1.
Affandi Koesoema
Affandi
Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990)
adalah seorang pelukis yang
dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia,
mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat
gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada
tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa,
dan Amerika Serikat. Pelukis yang
produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.
Biografi
Affandi
dilahirkan di Cirebon pada
tahun 1907,
putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon.
Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang
cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO,
dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk
pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun,
bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam
kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau
pemuka bidang lainnya.
Pada
umur 26 tahun, pada tahun 1933,
Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor.
Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat
ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum
mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai
tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung
bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik
pada bidang seni lukis.
Sekitar
tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung,
yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso,
dan Wahdi serta
Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini
memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia.
Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi)
pada tahun 1938,
melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama
pelukis.
Pada
tahun 1943,
Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang
saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat
Serangkai—yang terdiri dari Ir. Soekarno,
Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur—memimpin
Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam
Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana
dan S. Soedjojono sebagai
penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Poster
propaganda Boeng, ajo, Boeng! karya Affandi, 1945
Ketika
republik ini diproklamasikan 1945,
banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi
antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup
pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni1945.
Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster yang merupakan
ide Soekarno itu
menggambarkan seseorang yang dirantai tetapi rantainya sudah putus. Yang
dijadikan model adalah pelukis Dullah.
Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan
usulan dari penyair Chairil Anwar.
Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat
melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam
kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis
di Santiniketan, India,
suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di
India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan
pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya
digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang
dari India, Eropa,
pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKIuntuk mewakili
orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante.
Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe
Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang
tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman
pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi
ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan
(mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak
sebelum revolusi.
Topik
yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan
dan dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis
rendah hati yang masih dekat dengan flora, fauna,
dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi mempersoalkan
'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup
masih sangat rendah.
Affandi
juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim
Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk
Ngantung, dan sebagainya.
Pada
tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup
gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'.
Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan
untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika
sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi
yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi
persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra,
tetapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu
dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Meski
sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe
bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila
memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak,
seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun,
Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang
itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang
tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
(Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh
seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang
digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi
tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum
sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Affandi Dan Melukis
Potret
diri Affandi diabadikan dalam perangko Indonesia seri Seniman Indonesia tahun
1997
Semasa
hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya
yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika
maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih
gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam
mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari
tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah
warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Dalam
perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of
Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran
ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit
dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni
lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang
menambah daya tariknya.
Kesederhanaan
cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri
ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi
Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme.
Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan
hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia
dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang
kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan,
dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau,
julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena
kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang
maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata
ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis
yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia
tidak overacting.
Misalnya
jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia
menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak
pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi
Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada
kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang
gambar.
Lebih
jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk
disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan
keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai
ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis.
Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari
museum yang didirikannya itu.
Museum Affandi
Museum
yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu
dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan
Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala
keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang
menjadi tempat tinggalnya.
Saat
ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi,
dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang
dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan
mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan
galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik,
dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di
dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997,
saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang
dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus
Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus
Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali
Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan
lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.
Affandi Di Mata Dunia
Affandi
memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar
lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan
lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya,
para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan
membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia
bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang
menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italiadia
telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai
penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang
hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada
tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld.
Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San
Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Asasi
Manusia.
Dari
dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di
antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugerahkan
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat
menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta.
Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah
menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul "Kepada
Pelukis Affandi".
Untuk
mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis,
Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia
telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai
negara di Eropa, Amerika serta Australia.
Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris,
dan Roma.
Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brasil, Venezia, San Paulo,
dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di
berbagai belahan dunia. Bahkan kurator terkenal
asal Magelang, Oei Hong Djien,
pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de Janeiro.
Pameran
Museum
of Modern Art (Rio de Janeiro, Brasil, 1966)
East-West
Center (Honolulu, 1988)
Festival
of Indonesia (AS, 1990-1992)
Gate
Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
Singapore
Art Museum (1994)
Centre
for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
Indonesia-Japan
Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
ASEAN
Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
Pameran
keliling di berbagai kota di India.
Pameran
di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma
Pameran
di benua Amerika al: Brasilia, Venezia, SĂŁo Paulo, Amerika Serikat
Pameran
di Australia
Affandi
Alive di Museum Lippo Plaza Jogja
Buku
tentang Affandi
Buku
kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjöld, 1976,
189 halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Prancis,
dan Indonesia.
Ajip Rosidi, Zaini, Sudarmadji, Affandi
70 Tahun, Dewan Kesenian Jakarta, 1978.
Diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun ketujuh puluh.
Raka Sumichan dan Umar Kayam,
buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987,
222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi, dalam dua
bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Indonesia.
2.
Abdullah
Suriosubroto (1878-1941)
Abdullah
Suriosubroto lahir di Semarang pada tahun 1878. Ia adalah anak angkat dari Dr.
Wahidin Sudirohusodo, seorang Tokoh Gerakan Nasional Indonesia. Ia dikenal
sebagai pelukis Indonesia pertama pada abad 20.
Pada
mulanya Abdullah mengikuti jejak ayah angkatnya untuk masuk ke sekolah
kedokteran di Jakarta. Setelah lulus dari Jakarta ia meneruskan kuliahnya di
belanda. Setelah menetap disana, entah mengapa Abdullah tiba-tiba banting setir
ke seni lukis dan masuk sekolah seni rupa.
Sepulangnya
di Indonesia Abdullah konsisten menggeluti profesinya sebagai pelukis. Ia
sangat menyukai pemandangan, dimana ia sering menuangkan ke dalam lukisannya.
Keputusan
yang diambilnya sewaktu muda tidaklah sia-sia, berkat karya yang dihasilkannya
ia dimasukkan dalam aliran yang dijuluki “Mooi Indie” atau Hindia Indah.
Abdullah
Suriosubroto sering dibicarakan melalu karya-karya lukis cat minyaknya sebagai
hasil memandang alam dari jarak jauh dan bersifat romantik.
Salah
satu pelukis terkenal Indonesia ini lebih banyak menghabiskan waktunya di
bandung agar dekat dengan pemandangan alam, sebelum akhirnya pindah ke
Yogyakarta dan meninggal pada tahun 1941.
3.
Affandi
Koesoema (1907-1990)
Diantara
para maestro dan legenda pelukis terkenal Indonesia, mungkin Affandi lah yang
menggunakan teknik lukis paling aneh. Ia melukis tidak
menggunakan kuas.
Proses
awal yang ia lakukan adalah menumpahkan cat-cat berwarna ke dalam kanvas, jika
dilihat mungkin akan memberi kesan yang amburadul. Namun setelah itu Affandi
akan menyikat warna-warna cat tersebut dengan jarinya hingga tahap finishing
dengan hasil yang menawan.
Affandi
Koesoema termasuk seniman yang berumur panjang. Ia lahir di Cirebon pada tahun
1907 dan meninggal pada tahun 1990.
Affandi
digadang-gadang sebagai pelukis Indonesia yang paling terkenal di kancah dunia,
berkat gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-an ia
banyak mengadakan pameran tunggal di Amerika Serikat, Inggris, India dan Eropa.
Ia
juga dikenal sebagai sosok yang sederhana dan rendah hati. Pernah pada suatu
ketika, kritisi lukisan dari Barat menanyakan apa gerangan aliran-aliran
lukisannya. Tanpa disangka ia malah balik bertanya dan meminta kritikus Barat
tersebut untuk menjelaskan perihal aliran-aliran yang ada dalam lukisan.
Namun,
banyak orang yang menilainya jenius. Karena semasa hidupnya Affandi telah
menghasilkan karya lebih dari 2000.
4.
Agus
Djaya (1913-1994)
Pelukis
terkenal Indonesia ini lahir dari keluarga Bangsawan Banten pada tanggal 1
April 1913 dengan nama asli Raden Agus Djaja Suminta.
Dengan
latar belakang tersebut, tak heran ia mendapatkan pendidikan yang baik. Setelah
menamatkan pendidikan di Indonesia, Agus Djaja melanjutkan belajar di Akademi
Rijks (Academy of Fine Art) Amsterdam, Belanda.
Selama
berada di Eropa, ia sempat berkenalan dengan beberapa seniman besar dunia,
diantaranya Pablo Picasso, Salvador Dali termasuk Ossip Zadkine, pematung
Polandia yang terkenal.
Sekembalinya
ke Indonesia Agus Djaja mendirikan Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia)
sekaligus memimpinnya pada tahun 1938-1942 yang merupakan organisasi pertama
seniman senirupa di Indonesia. Oleh sebab itu, Agus Djaja dinyatakan sebagai
salah seorang cikal bakal seni lukis Indonesia.
Setelah
itu, ia direkomendasikan oleh Bung Karno untuk menjadi Ketua Pusat Kebudayaan
Bagian Senirupa pada tahun 1942-1945.
Selain
menjadi pelukis, pada jaman revolusi kemerdekaan Agus Djaja aktif sebagai
Kolonel Intel dan F.P (persiapan lapangan). Ia absen untuk tidak mengadakan
pameran tunggal hampir selama 40 tahun karena peran dan kondisi bangsa pada
saat itu.
Setelah
jaman revolusi telah usai, April pada tahun 1976 ia mengadakan pameran tunggal
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lebih dari 70 lukisan dipajangnya. Agus Djaja
mempunyai ciri khas dengan warna biru dan merah yang terkesan memberi nuansa
magis. Ia juga sering menuangkan objek wayang dalam setiap karyanya.
Setelah
lama malang melintang di Ibukota, akhirnya Agus Djaja memutuskan untuk pindah
Bali. Di sana ia mendirikan galeri impian di tepi pantai Kuta.
5.
Barli
Sasmitawinata (1921-2007)
Barli
Sasmitawinata merupakan seorang maestro seni lukis realis kebanggaan Indonesia.
Ia lahir di Bandung pada 18 Maret 1921 dan meninggal di Bandung 8 Februari
2007.
Barli
mulai menggeluti dunia seni lukis di tahun 1935, saat kakak iparnya memintanya
belajar melukis di studio milik Jos Pluimentz, pelukis asal Belgia yang sempat
tinggal di Bandung.
Belum
puas mendapatkan ilmu dari Jos Pluimentz, ia kemudian belajar pada Luigi
Nobili, pelukis asal Italia. Di studio ini Barli mulai berkenalan dengan
Affandi.
Perkenalan
tersebut tidaklah menjadi angin lalu. Bersama Affandi, Hendra Gunawan, Soedarso
dan Wahdi Sumanta. Barli Sasmitawinata mendirikan “kelompok Lima Bandung”. Kelompok
ini menjadikan hubungan mereka layaknya saudara. Kalau ada event melukis,
mereka selalu bersama-sama.
Hebatnya
seorang Barli Sasmitawinata, ia tetap haus akan ilmu meskipun sudah memiliki
ketenaran nama. Pada tahun 1950, ia melanjutkan pendidikannya di Academie de la
Grande Chaumiere Paris, Perancis. Disusul di Rijksakademie van beeldende
kunsten Amsterdam, Belanda pada tahun 1956.
Barli
juga dikenal sebagai pelukis terkenal Indonesia yang mementingkan pendidikan
seni, untuk itu sepulang dari Belanda ia mendirikan Rangga Gempol di Dago,
Bandung pada tahun 1958.
Demi
mengapresiasi sepak terjangnya yang panjang dalam hal seni lukis, pemerintah
melalui presiden memberikan penghargaan Satyalancana kepada Barli Sasmitawinata
pada tahun 2000.
6.
Basuki
Abdullah (1915-1993)
Basuki
Abdullah merupakan pelukis potret yang terkenal di dunia. Ia lahir di
Surakarta, 25 januari 1915 dan meninggal pada 5 November 1993.
Pelukis
terkenal indonesia yang beraliran realis dan naturalis ini pernah diangkat
menjadi pelukis Istana Kerajaan Thailand pada tahun 1960-an dan pelukis resmi
Istana Merdeka pada tahun 1974.
Lebih
dari itu, obsesinya yang mengejar kemiripan wajah dan bentuk membuat Basuki
Abdullah disukai orang-orang kalangan atas. Berbagai negarawan dan istri mereka
berlomba meminta agar dilukis olehnya, seperti Bung karno, Pangeran Philip dari
Inggris, Pangeran Bernard dari Belanda, Sultan Brunei sampai kaum jetset
seperti Nyonya Ratna Sari Dewi.
Bakat
melukis Basuki Abdullah terwarisi dari jiwa seni ayahnya, Abdullah Suriosubroto
yang juga sebagai pelukis.
Basuki
Abdullah memulai pendidikannya di HIS Katolik dan Mulo Katolik Solo, Jawa
Tengah. Kemudian ia mendapatkan beasiswa pada tahun 1933 untuk belajar di
Academie Voor Beeldende Kunsten Den Haag, Belanda.
Ia
juga merupakan salah satu pelukis Indonesia yang mengharumkan nama bangsa,
karena pada 6 September 1948, sewaktu penobatan Ratu Yuliana di Belanda Basuki
berhasil mengalahkan 87 pelukis kaliber internasional dalam sebuah sayembara
yang diadakan di Amsterdam.
Selain
di Indonesia, ia sering menyelenggarakan pameran tunggal di luar negeri,
seperti Thailand, Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris dan Negara-negara lainnya.
Bahkan tidak kurang dari 22 negera di dunia mengoleksi karyanya.
7.
Delsy
Syamsumar (1935-2001)
Multitalenta,
kata itu sangatlah pantas untuk menggambarkan sosok pelukis terkenal
Indonesia yang bernama Delsy Syamsumar. Ya, seniman yang digadang-gadang
sebagai yang terbaik se Asia Tenggara ini tidak hanya memiliki bakat melukis
saja, namun juga dikenal sebagai komikus, ilustrator, desainer dan lain
sebagainya.
Hal
ini terbukti saat ia berhasil memenangkan penghargaan Art Director terbaik di
Asia lewat film yang berjudul “Holiday in Bali” dengan sutradara H. Usman
Ismail dalam sebuah Festival Film di Tokyo pada tahun 1962.
Dalam
jagad seni lukis, ia bukanlah orang sembarangan. Kerja keras, kedisiplinan dan
ketekunannya menghasilkan karya bernilai tinggi yang bisa membuat banyak orang
terpukau. Bahkan menjadikan Delsy Syamsumar sebagai satu-satunya pelukis
Indonesia yang diberi predikat Litteratures Contemporaines L’
Azie du Sud Est dan II’exellent dessinateur oleh Lembaga Seni
dan Sejarah Perancis melalui buku literatur seni dunia yang fenomenal, France Art Journal 1974.
Delsy
Syamsumar lahir di Medan pada tanggal 7 Mei 1935. Bakat seni yang beraliran
Neo-Klasik ini sudah malai terlihat saat ia masih berusia 5 tahun. Beruntung ia
bertemu dengan Wakidi, seorang pelukis ulung pada era Orde Lama. Dari pertemuan
itulah Delsy Syamsumar memperdalam ilmu lukis sekaligus terus mengasah bakat
yang dimilikinya.
Pernah
suatu ketika dalam suatu pameran, buah karyanya dicatat sebagai lukisan
termahal bersamaan dengan pelukis kondang lainnya seperti Affandi dan Basuki
Abdullah. Hal tersebut mengukuhkan Delsy Syamsumar tidak hanya sebagai pelukis
terkenal Indonesia namun juga sebagai salah satu legenda yang ada.
Delsy
Syamsumar meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 2001 di Jakarta pada usia 66
tahun. Dan dengan demikian ia meninggalkan 9 orang anak yang sudah dikaruniakan
Tuhan kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya