             Perbedaan riwayat dari para sahabat nabi menyangkut bacaan ayat-ayat tertentu.

5.             Karen perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai unsur etnik dimasa nabi.

Jadi itulah beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya perbedaan qira’at di kalangan umat islam.

C.      DASAR HUKUM
Agar Al-Qur’an mudah dibaca sebagian kabilah arab yang kenyataannya pada masa itu mereka mempunyai tingkat yang berbeda beda, maka Rosulullah membuat bacaaan Al-Qur’an dari Allh AWT untuk bacaan bahasa yang mereka miliki. Banyak hadis-hadis nabi yang menerangkan bahwa Allah telah mengizinkan bacaan Al Qur’an dengan tujuh wajah umat Islam mudah membacanya. Karena itu mushaf-mushaf dapat dibaca dengan berbagai qira’at sebagaimana dalam sabda Rosulullah SAW yang artinya:

“sesungguhnya Al-qur’an ini diturunkan atasa tujuh huruf (cara bacaan), maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah.” (HR. Bukhori dan Muslim).





Dalam sebuah hadis lain juga dijelaskan yang berbunyi :

“Dari Ibnu Abas RA ia berkata : Rasulullah bersabda : Jibril telah memberikan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, lalu aku senantiasa mendesak dan berulang kali meminta agar ditambah, dan ia menambahnya hingga sampai tujuh huruf” (HR. Bukhori Muslim)

D.      MACAM–MACAM QIRA’AT
Berkenaan dengan Qira’at ini terdapat bermacam-macam Qira’at dan yang masyhur ada 7 macam, dikenal dengan sebutan qira’ah Sab’ah, suatu qira’at yang dibangsakan kepada tujuh imam Qira’at yaitu :
As-Suyuti mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’ah berdasarkan sanad kepada enam macam, diantaranya :
1.             Qira’ah Mutawatir, yaitu Qira’ah yang periwayatannya melalui beberapa orang, seperti Qira’ah Sab’ah yang menurut jumhhur ulama’ Qira’ah sab’ah ini semua riwatnya adalah mutawatir, para imam yang termasuk dalam Qira’ah sab’ah adalah:
a.              Nafi’ bin Abdurrahman (w.169 H.) di Madinah
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.

b.      Ashim bin Abi Nujud Al-asady (w. 127 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.

c.       Hamzah bin Habib At-Taymy (w. 158 H.) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 158 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Syatiby mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.

d.      Ibnu amir al- yahuby (w. 118 H.) di Syam
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.

e.       Abdullah Ibnu Katsir (w. 130 H.) di Makkah
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 130 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga Muhammad yang disebut Qumbul namanya.

f.       Abu Amr Ibnul Ala (w. 154 H) di Basrah
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry, ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib atau as-Susy berguru padanya.

g.      Abu Ali Al- Kisa’i (w. 189 H) di Kufah
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H.
2.             Qiroa’at Masyhur, yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sohih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Usmani, masyhur di kalangan ahli qiro’ah dan tidak termasuk qiro’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya Qira’at dari imam yang tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi misalnya meriwayatkan dari Imam Tujuh, sementara yang lainnya tidak. Qira’at semacam ini banyak di jumpai kitab-kitab Qiro’ah misalnya At-taisir karya Ad-dani, Qashidah karya As-Syatibi, Au’iyyah Annasr Fi Qiro’ah Al-Asyr dan Taqrib An-Nasyr, keduanya karya Ibnu Al-Jaziri. Menurut AlZarqani dan Subhi Al-Sholih kedua tingkatan Muttawatir dan Masyhur sah Bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikitpun dari padanya.

3.             Qiroat Ahad, yaitu Qira’at yang sanadnya sohih tetapi tulisannya tidak cocok dengan tulisan mushaf usmani yang juga tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qira’at ini tidak boleh untuk membaca al-qur’an.

4.             Qira’at Syadz, yaitu yaitu qiro’ah yang sanadnya tidak sohih. Contoh:ملك يوم الدين  (di baca malaka yauma).

5.             Qira’ah maudlu’ (palsu), Qira’ah ini tidak boleh untuk membaca Al-Qur’an.

6.             Qira’ah mudraj yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-quran.

Kedua qira’at diatas (maudlu dan mudraj)  tidak dapat dijadikan pegangan dalam baca’an Al-Qur’an.

Jika ditinjau dari segi para pembacanya ( Qurro’ ) Qira’ah dibagi atas :
1.      Qiro’ah Sab’ah : yang di sandarkan pada Imam Tujuh ahli qira’a, yaitu qira’ah yang telah disebutkan diatas. Ada dua alasan kenapa di sebut qira’ah sab’ah:
Pertama : ketika kholifah Utsman menirim ke berbagai daerah itu berjumlah tujuh buah yang masing-masing disertai dengan ahli qira’ah yang mengajarkan. Nama Sab’ah berasal dari jumlah qurro’ yang mengajarkan yaitu Sab’ah (tujuh).
Kedua : tujuh qira’ah itu adalah qira’at yang sama dengan tujuh cara (dialek) bacaan diturunkannya Al-qur’an. Dua pendapat diatas di sampaikan oleh Prof. Dr. H. Abdul Djalal H.A. yang mengutip dari pendapat Imam Al-Maliki.

2.      Qir’ah Asyrah : qira’ah yang di sandarkan kepada sepuluh orang ahli qra’ah, yaitu tujuh orang yang sudah tersebut dalam qira’ah sab’ah di tambah dengan tiga orang, yaitu:
a.       Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-qari (w. 130 H.) di Madinah
b.       Abu Muhammad Ya’ Qub bin Ishaal-Hadhary (w. 205 H.) di Basrah
c.       Abu Muhammad Kholf bin Hisyam Al-A’masyy (w. 229 H.)

Menurut sebagian ulama’, pembatasan terhadap tujuh ahli qira’at kurang tepat, karna masih banyak orang (ulama’) lain yang juga mamahami dan pandai tentang qira’at.

3.      Qira’ah Arba’a Asyrata : yaitu qira’ah yang di sandarkan kepada 14 ahli qira’ah yang megajarkannya, sepuluh ahli qira’ah yang telah di tulis di tambah dengan empat orang, yaitu:
a.       Hasan Al-Bashri (w. 110 H.) di Basrah
b.       Ibnu Muhaish (w. 123 H.)
c.       Yahya Ibnu Mubarok Al- Yazidy (w. 202 H.) di Baghdad
d.      Abu Faroj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (w. 388 H.) di Baghdad.

E.      Urgensi mempelajari Qira’at
Mempelajari Qira’at bisa menghasilkan beberapa faidah, setidaknya menurut Rosihon Anwar ada 5 faedah yaitu:[1]
a.              Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama.  Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam Qira’at Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:

وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ ) من ام ) فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (Q.S. An-Nisa 4: 12)

Dengan demikan, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqaash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.

b.      Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:

فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ     مؤمنة.
“maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak (Mukmin)”. (Q.S. 5: 89)
Tambahan kata “Mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.

c.       Dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat al-Baqarah 2 ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelumnya haidnya berakhir. Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahirna” (di dalam mushaf ‘Utsmani tertulis “yathhurna”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.

d.      Dapat menunjukkan  dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat al-Ma’idah 5 ayat. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum” dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja mengosekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.

e.       Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknaya. Misalnya, di dalam surat al-Qari’ah 101 ayat 5, Allah berfirman:

وَتَكُونُ ٱلۡجِبَالُ كَٱلۡعِهۡنِ ٱلۡمَنفُوشِ ٥

Dalam sebuah qira’at yang syadz dibaca:

وَتَكُونُ ٱلۡجِبَالُ كَٱلصوف ٱلۡمَنفُوشِ ٥

Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata kata “al-ihn” adalah “al’shuf.”

F.      Pengaruh Qiroat Terhadap Istinbath Hukum 
Kata istinbath berasal dari bahasa Arab yang kata akarnya al-Nabth yang artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur. Adapun menurut bahasa berarti mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah). 
Adapun secara terminologi adalah mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Quran dan al-Sunnah) dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal. Sedangkan kata hukum (hukum Islam) yang sering kali identik dengan syari’at , merupakan salah satu aspek pokok ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Karena itu ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan hukum biasanya disebut dengan ayat-ayat hukum (ايات الأحكام ). Secara etimonolgi hukum berati menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakannya. Disamping itu bisa juga berarti menolak atau mencegah. Karena itu seorang qodhi disebut hakim, karena ia berupaya mencegah perbuatan zhulm (kezholiman) dari pelakunya. 
Sementara dari terminologi ada perbedaan pendapat antara Ulama’, diantaranya Ulama’ ahli ushul mengartikan “Khitab syari’ (firman Allah dan sabd Nabi) yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik yang bersifat thalab, takhyir atau wad”.
Sedangkan menurut Ulama fiqh mengartikan “Pesan dan kesan yang terkandung dalam khitab syari’ menyangkut perbuatan orang-orang mukallaf, seperti wajib, haram dan mubah”. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa esensi istinbath yaitu upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Quran maupun al-Sunnh. Pada garis besarnya terdapat dua cara dalam melakukan istinbath hukum, yakni; 
a.              Cara lafdhiah (طرق لفظية ) yaitu cara istinbath hukum berdasarkan pesan yang terdapat dalam nash. 
b.             Cara maknawiyyah ( طرق معنوية ) yaitu cara istinbath hukum berdasarkan kesan yang terkandung dalam nash. 

Dengan adanya perbedaan qiroat, adakalanya yang berpengaruh terhadap istinbath hukum dan adakalanya tidak berpengaruh pada istinbath hukum. Diatara yang berpengaruh pada istinbath hukum seperti surat al-Nisa’ ayat 43, yang berbunyi; Ayat diatas menjelaskan bahwa salah satu penyebab yang mengharuskan seseorang bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air yaitu apabila ia telah “menyentuh” wanita (لمستم النساء ). Sementara itu, Ibn Katsir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساء . Sedangkan Hamzah dan al-Kisa’i membaca لمستم النساء . Berdasarkan qiroat لمستم , ada tiga versi pendapat para ulama mengenai maknanya yaitu, 1) bersetubuh, 2) bersentuhan, 3) bersentuhan serta bersetubuh. 
Demikian pula makna qiroat لامستم menurut kebanyakan ulama. Akan tetapi Muhammad Ibn Yazid berpendapat bahwa yang lebih tepat makna لامستم adalah berciuman, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif, sementara makna لمستم adalah menyentuh, karena pihak wanita (yang disentuh) tidak aktif . 
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud لمستم dalam ayat tersebut. Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh. Sementara Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuh kulit baik dalam persetubuhan maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi berpendapat bahwa pendapat yang terakhir adalah lebih kuat, karena kata al-lums dalam qiroat لمستم النساء makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Menurut al-Razi, pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara kata mulamasat pada qiroat لامستم makna hakikinya saling menyentuh dan bukan berarti bersetubuh. 
Dalam pada itu, para ulama yang berpendapat bahwa kata al-lums dalam ayat tersebut berarti bersetubuh, berargumentasi bahwa kata اللمس dan المس terdapat dalam al-Quran dengan pengertian الجماع (bersetubuh). Seperti firman Allah وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن dan firman Allah فتحرير رقبة من قبل ان يتماسا . Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah bersentuh kulit, mereka berbeda pendapat pula pada rinciannya, yakni sebagai berikut; - Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu seorang laki-laki apabila ia menyentuh anggota tubuh seorang wanita, baik dengan tangannya maupun dengan anggota tubuh lainnya, - Al-Awza’i berpendapat apabila menyentuhnya dengan tangan, maka batal wudlunya. Dan apabila menyentuhnya bukan dengan tangan maka tidak batal wudlunya, - Imam Malik berpendapat apabila menyentuhnya disertai dengan syahwat maka batal wudlunya. Tetapi bila menyentuhnya tidak disertai dengan syahwat maka tidak batal wudlunya, - Ibn al-Majisyun berpendapat jika menyentuhnya dilakukan secara sengaja maka batal wudlunya baik disertai dengan syahwat maupun tidak. Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan qiroat dalam ayat diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath hukum, dimana menurut sebagian ulama versi qiroat لمستم النساء sedikit lebih mempertegas pendapat, yang dimaksud dengan لامستم النساء dalam ayat tersebut adalah al-lums dalam arti hakiki yaitu “bersentuh kulit” antara laki-laki dan perempuan. 
Adapun qiroat yang tidak berpengaruh terhadap istinbath hukum seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 95; Ayat diatas menjelaskan bahwa bila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan dengan sengaja maka salah satu alternatif dendanya yaitu memberi makan orang-orang miskin (او كفارة طعام مساكين ) seimbang dengan harga binatang ternak yang akan digunakan untuk pengganti binatang ternak yang dibunuhnya. Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan al-Kisa’i membaca او كفارة طعام مساكين dengan cara lafat tho’am dijadikan khabar dari mubtada’ mahdzuf. Sedangkan Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca dengan cara mengidhofahkan lafat kaffarah pada lafat tho’am tanpa terjadi perubahan hukum yang terkandung di dalamnya. 

E.     HIKMAH MEMPELAJARI QIRA’AT
Dengan bervariasinya Qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
a.              Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.

b.             Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.

c.              Untuk mempersatukan umat islam diatas dasr bahasa yang satu.

d.             Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.

e.              Untuk menjelaskan suatu hukum dari beberapa hukum.

f.              Untuk menjelaskan sebagian lafad yang mubham (samar).

g.             Memperbesar pahala.
 







BAB III
PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Aamiin.

A.           KESIMPULAN
Jadi dari uraian diatas menunjukkan bersarnya pengaruh qira’at dalam proses menetapkan hukum. Sebagian qira’at bisa berfungsi sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qira’at yang  lain atau penafsiran dan penjelasan pada maknanya.
Selain itu kita juga bisa mengetahui macam-amcam qira’at dan Imam-imamnya, dan pengetahuan tentang berbagai qira’at sangat perlu bagi seorang yang hendak mengistinbat hukum dari ayat-ayat Al-qur’an pada khususnya dan mentafsirkannya pada umumnya, serta bisa mengetahui hikmah dari adanya  qira’at.


























DAFTAR PUSTAKA

Chalik, Abdul, Chaerudji. Ulumul Al-Qur’an. Diadit Media. Jakarta Pusat. 2007

Syadali Ahmad, Rofi’i Ahmad. Ulumul Qur’an I. Pustaka Seyia. Bandung. 2000

A. Chaerudji Abdul Chalik, Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Diadit Media, 2007. Hal. 177-178

Ahmad Syadali dan ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung : Pustka Setia, 2000. hal. 228

A. Chaerudji Abdul Chalik, Op.cit., Hal. 173-175

Ahmad Syadali dan ahmad Rofi’i, Op.cit., hal. 228-230

A. Chaerudji Abdul Chalik, Op. Cit., Hal. 179-183




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar kalian sangat berharga bagi saya

Survey Monkey

Survey Monkey/Monkey Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan umpan balik untuk membantu mengumpulkan informasi & data pelanggan dari surv...