Hikayat Abdullah Agustus 2, 1986
AGUSTUS adalah bulan Asia Tenggara, dan kita layak
mengenang seorang yang lahir di Malaka, jadi termasyhur sejak di Singapura, dan
dikenal sehagai salah seorang pelopor sampai ke Indonesia. Orang itu adalah
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi.
Kita tahu, orang ini, satu setengah abad yang lalu,
menuliskan Hikayat Abdullah. Tapi karya ini bukan otobiografi biasa. Hikayat
Abdullah, yang rampung ditulis pertengahan 1840-an, bukan cuma sebuah soal
kesusastraan.
A.H. Hill, yang menerjemahkan karya besar Abdullah bin
Abdulkadir itu ke dalam bahasa Inggris sekitar 30 tahun yang silam, menegaskan
bahwa Abdullah-lah orang pertama yang memperkenalkan realisme ke dalam
penulisan Melayu. Pelbagai kejadian, dalam Hikayat Abdullah, tampil sebagai
kejadian faktual. Buku itu bukan rangkaian dongeng.
Dalam hal itu Ahdullah memang bisa disebut sebagai
reporter pertama. Ketika api memusnahkah Market Street, di selatan Sungai
Singapura, di Hari Raya Tmlek 1830, rumah Abdullah juga ikut terbakar. Tapi
yang dilakukan Abdullah ialah lari ke sana
kemari, dengan pensil dan kertas di tangan, mencacat apa saja yang disaksikan.
kemari, dengan pensil dan kertas di tangan, mencacat apa saja yang disaksikan.
Tentu saja, waktu itu, ia tak tahu buat apa catatan
itu. Tapi agaknya bukan soal kegunaan yang mendorong orang seperti ini: Abdullah
hanya menginginkan kebenaran sebagai sesuatu yang didukung pengalaman empiris.
Dan itu berarti mengecek pelbagai hal dengan kesaksian “mata dan kepala”
sendiri.
Itu pula yang mendorongnya menempuh sebuah perjalanan
yang berbahaya, menyamar sebagai pengemis, memasuki tempat pertemuan serikat
Thian Tai Huey. Ia pernah mendengar desas-desus tentang organisasi gelap ini,
yang mengerahkan pelbagai perampokan ke wilayah-wilayah permukiman di
Singapura. Dan benar: di sebuah hutan di pedalaman, ia menyaksikan sendiri —
dengan risiko terhunuh — bagaimana serikat rahasia ini menyumpah para
anggotanya yang baru dan menyiksa mereka yang menentang. Abdullah kemudian
melaporkan kesaksiannya ke Residen Crawfurd. Tapi motifnya bukanlah untuk jadi
mata-mata. Motifnya hanya sebuah rasa ingin tahu.
Antara lain berkat itulah ia tak tumbuh dalam
tempurung purbasangka — atau hentuk purbasangka yang lain: takhayul. Dengan
setengah ketakutan, misalnya, ia mencoha pengobatan cara Barat: ia membiarkan
diri dioperasi oleh seorang dokter Pasukan India, yang kebetulan singgah di
Singapura. Abdullah, dalam hidupnya, memang sempat menyaksikan sendiri pelbagai
kejutan teknologi dari Barat: kamera, kapal pengukur dalamnya laut, kapal api.
Tak heran bila ia kemudian menampilkan diri sebagai seorang
“modernis”, dalam bentuknya yang paling awal. Ia menangkis kecenderungan
orang-orang Melayu untuk hanya berpegang kepada apa yang diketahui nenek moyang
mereka. Sebaliknya, ia juga
dikecam: “akalnya menerima cara orang putih,” kata orang. Bahkan ayahnya melarangnya belajar berbahasa Inggris. Kemudian, Abdullah melanggar larangan itu. Dan tak cuma itu ia juga membantu kaum misionaris menerjemahkan Injil.
dikecam: “akalnya menerima cara orang putih,” kata orang. Bahkan ayahnya melarangnya belajar berbahasa Inggris. Kemudian, Abdullah melanggar larangan itu. Dan tak cuma itu ia juga membantu kaum misionaris menerjemahkan Injil.
Yang menakjubkan ialah, bahwa dalam Hikayat Abdullah,
tak tampak ada pergolakan batin yang gemuruh dan menguncangkan, sebelum
tersusunnya sikap seperti itu. Padahal, Abdullah dibesarkan, dan kemudian
dikenal dan akhirnya meninggal, sebagai wakil dari tradisi yang bukan Barat.
Hari-hari masa kanaknya diisi dengan inspeksi yang ketat dari ayahnya, pembacaan
quran, dan pemahaman bahasa Arab. Hikayat Abdullah sendiri, terutama dalam
mengecam peri laku raja-raja Melayu, menggunakan referensi Islam. Di sana-sini
Abdullah juga menyelipkan pantun, petuah, peribahasa. Dan sang pengarang, yang
digelari munsy (guru bahasa) pada usia muda, oleh para tentara India Muslim
yang
diajarinya soal agama, di ujung hayatnya berada di Jeddah, dalam perjalanan haji.
diajarinya soal agama, di ujung hayatnya berada di Jeddah, dalam perjalanan haji.
Barangkali memang Abdullah adalah tanda pertama zaman
ini: ketika pengaruh asing hisa bergabung dengan pegangan yang dibawa dari
rumah, dalam suatu proses yang tak saling menyobek. Abdullah sendiri, yang
penuh semangat untuk bahasa Melayu, lahir dari ayah Arab dan ibu Tamil — suatu
indikator Asia Tenggara yang baru, di mana asal-usul ras tak menentukan
kesetiaan kepada budaya setempat.
Dan ia juga sebuah petunjuk lain abad ke-20, ketika ia
memuji cara Lord Minto dan penguasa Inggris memperlakukan para hukuman dan
ketika ia mengecam sikap sewenang-wenang para Sultan. Kini memang ada yang
menganggap Abdullah terlampau silau kepada para penjajah putih. Ia tampaknya
memang ia tak ikut merasakan kebencian orang setempat kepada bangsa asing itu.
Toh apa yang dipuji Hikayat Ablullah bukanlah hal-hal yang tak bisa kita puji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya