Perkembangan Seni Tari Di Nusantara
A.
Perkembangan
Seni Tari
Perjalanan dan bentuk seni tari di
Indonesia sangat terkait
dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya,
baik ditinjau dari struktur etnik maupun dalam
lingkup negara kesatuan. Jika ditinjau sekilas perkembangan
Indonesia sebagai negara kesatuan, maka perkembangan
tersebut tidak terlepas dari latar belakang keadaan
masyarakat Indonesia pada masa lalu.
James R. Brandon tahun 1967, salah
seorang peneliti seni pertunjukan Asia Tenggara
asal Eropa, membagi empat
periode budaya di Asia Tenggara termasuk
Indonesia yaitu:
1)
periode pra-sejarah sekitar 2500 tahun
sebelum Masehi sampai 100 Masehi (M).
2)
periode sekitar 100 M sampai 1000 M
masuknya kebudayaan India,
3)
periode sekitar 1300 M sampai 1750
pengaruh Islam masuk, dan
4)
periode sekitar 1750M sampai akhir
Perang Dunia II.
Pada saat itu, Amerika Serikat dan
Eropa secara politis dan ekonomis
menguasai seluruh Asia Tenggara, kecuali
Thailand.
Menurut Soedarsono tahun 1977,
salah seorang budayawan dan
peneliti seni pertunjukan Indonesia, menjelaskan
bahwa, “secara garis besar perkembangan seni
pertunjukan Indonesia tradisional sangat dipengaruhi
oleh adanya kontak dengan budaya besar dari
luar”. Berdasarkan pendapat Soedarsono tersebut, maka
perkembangan seni pertunjukan tradisional Indonesia
secara garis besar terbagi atas periode masa pra
pengaruh asing dan masa pengaruh asing. Namun apabila
ditinjau dari perkembangan masyarakat Indonesia hingga
saat ini, maka masyarakat sekarang merupakan masyarakat
Indonesia dalam lingkup negara kesatuan. Tentu
saja masing-masing periode telah menampilkan budaya
yang berbeda bagi seni pertunjukan, karena kehidupan
kesenian sangat tergantung pada masyarakat pendukungnya.
Oleh karena itu, tari merupakan
bentuk seni fungsional atau
"utilitas" bagi masyarakatnya. Tema dan pengungkapan
lewat gerak tidak terpisahkan dari kepentingan
menyeluruh. Biasanya penyajian tari terkait dengan
upacara ritual yang bersifat magis dan sakral. Untuk
itu maka diperlukan tempat dan perhitungan
waktu tertentu. Jika mengikuti sistem keadatan, maka pelaku tariannya pun tertentu pula.
Tari di Indonesia pada dasarnya
merupakan pengertian yang
dikaitkan dengan tari-tarian yang berasal dari berbagai
kelompok budaya dari wilayah Indonesia. Sedangkan
Sejarah Indonesia berkaitan dengan sejarah perkembangan
kebangsaan Indonesia sejak zaman prasejarah
hingga kini. Namun demikian studi tentang Sejarah
Tari Indonesia dapat dilaksanakan dengan bertolak
terlebih dulu dari bidang studi lain seperti Sastra,
Antropologi, Arkeologi dan Seni Rupa ataupun dari
bidang Teater dan Musik. Bidang-bidang studi tersebut
kemudian diproyeksikan dalam konteks Sejarah Indonesia
pada umumnya dan Sejarah Kesenian pada khususnya.
Periodisasi Sejarah Tari Indonesia
terkait dengan periodisasi
Sejarah Kesenian yang pada dasarnya terbagi sebagai
berikut :
1)
Kesenian Jaman Prasejarah (mulai sebelum abad Masehi).
2)
Kesenian yang mendapat pengaruh Budaya Hindu (mulai abad 1
Masehi).
3)
Kesenian yang mendapat pengaruh Budaya
Islam (mulai abad 13 Masehi).
4)
Kesenian yang mendapat pengaruh Budaya Eropa (mulai abad 15 Masehi).
5)
Kesenian Jaman
Pergerakan Nasional (mulai awal abad 20 Masehi).
6)
Kesenian pada Masa Kemerdekaan (mulai 17
Agustus 1945).
Itulah antara lain yang
sekurang-kurangnya harus diperhatikan
ketika membicarakan tari-tarian di Indonesia. Namun
membicarakan tentangnya pada dasarnya meliputi
ruang lingkup yang sangat luas, sangat bervariasi
dan multi kompleks. Misalnya tari-tarian dari jaman
prasejarah hidup berdampingan dengan tari-tarian dari
jaman-jaman lainnya maupun dengan berbagai ekspresi
jaman kini.
Selain itu kalau kita bicara
mengenai masyarakat Indonesia
yang mendiami kepulauan Nusantara ini, ia mempunyai
sifat plural yang besar dalam hal bahasa dan kebudayaan.
Menurut variasi kebudayaannya, mereka dapat
digolongkan menjadi bentuk kesatuan sosial yang disebut
suku-bangsa. Namun demikian jumlah suku-bangsa di Indonesia itu sukar dihitung
karena konsep suku-bangsa
dapat mengembang atau menyempit menurut
keadaan secara subyektif. Belum lagi kalau kita menggolongkannya
sampai pada bentuk kesatuan social yang
disebut sub suku-bangsa.
Oleh karena itu sudah selayaknyalah
jika sekurang-kurangnya masyarakat Indonesia itu dapat mengenal salah sebuah tarian yang mewakili salah
satu suku-bangsa atau sub suku-bangsa yang ada di Indonesia; sekaligus tarian mana dapat dianggap
sebagai atribut penunjuk
dan pembeda identitas kesuku-bangsaannya, seperti
tari Seudati untuk Aceh, Topeng Cirebon untuk sub
suku-bangsa Jawa-Indramayu, dan sebagainya. Sehubungan
dengan hal itu dalam kesempatan ini penulis
tidak bermaksud untuk membicarakannya satu persatu.
Untuk maksud itu ada beberapa literatur yang dapat
memberikan informasi tentangnya (lihat bibliografi).
B.
Hakekat
Seni Tari
Secara universal kebudayaan suatu
masyarakat manusia terdiri
dari tujuh unsur. Ketujuh unsure kebudayaan
tersebut satu sama lain saling berkaitan, saling
mempengaruhi dan merupakan satu kesatuan yang
utuh; sehingga ketujuh unsur tersebut saling berhubungan
dan membentuk sebuah sistem. Dengan demikian
unsur kebudayaan kesenian merupakan salah sebuah
komponen pembentuk kebudayaan suatu masyarakat.
Unsur kebudayaan ini tentu saja berkaitan erat
dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain seperti bahasa,
sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup,
organisasi sosial, sistem peralatan dan teknologi serta
sistem religi. Karena keberadaan kesenian sangat terkait
erat dengan aspek-aspek kehidupan yang lain maka
sebagai konsekuensi logisnya jika seseorang hendak
memahami kesenian, ia juga harus memahami aspek-aspek
kehidupan yang lain, termasuk juga cabang-cabang kesenian lain yang dimiliki
oleh masyarakat yang bersangkutan.
Itulah pengertian dan penerapan pendekatan
holistik pada pemahaman kesenian.
Pengertian pendekatan holistik juga
dipakai untuk memandang sebuah cabang seni itu
sendiri, dalam hal ini seni
tari. Artinya, karena yang dimaksud dengan tari
bukan sekedar kumpulan gerak indah saja, tetapi mencakup
unsur tari lainnya, maka sejumlah unsur tari itu
juga merupakan satu kesatuan yang utuh bahkan mempunyai
hubungan satu sama lain yang serasi dan harmonis
sehingga sarat dengan nilai-nilai keindahan.
Unsur-unsur tari tersebut meliputi
seperangkat busana tari,
ragam hias pada busana tari, tata rias tari, property dan aksesori yang dipakai, musik dan
alat yang dipakai untuk
mengiringi, tata dan teknik pentas, makna yang melatar-belakangi
keseluruhan tari, dan yang paling cocok
adalah serangkaian gerak baik yang mengandung makna
maupun gerak-gerak kembangan (stilisasi). Itu semua
harus dipandang secara holistik dan sistemis. Sehubungan
dengan hal itu dalam kesempatan ini ada baiknya
jika pertama-tama kita sepakati dahulu pengertian
tari. Mengenai pengertian tari, sebenarnya sudah
banyak ahli yang mengungkapkannya dari beragam
sudut pandang seturut dengan disiplin ilmu yang
dikuasainya. Namun demikian dari sejumlah batasan
yang coba mengupas tari, terdapat unsur-unsur dan
ciri-ciri dalam tari yang selalu hadir dalam setiap batasan. Unsur-unsur tersebut adalah
gerak, ruang, ritme, pesan dan
nilai estetis. Adapun ciri-ciri yang terkandung
dalam tari antara lain adalah ekspresi manusia
manusia secara artistik; gerak yang dilakukan oleh
manusia; gerak yang berpola, gerak stilisasi dan distorsi;
mengandung ritme; di dalam ruang; mengandung
pesan dan mengandung simbol.
Dari unsur-unsur dan ciri-ciri
tersebut dapat dibuat sebuah
batasan tari yakni: tari adalah hasil karya kreatif
manusia yang diwujudkan melalui gerak tubuh manusia,
disusun secara artistik dengan memperhatikan kaidah-kaidah
keindahan di dalam ruang berdasarkan ritme
tertentu dan mengandung pesan atau makna tertentu
baik secara tersurat maupun tersirat. Itulah yang dikenali
sebagai tari oleh masyarakat pendukungnya. Artinya,
dalam hal ini tari dipandang sebagai sebuah seni pertunjukan
yang ditonton oleh masyarakat pendukungnya.
Dengan demikian, dalam hal ini
kesenian dipandang sebagai
salah sebuah unsur kebudayaan. Secara umum orang
sering menyatakan bahwa kesenian adalah ekspresi
jiwa manusia akan keindahan. Sebenarnya tidak semua
karya seni dapat dikatakan demikian, karena ada karya
seni yang lebih mengutamakan pesan budaya yang mengandung
nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan.
Hal ini berarti masyarakat yang bersangkutan
bermaksud menjawab atau menginterpretasikan
permasalahan kehidupan sosialnya, mendambakan
kemakmuran, kebahagiaan dan rasa aman,
serta rasa kecewa dan sedih, dalam bentuk karya seni;
sehingga karya seni itu sarat dengan berbagai makna
yang tersirat di belakang obyek tadi; yang acapkali
bersifat simbolis. Itulah beberapa hal yang seyogyanya
kita perhatikan manakala hendak memahami seni
tari dalam konteks kebudayaan dan masyarakat pendukungnya.
Sekarang marilah kita tilik bersama bagaimana
dan sampai sejauh mana perkembangan tari di
Indonesia kini.
Salah satu tulisan yang memberikan
ilustrasi yang paling baik
dari guna sejarah tari dalam menambah pemberian
klarifikasi konsep antropologi dalam perubahan
social budaya adalah studi banding yang dilakukan
Kealiinohomoku atas tarian Bali dan Hawaii.
Karena tari adalah bagian dari
kebudayaan, tari merupakan
subjek yang memiliki kekuatan yang serupa dalam
perubahan seperti pada aspek kebudayaan yang lain.
Tari mungkin berubah dalam bentuk, fungsi, atu kedua-duanya,
dan perubahan dalam wilayah initerjadi secara
bebas. Apakah ayunan gerak perubahan itu terjadi dalam
suatu gaya tari secara khusus, kita bias mempelajarinya.
Tentang tarian ini bentuk dasarnya ada sekitar
pertengahan abad ke Sembilan belas. Bahkan
kemudian, hal ini menunjukkan dengan jelas adanya elemen-elemen asing seperti misalnya
modifikasi walz dan
fandango . Kita bisa menetapkan delapan ciri yang kiranya
bisa merupakan potensi daya hidup tari. Adanya
keluwesan dalam pengertian penyajiannya yang lebih
dari satu fungsi.
Adanya keluwesan dalam
pengertiantidak terikat secara eksklusif
dalam suatu institusi apapun. Adanya
keluwesan dalam pengertian tidak terbatas pada sekelompok
elit tertentu berkenaan dengan pertunjukan atau
penontonnya.
Adanya sejumlah kaitan dengan
aspek-aspek kebudayaan yang
lain.
Adanya struktur yang membolehkan
adanya improvisasi dan
modifikasi.
Memiliki cirri menghibur atau
memiliki pasaran secara potensial.
Memiliki potensi untuk
menggarisbawahi identitas dalam situasi
kontak dengan budaya lain.
Memiliki kemampuan untuk merubah
dari suatu bentuk tari
yang menghibur menjadi tarian yang bersifat resmi atau sebaliknya.
C.
Masa
Kerajaan
Masa kerajaan ini ditandai oleh
masuknya pengaruh luar sebagai unsur asing antara
lain, kebudayaan Cina, Hindu-Budha, Islam, dan
Barat. Kebudayaan Cina kurang mendapat
perhatian oleh para peneliti,
karena kemungkinan dasar kepercayaan yang hampir
sama dengan masyarakat pribumi, yaitu percaya kepada
roh-roh leluhur, sehingga kurang begitu nyata pada
perubahan sistem kemasyarakatannya.
Barangkali pula karena nenek moyang
yang menghuni Indonesia oleh para pakar
kebudayaan dikatakan
imigran dari daratan Asia yaitu wilayah Cina bagian
Selatan. Maka pengaruh budaya Cina ini berbeda dengan
pengaruh asing lainnya terutama pengaruh Hindu,
Islam, dan Barat. Pengaruh ini sangat nyata pada stratifikasi
sosial yang hirarkis yang ditandai dengan adanya
sistem kelas sosial, yaitu masyarakat adat atau rakyat
dan masyarakat bangsawan atau istana. Sistem ini cukup
langgeng dari awal berdirinya kerajaan-kerajaan pada
sekitar abad ke-4 sampai awal abad ke-20. Dengan adanya
dua kelas sosial ini maka muncul dua wajah tari yang
disebut tari rakyat dan tari istana atau tari klasik.
Tarian yang terkenal ciptaan para
raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk teater
tari seperti wayang wong dan
bedhaya ketawang. Dua tarian ini merupakan
pusaka raja Jawa. Namun selanjutnya wayang
wong lebih berkembang di keraton Yogyakarta, sedangkan
bedhaya ketawang berkembang di keratin Surakarta.
Jika ditinjau dari latar belakang sejarahnya, maka
teater tari ini telah hidup sejak abad ke-9 jaman Mataram
Kuno, dengan perbedaan nama seperti Wayang Wang,
Atapukan, Raket, Patapelan, dan Wayang Topeng sampai
Wayang Wong.
Yang dimaksud Wayang Wong adalah
teater tari yang mengambil
sumber ceritera wayang seperti Ramayana,
dan Mahabarata yang biasanya dipentaskan dalam
pertunjukan wayang kulit. Dalam teater ini ditampilkan
oleh manusia sebagai personifikasi boneka wayang,
sedangkan Wayang Topeng adalah teater tari yang
penarinya menggunakan penutup muka yang disebut
topeng. Teater tari ini tersebar di Jawa, Bali, dan Madura. Puncak kemegahan teater tari
Wayang Wong di Jawa terjadi
pada masa pemerintahan Hamengku Buwono
VIII (1939) di Yogyakarta.
Sedangkan Bedhaya Ketawang adalah
tarian yang dicipta oleh raja Mataram ketiga,
Sultan Agung (1613-1646)
dengan berlatarbelakang mitos percintaan antara
raja Mataram pertama (Panembahan Senopati) dengan
Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia). Tarian ini
ditampilkan oleh Sembilan penari
wanita.
Masuknya pengaruh Islam di Jawa
cukup lentur, para penyebar
agama telah dipercaya sebagai pengembang
kesenian. Wayang topeng tidak berkembang
lagi di istana Jawa, tetapi teater ini telah dipergunakan
oleh kaum missionari Islam (para wali) pada
masa lalu untuk menyebarkan agama dengan cara pentas
keliling. Jalur perniagaan melalui daerah pantai merupakan
wilayah para penyebaran teater wayang topeng,
sehingga teater tari ini akhirnya menjadi seni yang
berkembang di sepanjang pantai utara Jawa antara lain,
Malang, Tegal, Cirebon dan Indramayu.
Pengaruh kebudayaan barat dalam
bidang tari di istana-istana
Jawa berhubungan dengan lepasnya kekuasaan
politik raja kepada pihak Barat, sehingga
sejak abad ke-18 sampai awal abad ke-20 keraton
hanya berperan dalam pengembangan kebudayaan.
Oleh karena itu berkembang
pula ciptaan-ciptaan tari seperti tari srimpi
(tarian yang ditampilkan oleh empat orang penari wanita).
Pertunjukan Wayang Wong masih dipentaskan sangat
meriah sesuai dengan fungsinya sebagai ritual kenegaraan.
Di sisi lain, pengaruh Barat ini menyebabkan munculnya
tarian di luar konteks adat. Secara koreografis pengaruh
Barat kurang dapat dilihat dalam tarian Indonesia.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan bidang musik.
Bentuk musik hasil sinkretis antara musik rakyat Indonesia
dengan pengaruh Barat terdapat pada gambang
keromong, tanjidor, langgam jawa, keroncong, dangdut,
dan sebagainya. Bahkan alat musik barat seperti
trombon masuk pada ansambel gamelan Jawa yang
biasa dipergunakan untuk mengiringi tarian. Akan tetapi
pengaruh Barat yang terlihat pada tarian terletak pada
penggunaan properti tari. Senjata berupa pistol dipergunakan
sebagai properti tari srimpi. Pengaruh Barat
terlihat juga pada busana Topeng Cirebon yaitu pemakaian
dasi.
Di Bali pengaruh Barat terwujud
oleh gagasan teater dari
Walter Spies (pelukis asal Jerman yang hidup di
Bali sejak tahun 1929) untuk tujuan tontonan orang asing. Gagasan ini teraktualisasikan
dalam pertunjukan Barong
dan Rangda yang dipadu dengan tari keris serta Cak
atau Kecak (Soedarsono, 1985). Salah satu gagasan teater dari Barat adalah berkembangnya
tari dalam konteks non-adat
berupa bentuk-bentuk penyajian teater yang
memberi tekanan besar pada unsur penceriteraan dalam
bentuk total art, dimana tari menjadi salah satu unsur
kuatnya, contohnya: randai di Minangkabau, Wayang
Wong dan Langendriya-Langen Wanara dari Jawa,
Legong dan Kecak dari Bali. Kenyataan ini mungkin
untuk menjadikan teater lebih berkomunikasi dengan
penontonnya melalui bahasa gerak.
Budaya tradisional yang diwariskan
oleh nenek moyang kita tak
akan pernah lekang dimakan waktu. Seni tari
tradisi, seni musik tradisi, seni teater tradisi, tidak berubah. tapi seiring perkembangan jaman
seni tradisi sedikit demi
sedikit mulai ditinggalkan oleh masyarakat pemiliknya
, mereka mulai berpaling dengan budaya barat yang
sedikit-demi sedikit mulai berpengaruh di negeri ini, dengan didukung pula oleh perkembangan teknologi
dan informasi, sehingga siapapun dapat
dengan mudah menerima
informasi-informasi dari luar, terutama budaya dari
luar yang lagi ngepop akan mudah masuk terutama pada
dunia anak remaja yang sedang mencari jati dirinya.anak-anak
muda dan anak remaja sekarang bahkan
lebih bangga dengan budaya-budaya barat tersebut.
Mereka beranggapan bahwa budaya tradisional kita
terutama TARI itu kuno dan Jadul. Sungguh sangat ironois
jika putra bangsa ini baru mengetahui "Tari pendet"
ketika tarian itu di klaim oleh negara tetangga.
D.
Prospek
Tari di Indonesia
Secara administratif pemerintahan
Indonesia terbagi atas 26
propinsi. Namun demikian, sebagai wilayah
budaya masing-masing propinsi dapat memiliki
kesenian dari berbagai etnik maupun sub-etnik yang jumlahnya bukan saja puluhan tetapi
ratusan.
Di dalam kelompok etnik maupuan
sub-etnik dapat ditemukan
beragam jenis tarian. Tari-tarian ini mempunyai
latar belakang sejarah, peranan dan perkembangan
kebudayaan yang berbeda. Dalam proses perkembangannya
di masa kini, terutama semenjak kemerdekaan
Indonesia ada jenis tari-tarian yang dapat mencapai
tingkat dan bobot artistik yang tinggi yang dapat
dianggap klasik maupun kontemporer. Namun demikian
tidak sedikit yang berada di ambang kepunahan dan
masih tertinggal sisa-sisanya yang sebagai seni pertunjukan
tidak berarti lagi atau telah menjadi hiburan ringan,
bahkan ada pula yang hidupnya menempel dan tergantung
pada aspek kehidupan lain.
Kemerdekaan bangsa Indonesia pada
tahun 1945 dan perjuangan
kebangsaan pada masa pergerakan nasional,
telah membawa nafas baru pada tari Indonesia. Hal
itu muncul melalui suatu kesadaran nasional untuk menghidupkan
tari-tarian Indonesia yang bersumber pada
berbagai budaya daerah.
Sejak kemerdekaan Indonesia, seni
tari tradisional sebagai
budaya daerah menjadi bagian dari kebudayaan nasional
yang memperkuat identitas bangsa Indonesia. Sehubungan
dengan hal itu banyak tari daerah yang hampir
punah diangkat kembali melalui program revitalisasi,
rehabilitasi dan akhirnya dipreservasi sebagai khasanah
budaya Indonesia. Dalam hal ini pusat-pusat kesenian
daerah amat sangat diharapkan peran sertanya untuk
memacu dan memberikan suasana yang kondusif bagi
tumbuh dan berkembangnya tari-tarian daerah.
Sudah sejak lama bangsa Indonesia
mempunyai kesadaran baru
akan suatu kebutuhan terhadap sejenis tarian
yang dapat memiliki ciri nasional dan tidak lagi dapat
dikategorikan sebagai tari daerah atau tari suku-bangsa tertentu, tapi suatu
tari bangsa Indonesia. Pemikiran
ini sejalan dengan apa yang terjadi di bidang sastra,
bahasa dan lain-lain, di mana kebutuhan kesatuan dan
persatuan merupakan masalah yang nyata. Namun demikian
kebutuhan yang menyangkut kepentingan tari tidak
semudah bidang lainnya. Secara intrinsik tari memiliki
kaidahnya tersendiri yang proses pemecahannya sedemikian
rupa sehingga memerlukan seperangat permasalahan
teknis tersendiri apabila mau dikembangkan
ke arah itu.
Dengan demikian apabila kesenian
Indonesia, khususnya seni
tari ingin terangkat sebagai khasanah bangsa
secara menyeluruh maka ia memerlukan sistem
pembinaan secara tersendiri. Pembinaan yang memacu kepada sistem kesenian nasional
Indonesia mulai dikembangkan
melalui sarana pendidikan formal yang sifatnya
kejuruan pada bidang seni tari itu sendiri. Hal ini sudah dilaksanakan melalui pendidikan
seni tari di sekolah formal
dalam tingkatan menengah, tinggi maupun
yang tersebar melalui sanggar dan perkumpulan seni
tari. Pada dasarnya memang tari tradisional yang menjadi
titik tolak pembinaan. Akan tetapi melalui pembinaan
kreativitas dan komposisi serta koreografi, konsepsi
nasional dapat tertampung dalam pengembangan
tari sebagai seni pertunjukan Indonesia. Selebihnya
pembinaan seni tari melalui kegiatan festival, pekan
kesenian di tingkat lokal dan nasional membawa serta
kepentingan akan pemahaman kesatuan dan persatuan.
Pada mulanya jenis kreasi tari sedemikian masih
dikategorikan sebagai tari modern, tari kontemporer
atau dengan istilah lebih lunak tari kreasi baru.
Aspirasi nasional semakin terasa dan sudah mulai terlihat
bentuknya melalui seni tari ini. Sering kali unsure etnik atau kedaerahan masih terasa dan
masih kuat muatan lokalnya,
tapi nafas baru sebagai khasanah nasional
lebih terasa daripada kelokalannya atau keetnikannya.
Permasalahannya kemudian menjadi masalah teknis artistik, di mana
kesenimanan nasional pada
dasarnya juga memerlukan pendidikan dan pembinaan
secara tersendiri. Hal ini juga diperkuat ketika seniman
tari Indonesia mengikuti berbagai peristiwa internasional
dan pengalaman tersebut menjadi bekal dalam
berkarya selanjutnya.
Prospek tari di Indonesia adalah
suatu proses pengangkatan
berbagai aspek warisan budaya menuju makna
kekinian yang nasional, regional maupun universal
dan global untuk dapat disumbangkan sebagai khasanah kebudayaan umat manusia yang lintas
budaya dan batas geografi.
Bhineka Tunggal Ika dalam seni tari sudah mulai
terungkap; tidak saja dalam konteks nasional juga di
dalam pergaulan internasional, di mana multikulturalisme
dan pluralisme dalam berkesenian justru
merupakan suatu kekuatan yang menyatu berbagai
kepentingan kesenian di dunia dalam memupuk sikap
saling mengerti dan saling menghargai antar kehidupan
berbangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya