MAKALAH TEATER TRANSISI
KATA
PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis ucapkan atas kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan hidayahnya, sehingga makalah yang
berjudul “Teater Transisi” ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya, guna memenuhi tugas mata pelajaran “ diskusi seni budaya”
Makalah ini dibuat dengan harapan agar yang membaca mendapatkan ilmu yang
bermanfaat serta membuka wawasan pembaca tentang teater transisi itu sendiri.
Semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan kita, khususnya selaku penulis, kami sadar dalam makalah ini
masih banyak kekurangan dalam hal isi maupun penulisan, untuk itu penulis
sampaikan maaf yang sebesar besarnya dan mengharapkan kritik dan saran yang
dapat membangun untuk penyusunan makalah kedepannya. Akhir kata penulis ucapkan
terima kasih.
Taba Penanjung, Februari 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang..............................................................................................
Kata teater barangkali sudah tidak menjadi asing lagi di telinga masyarakat perkotaan, hal ini disebabkan oleh hadirnya akademisi, pelaku, serta komunitas teater itu sendiri. Teater terus diperkenalkan melalui pementasan-pementasan yang mengisi gedung-gedung pertunjukan, serta ruang public (pasar, pelataran, galeri, taman, mall, jalan raya, pinggiran sungai, dan lain sebagainya) juga digunakan untuk pementasan. Kehadiran teater juga diperkuat dengan diberlakukannya ekstra kurikuler dalam kurikulum pelajaran siswa di sekolah-sekolah, teater dikhususkan untuk pengembangan diri anak (siswa).
Sebelum kata teater, masyarakat kita lebih mengenal istilah drama atau sandiwara. Pengguanan kata ini terus bergeser sampai teater sudah diperuntukkan untuk pementasan drama atau sandiwara. Teater berasal dari kata teatron (Bahasa Yunani) artinya tempat melihat (Romawi, auditorium; tempat mendengar). Atau, area yang tinggi tempat meletakkan sesajian untuk para dewa. Amphiteater di Yunani adalah sebuah tempat pertyunjukan. Bisa memuat sekitar 100.000 penonton. Teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas-peristiwa). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan (seni pertunjukan tradisional-rakyat-kontemporer), baik dipanggung tertutup maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup Tiga Kekuatan (pekerja-tempat-penikmat), atau ada Tiga Unsur (bersama-saat-tempat) maka peristiwa itu adalah teater (Nano,2011).
Sedangkan drama adalah; suatu karangan sastra, baik lisan maupun tulisan yang memiliki dialog, keterangan laku dan tempat yang dipertunjukkan di atas pentas. Namun melalui proses yang amat panjang istilah teater lebih melekat pada seni pertunjukan yang berbentuk drama (Yudiaryani, 2004). Karena ia merupakan salah satu genre seni yang memiliki dimensi kekompleksitasan yang ada dalam seluruh genre seni. Teater dibangun oleh unsur sastra, musik, kareografi gerak atau tarian, rupa, suara, dan seni yang lain. Bila kesenian diidentikkan sebagai maniatur budaya, maka teater juga disebut sebagai maniatur kesenian secara kekompleksitasannya. Peristiwa teater disebut juga peristiwa budaya sepertihalnya peristiwa-peristiwa kesenian lainnya. Teater tak lain adalah jendela atau jalan masuk untuk melihat suatu kebudayaan (Sahrul 2008). Sandiwara, asli Indonesia, berasal dari kata sandi dan wara. Sandi adalah rahasia atau misteri, dan wara, artinya berita. Sandiwara berarti rahasia atau misteri yang dibertakan kepada penonton. Kata sandiwara dicetuskan oleh Sri Mangkunegara VII untuk menggantikan istilah dalam Bahasa Belanda, toneelstuk (Nano, 2011).
Kata teater barangkali sudah tidak menjadi asing lagi di telinga masyarakat perkotaan, hal ini disebabkan oleh hadirnya akademisi, pelaku, serta komunitas teater itu sendiri. Teater terus diperkenalkan melalui pementasan-pementasan yang mengisi gedung-gedung pertunjukan, serta ruang public (pasar, pelataran, galeri, taman, mall, jalan raya, pinggiran sungai, dan lain sebagainya) juga digunakan untuk pementasan. Kehadiran teater juga diperkuat dengan diberlakukannya ekstra kurikuler dalam kurikulum pelajaran siswa di sekolah-sekolah, teater dikhususkan untuk pengembangan diri anak (siswa).
Sebelum kata teater, masyarakat kita lebih mengenal istilah drama atau sandiwara. Pengguanan kata ini terus bergeser sampai teater sudah diperuntukkan untuk pementasan drama atau sandiwara. Teater berasal dari kata teatron (Bahasa Yunani) artinya tempat melihat (Romawi, auditorium; tempat mendengar). Atau, area yang tinggi tempat meletakkan sesajian untuk para dewa. Amphiteater di Yunani adalah sebuah tempat pertyunjukan. Bisa memuat sekitar 100.000 penonton. Teater bisa juga diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi pentas-peristiwa). Sementara itu, ada juga yang mengartikan teater sebagai semua jenis dan bentuk tontonan (seni pertunjukan tradisional-rakyat-kontemporer), baik dipanggung tertutup maupun di arena terbuka. Jika peristiwa tontonan mencakup Tiga Kekuatan (pekerja-tempat-penikmat), atau ada Tiga Unsur (bersama-saat-tempat) maka peristiwa itu adalah teater (Nano,2011).
Sedangkan drama adalah; suatu karangan sastra, baik lisan maupun tulisan yang memiliki dialog, keterangan laku dan tempat yang dipertunjukkan di atas pentas. Namun melalui proses yang amat panjang istilah teater lebih melekat pada seni pertunjukan yang berbentuk drama (Yudiaryani, 2004). Karena ia merupakan salah satu genre seni yang memiliki dimensi kekompleksitasan yang ada dalam seluruh genre seni. Teater dibangun oleh unsur sastra, musik, kareografi gerak atau tarian, rupa, suara, dan seni yang lain. Bila kesenian diidentikkan sebagai maniatur budaya, maka teater juga disebut sebagai maniatur kesenian secara kekompleksitasannya. Peristiwa teater disebut juga peristiwa budaya sepertihalnya peristiwa-peristiwa kesenian lainnya. Teater tak lain adalah jendela atau jalan masuk untuk melihat suatu kebudayaan (Sahrul 2008). Sandiwara, asli Indonesia, berasal dari kata sandi dan wara. Sandi adalah rahasia atau misteri, dan wara, artinya berita. Sandiwara berarti rahasia atau misteri yang dibertakan kepada penonton. Kata sandiwara dicetuskan oleh Sri Mangkunegara VII untuk menggantikan istilah dalam Bahasa Belanda, toneelstuk (Nano, 2011).
Teater di Indonesia, dapat juga dilihat dari jenis
teater menurut perkembangannya. yaitu teater tradisi, teater modern, dan teater
kontemporer. Kasim Achmad dalam bukunya, Mengenal Teater Tradisional Indonesia
(2006:4-5) mengatakan bahwa teater tradisional merupakan suatu bentuk teater
yang lahir tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik yang merupakan hasil
kreativitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di Indonesia. Berakar dari
budaya etnik setempat dan dikenal oleh masyarakat lingkungannya. Teater
tradisional dari suatu daerah umumnya bertolak dari sastra lisan yang berupa
pantun, syair, legenda, dongeng dan cerita-cerita rakyat setempat. Teater
tradisional lahir dari spontanitas kehidupan dan dihayati masyarakat
lingkungannya, karena ia merupakan warisan budaya nenek moyangnya. Warisan
budaya guyub (kebersamaan dan kekeluargaan) yang sangat kuat melekat pada
masyarakat di Indonesia.
Bentuk kesenian teater tradisional yang ada di Indonesia, baik di Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagainya, memiliki kesamaan pada proses kelahirannya begitu juga di Riau. Teater demikian berkembang benar-benar di tengah masyarakat itu sendiri. Karena penceritaan yang dihadirkan sangat dekat dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat setempat. Penceritaan itu menimbulkan interaksi sosial yang sangat komunikatif dan membangun silaturrahmi.
Bentuk kesenian teater tradisional yang ada di Indonesia, baik di Kalimantan, Sulawesi, Aceh, Sumatera Barat, Riau dan sebagainya, memiliki kesamaan pada proses kelahirannya begitu juga di Riau. Teater demikian berkembang benar-benar di tengah masyarakat itu sendiri. Karena penceritaan yang dihadirkan sangat dekat dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat setempat. Penceritaan itu menimbulkan interaksi sosial yang sangat komunikatif dan membangun silaturrahmi.
1.2.
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah;
1) Untuk meningkatkan pembelajaran
tentang teater transisi
2) Meningkatkan kemampuan kita
dalam berbahasa indonesia, secara baik dan benar. Baik secara lisan maupun
tertulis.
3) Dan supaya menambah
keterampilan kita dalam mengapresiasikan sastra.
1.3.
Rumusan Masalah
1) Pengertian teater transisi?
2) Unsur – unsur teater transisi?
3) Struktur teater transisi?
4) Jenis jenis taeter transisi?
5) Sejarah teater transisi?
BAB II
SEJARAH TEATER
TRANSISI
Suatu ketika penulis 10 hari berada di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) (lihat
foto), bertepatan membawa grup Teater GENERASI tampil pada Festival
Teater Alternatif GKJ Award pada tahun 2003. Gedung itulah yang pada 7
September 1821 adalah sebuah gedung supermegah yang berdiri di Jalan Noordwijk
dekat perempatan Jalan Pasar Baru, Batavia. Sekarang bernama Jalan Pasar Baru,
Jakarta.
Konon, hari pembaptisan gedung
yang dahulu bernama Schouwburg atau Comediegebouw itu sedianya
akan dimeriahkan dengan pementasan Othello karya William Shakespeare dan
lakon gembira Penabuh Genderang. Penonton sudah berjajar di depan pintu
masuk dengan tertib, setertib kendaraan mereka (kereta kuda) yang telah
diparkir di halaman depan gedung.
Sayang, jumlah perempuan yang
hadir begitu sedikit, mungkin setara dengan jumlah pribumi yang berhasil
menggondol karcis dengan harga selangit, 3 Gulden. Mereka tenggelam oleh para pria besar dari
Eropa, khususnya Belanda, Indo-Belanda, dan beberapa saudagar peranakan
Cina.
Di situlah kiranya sebuah puzzle
ditemukan dan mungkin menjadi titik pijak terbentuknya kesadaran akan berteater
di kalangan pribumi. Pada sebuah gedung yang didirikan kelompok teater amatir Ut
Desint. Serpihan sejarah yang pada suatu hari nanti melengkapi sebuah
bangunan bernama teater Indonesia. Gedung kebanggaan yang banyak memamerkan naskah-pengarang-pemain-penonton
dari Barat. Tempat pribumi terpelajar memahami teater
Barat.
Kemeriahan Schouwburg
menggelitik kaum terpelajar pribumi belajar berteater. Mereka mencoba
mementaskan karya panggungnya dalam ruang kecil. Pada hari-hari tertentu
semisal ulang tahun organisasi yang mereka geluti. Penontonnya pun sebatas
teman satu organisasi. Tujuan yang hendak dicapai tidak lain untuk menambah
pengetahuan tentang teater, terutama teater yang datang dari Barat.
Mereka hanya belajar dari
buku-buku teater yang beredar di Batavia, tanpa tahu bagaimana cara
memanggungkannya. Pengetahuan pemanggungannya pun sebatas tontonan atas
karya-karya orang Belanda waktu itu. Jelas saja apabila karya-karya panggungnya
belum menyamai Teater Barat. Mereka sekadar mengikuti perkembangan teater di
Barat yang sedang gandrung pada gaya realisme. Dari bentuk realisme-lah para
penggarap teater di Indonesia, khususnya dari kalangan kaum terpelajar, mulai
merangkak.
Sementara itu, di kalangan
masyarakat kota kebanyakan, muncul sebuah bentuk teater lain yang orientasinya
meraup banyak penonton atau lebih tepatnya meraih banyak keuntungan. Teater
jenis ini berkembang semenjak kedatangan kelompok Teater Bangsawan yang berasal
dari Penang, Malaysia.
Kelompok teater ini mementaskan
lakon yang berasal dari cerita hikayat Melayu, beberapa cerita dari Arab,
Hindu, dan Cina. Lakon dimainkan dengan sangat longgar, dialog dikembangkan
sendiri oleh para aktornya. Cerita pun hanya berkisah pada tokoh-tokoh yang
sudah baku dan stereotip.
Penggunaan idiom-idiom itu
membuat Teater Bangsawan diterima di beberapa daerah serumpun Melayu seperti
Sumatera, Singapura, dan Malaysia. Mereka juga berhasil menggabungkan bentuk
pemanggungan prosenium yang berasal dari Barat dengan cerita yang asli
Melayu.
Kesuksesan Teater Bangsawan tidak
berlanjut sampai ke pulau Jawa. Idiom Melayu yang menjadi andalan mereka tidak
berterima di Jawa. Kegiatan teater masyarakat kota di Jawa seketika diambil
alih oleh Teater Stamboel. Dinamakan stambul karena kelompok ini
mengangkat cerita-cerita yang berasal dari kerajaan Arab (Timur Tengah), juga
karena pendirinya berkebangsaan Turki.
Mereka mengangkat cerita-cerita
Seribu Satu Malam seperti Aladin bersama Lampu Wasiat, Ali Baba
dengan Empat Puluh Penyamun, Siti Sanibar, dan Nur Cahaya.
Untuk bentuk pemanggungannya, mereka masih meneruskan tradisi Teater Bangsawan.
Mereka mengganti bahasa Melayu Tinggi dengan bahasa Melayu Rendah (Lingua
Franca) yang lebih bisa diterima oleh rakyat kota di
Jawa.
Hadirnya dua kelompok itu
menunjukkan bahwa teater rakyat kota merupakan gabungan berbagai asal budaya
dan ras. Bisa disimpulkan bahwa kota hasil bentukan Belanda itu sejatinya
adalah ibu kandung teater Indonesia.
Tanpa ada definisi kota, mustahil teater atau seni
pertunjukan semarak. Terbentuknya kota juga ditandai dengan berbondongnya
masyarakat desa memutar haluan dari seorang petani menjadi pencari ekonomi.
Dari sekadar mengejar kebutuhan sendiri menjadi keinginan memegang sejumlah
uang. Di tengah masyarakat kota seperti inilah tumbuh sebentuk teater gado-gado
yang justru mampu meraup begitu banyak penonton. Kiranya dapat dipastikan, di
sinilah tempat terciptanya penonton teater Indonesia.
Teater rakyat kota mengalami
perkembangan pesat ketika hadirnya Dardanella. Sebuah kelompok teater
profesional yang mampu menghidupi seluruh awaknya dengan kekayaan melimpah,
terutama para aktris dan aktornya. Dardanella berani menampilkan lakon-lakon dengan
masalah sosial yang sedang terjadi saat itu.
Tapi dari segi penceritaan,
kelompok Dardanella masih menampilkan sebuah pertunjukan verbal. Tokoh-tokohnya
sekitaran hitam-putih. Tidak ada nuansa di dalamnya. Dengan modal pementasan
verbal inilah mereka dengan mudah meraup banyak penonton.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pengertian Teater Transisi
Teater transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan. Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga di Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian_Jakarta).
Perkenalan masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya lakon yang pertama yang ditulis oleh orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya.
Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater.
Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan teater pada masa itu menggunakan
nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada
Zaman Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat
populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman
Kemerdekaan.
3.2. Unsur-Unsur Teater Transisi yang Pokok
Bentuk-bentuk pertunjukan tradisional ini dipertegas
oleh Jakob Soemardjo dalam buku Perkembangan Teater dan Drama Indonesia
(1997:18-19) bahwa unsur-unsur teater rakyat yang pokok adalah cerita, pelaku
dan penonton. Unsur cerita dapat diperpanjang atau diperpendek menurut respon
dan suasana penontonnya. Cerita dibawakan dengan akting (pemeranan) atau dengan
menari dan menyanyi. Para pelaku berkostum sesuai dengan referensi budaya
masyarakatnya, meskipun ada acuan terhadap tradisi lama.
3.3. Ciri-Ciri Umum Teater Transisi
Ciri-ciri umum teater rakyat ini adalah :
(1) Cerita tanpa naskah dan digarap berdasarkan
peristiwa sejarah, dongeng, mitologi atau kehidupan sehari-hari;
(2) Penyajian dengan dialog, tarian dan nyanyian;
(3) Unsur lawakan selalu muncul;
(4) Nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan
serta dalam satu adegan terdapat dua unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan
menangis;
(5) Pertunjukan menggunakan tetabuhan atau musik tradisional;
(6) Penonton mengikuti pertunjukan secara santai dan
akrab dan bahkan tak terelakkan adanya dialog langsung antara pelaku dan
publiknya;
(7) Mempergunakan bahasa daerah; dan
(8) Tempat pertunjukan terbuka dalam bentuk arena (dikelilingi penonton).
Ciri- ciri
teater tradisional seperti yang telah dijelaskan, dapat kita lihat di wilayah
Riau yang juga memiliki teater tradisional, seperti; Bangsawan, Makyong,
Dulmuluk, Mamanda, Mendu, dan Randai. Dari teater tradisional yang telah hadir
di tengah masyarakat, mengalami perubahan, pergeseran nilai dan budaya, hal ini
tentunya telah dipengaruhi oleh banyak faktor.
BAB IV
SARAN DAN KESIMPULAN
·
Kesimpulan
Sudah lama dunia ini dibedakan dengan Barat dan Timur.
Masa lalu masa depan. Sudah lama nilai-nilai dipatok dalam dua gawang. Buruk
dan baik. Hitam dan putih. Sudah lama arah disederhanakan menjadi kanan dan
kiri. Depan dan belakang. Atas dan bawah. Tradisional dan modern. Pertunjukan
tradisional dan pertunjukan modern.
Menyederhanakan persoalan, biasanya selalu
dirasionalisasi dengan alasan-alasan keren yang filosofis atau pun politis
yaitu menotok inti persoalannya, sehingga terjadi hantaman yang telak, mendalam
dan tuntas menjawab seluruh persoalan. Sebab dengan hanya dua kategori semacam
hitam dan putih, segalanya dengan amat mudah diatur. Itu refleksi khas,
spontan, mentalitas birokrat, yang menganggap semua adalah barang, yang harus
disusun dengan teratur, agar memudahkan untuk memanfaatkannya.
·
Saran
Dalam menciptakan
suatu teater transisi, kita seharusnya melihat unsur-unsurnya beserta syarat-syaratnya
terlebih dahulu karena dalam penciptaan teater transisi harus melihat bagaimana
supaya teater tersebut terkolaborasi dengan baik dan tidak terlihat monoton
yang bisa membuat penonton bosan.
DAFTAR PUSTAKA
http//:greenthree.com
soemardjo,grathayu.2003.Teater Nusantara.Jakarta:Erlangga
gotdhja,dasfhi.2007.Sejarah Teater.Bandung:masmedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya