Perekonomian Indonesia Zaman
Soeharto Repelita 1-6
Pada maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan orde baru dan perhatian
lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi
dan sosial, dan juga pertumbuhan ekonomi
yang berdasarkan system ekonomi terbuka
sehingga dengan hasil yang baik membuat
kepercayaan pihak barat
terhadap prospek ekonomi Indonesia. Sebelum
rencana pembangunan melalui Repelita dimulai,
terlebih dahulu dilakukan pemulihan stabilitas
ekonomi, social, dan politik serta rehabilitasi
ekonomi di dalam negeri. Selain itu, pemerintah
juga menyusun Repelita secara bertahap
dengan target yang jelas, IGGI juga membantu
membiayai pembangunan ekonomi Indonesia.
Dampak Repelita terhadap
perekonomian Indonesia cukup
mengagumkan, terutama pada tingkat
makro, pembangunan berjalan sangat cepat dengan
laju pertumbuhan rata-rata pertahun yang relative
tinggi. Keberhasilan pembangunan ekonomi di
Indonesia pada dekade 1970-an disebabkan oleh kemampuan
kabinet yang dipimpin presiden dalam menyusun
rencana, strategi dan kebijakan ekonomi, tetapi
juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar
dari minyak tahun 1973 atau 1974, juga pinjaman
luar negeri dan peranan PMA terhadap proses
pembangunan ekonomi Indonesia semakin besar.
Akibat peningkatan pendapatan
masyarakat, perubahan
teknologi dan kebijakan Industrialisasi sejak
1980-an, ekonomi Indonesia mengalami perubahan
struktur dari Negara agrarsi ke Negara semi
industri.
1.
Repelita
I
TUJUAN: Untuk meningkatkan taraf
hidup rakyat dan sekaligus
meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan
yang menekankan pada bidang pertanian
untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam tahap
berikutnya .
SASARAN: pangan, sandang, perbaikan
prasarana, perumahan
rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani. Titik berat Pelita I adalah pembangunan
bidang pertanian sesuai dengan tujuan
untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui
proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari
hasil pertanian.
KEBIJAKAN :
1.
Memberikan bibit unggul kepada petani
dan melakukan beberapa eksperimen untuk mendapatkan bibit unggul yang tahan hama tersebut.
2.
Memperbaiki infrastuktur yang digunakan
oleh sektor pertanian seperti jalan raya,
sarana irigasi sawah dan pasar yang menjadi tempat dijualnya hasil pertanian.
3.
Melakukan transmigrasi agar lahan yang
berada di kalimantan, sulawesi, maluku dan
papua dapat diolah agar menjadi lahan yang mengahasilkan bagi perekonomian.
Sejarah
Singkat Repelita 1
REPELITA I ini merupakan lam- piran
dari Pidato Kenegaraan
Presiden Republik Indonesia di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada
tanggal 15 Agustus 1974.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
XLI/MPRS/1968 dibentuklah Kabinet Pemba- ngunan dengan
tugas pokok melaksanakan Panca Krida.
Dalam rangka melaksanakan krida
ke-2 dari Panca Krida
Kabinet Pembangunan, yaitu menyusun dan
melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun, maka Pemerintah menyusun suatu rencana pembangunan yang dituangkan
dalam Keputusan Presiden No. 319 tahun 1968
dan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun I
atau Repelita I.
Pelaksanaan Repelita I dimulai pada
1 April 1969 bertepatan
dengan dimulainya tahun anggaran baru1969/70,dan
dan berakhir pada 31 Maret 1974 bertepatan
dengan berakhirnya tahun anggaran 1973/74
Dengan demikian maka Repelita I meliputi tahun
anggaran 1969/70 sampai dengan tahun anggaran
1973/74.
Pelaksanaan Repelita I setiap
tahunnya dituangkan ke dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga pelaksanaan tahun demi tahun termasuk penyediaan biayanya terlebih dahulu
disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dalam bentuk Undang-undang.
2.
Repelita
II
TUJUAN : untuk meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan
seluruh rakyat dan meletakkan landasan
yang kuat untuk
tahap pembangunan berikutnya.
SASARAN : Pengembangan sektor
pertanian yang merupakan dasar
untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya
industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku. Selain itu sasaran Repelita
II ini juga perluasan lapangan kerja
KEBIJAKAN :
1.
Pemerataan kesempatan kerja.
2.
Pengembangan golongan ekonomi lemah dalam rangka pemerataan kesempatan berusaha.
3.
Pengembangan koperasi.
4.
Transmigrasi.
5.
Investasi Pemerintah yang dilaksanakan melalui anggaran pembangunan negara.
6.
Menerapkan prinsip anggaran berimbang.
7.
Pengadaan program padat karya
Sejarah
Singkat Repelita Ii
Laporan ini berisikan hasil
pelaksanaan pembangunan
selama lima tahun periode Repelita II yang berlangsung dari
tanggal 1 April 1974
sampai dengan tanggal 31 Maret 1979 dan merupakan
lampiran dari Pidato Kenegaraan Presiden
Republik Indonesia di depan Sidang Dewan
Perwakilan Rakyat pada tanggal 16 Agustus 1979.
Hasil pelaksanaan dari
masing-masing empat tahun
pertama Repelita II telah disampaikan sebagai
lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik
Indonesia setiap tanggal 16 Agustus. Laporan
kali ini tidak hanya melaporkan hasil pelaksanaan
selama tahun terakhir 1978/79, tetapi juga
mengenai keseluruhan hasil pelaksanaan selama
lima tahun dari tahun anggaran 1974/75 sampai
dengan tahun ang¬garan 1978/79.
Sesuai dengan GBHN maka tujuan
Repelita II adalah
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh
rakyat dan meletakkan landasan yang kuat untuk
tahap pembangunan Repelita III dan selanjutnya.
Di dalam mencapai tujuan tersebut Repelita
II melanjutkan usaha yang telah dijalankan
selama Repelita I. Di samping itu Repelita
II juga mulai menggarap secara lebih dalam
masalah-masalah yang sejak semula disadari belum
terpecahkan dalam Repelita I misalnya masalah
perluasan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha, pemerataan pendapatan dan hasil-hasil
pembangunan, masa¬lah pendidikan, kesehatan,
koperasi, transmigrasi dan lain-lain.
Segala usaha yang dijalankan selama
Repelita II ke arah tujuan
seperti tersebut di atas tetap dilaksanakan
secara bertahap, terpadu dan terus menerus
dan selalu berlandaskan pada Trilogi Pembangunan
yaitu pemerataan pembangunan menuju
terwujudnya keadilan sosial, pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi dan stabilitas nasional yang
sehat dan dinamis. Ketiga unsur Trilogi Pembangunan
ini tetap diusahakan di dalam suatu keseimbangan
yang serasi tanpa ada unsur yang dikorbankan.
Usaha ini selama Repelita II ternyata bukanlah
hal yang mudah oleh karena banyaknya tantangan-tantangan
yang dihadapi baik yang bersumber
dari luar negeri oleh karena berbagai krisis
ekonomi dunia maupun yang bersumber dari dalam
negeri seperti krisis keuangan Pertamina dan
hambatan-hambatan dalam produksi pangan.
Prestasi
Repelita I & Ii
1.
Pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun
2.
Investasi meningkat dari 11 persen
menjadi 24 persen dari PDB
selama 10 tahun
3.
Kontribusi tabungan meningkat dari 23
persen menjadi 55 persen • Sumber penghasilan
utama devisa adalah ekspor minyak bumi kurang
lebih 2/3 dari total penerimaan
4.
Inflasi rata-rata 17 persen
5.
Porsi pelunasan hutang 9,3 persen dan
11,8 persen dari pengeluaran kondisi Boom
minyak tahun 1973 dan 1978
6.
Kebijakan devaluasi rupiah dari Rp 415
menjadi Rp 625/$
KESIMPULAN : Dari hasil yang di
torehkan oleh program Repelita
1 dan 2 pemerintah dan masyarakat
Indonesia patut bangga karena hasil yang
di capai sudah lumayan memuaskan dibandingkan
tahun sebelum diadakannya program
ini.
3.
REPELITA III
Pada Repelita III prioritas utama pemerintahan dalam rencana pembangunan perekonomian indonesia terletak pada sector pertanian dimana sektor ini ditujukan
pada swasembada pangan. Selain itu juga
dilakukan peningkatan pada
sektor industri yang mengelola bahan
baku menjadi barang jadi. Kebijakan pembangunan
ini berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
pokok dan penyediaan lapangan kerja . Kewenangan
pengelolaan dana pembangunan disentralisasikan
oleh departemen / LPND teknis melalui
dokumen DIP dan desentralisasi oleh daerah
melalui dokumen SPABP. Untuk mekanisme penyaluran
dana pembangunan melalui sentarlisasi DIP
dan anggaran didaerahkan (SPABP). Adapun mekanisme
perencanaan pembangunan yaitu TOP DOWN
TRANSISI BOTTOM UP . Untuk arah kebijakan
program pembangunan pada masa ini yaitu
berarah ke pembangunan sektor .
Jadi dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 1979-1984 atau pada masa Repelita III
pemerintah memfokuskan
rencana pembangunan perekonomian
pada sektor pertanian yang menuju swasembada
pangan dan industri pengolahan bahan baku
menjadi barang jadi. Di awali pertumbuhan ekonomi
amat tinggi pada tahun 1980-1981 (1981: 11%)
dan kemudian merosot menjadi 2,2 persen pada
tahun 1982 . dan untuk mennagulangi resesi ekonomi
(kondisi ketika produk domestic bruto
(GDP) menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi
riil bernilai negatif selama dua
kuartal atau lebih dalam satu tahun) dengan program
deregulasi dan liberalisasi (1983-1988).
Pada
awal orde baru, strategi pembangunan di Indonesia
lebih diarahkan pada tindakan pembersihan
dan perbaikan kondisi ekonomi yang mendasar,
terutama usaha untuk menekan laju inflasi
yang sangat tinggi. Strategi-strategi tersebut kemudian
dipertegas dengan ditetapkannya sasaran-sasaran
dan titik berat setiap Repelita (REPELITA
atau Rencana Pembangunan Lima Tahun adalah
satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah
orde baru di Indonesia) yakni: Repelita
III (1 April 1979 hingga 31 Maret 1984) Titik
Berat Repelita III: Pada sektor pertanian menuju
swasembada pangan dan meningkatkan industri
yang mengolah bahan baku menjadi barang
selanjutnya. Menekankan bidang industry padat
karya untuk meningkatkan ekspor. Pertumbuhan
perekonomian periode ini dihambat oleh
resesi dunia yang belum juga berakhir.
Sementara itu nampak ada
kecendrungan harga minyak
yang semakin menurun khususnya pada tahun-tahun
terakhir Repelita III. Menghadapi ekonomi
dunia yang tidak menentu, usaha pemerintah
diarahkan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah, baik dari penggalakan ekspor
mapun pajak-pajak dalam negeri.
Dalam Repelita III unsur pemerataan
lebih ditekankan dengan tetap memperhatikan
"logi" lainnya
melalui kebijaksanaan delapan jalur pemerataan
yang intinya adalah:
1.
Pemerataan kebutuhan pokok rakyat ,
terutama pangan, sandang, dan perumahan.
2.
Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan.
3.
Pemerataan pembagian pendapatan.
4.
Pemerataan perluasan kesempatan kerja.
5.
Pemerataan usaha, khususnya bagi
golongan ekonomi lemah.
6.
Pemerataan kesempatan berpartisipasi,
khususnya bagi generasi
muda dan kaum wanita.
7.
Pemerataan pembangunan antar daerah.
8.
Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan.
Pada akhir tahun Repelita III
perkembangan yang terjadi di
lingkup Internasional adalah bahwa nilai
dollar menguat, tingkat bunga riil di AS menguat,
dana mengalir ke AS, likuiditas Internasional
meningkat dan semakin beratnya beban
utang negara-negara yang sedang berkembang.
4.
Repelita
IV
Pada periode Pelita IV ini, letak
titik beratnya hampir sama
dengan periode Pelita III. Hanya saja yang membedakan
adalah kalau di Pelita III lebih menekankan pada
industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
Sedangkan pada periode Pelita IV ini lebih ditekankan
pada “meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri sendiri, baik industry berat
maupun ringan. Selain itu, yang ditargetkan dalam periode
Pelita IV ini adalah dilakukannya program KB dan rumah
untuk keluarga.
Pada periode Pelita IV ini,
swasembada pangan dalam
sektor pertanian berhasil dicapai. Terbukti dengan berhasilnya Indonesia memproduksi beras
25,8 ton pada tahun 1984 dan
mendapatkan penghargaan di FAO (Organisasi
Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.
Berikut adalah beberapa contoh
kebijakan pemerintah untuk
periode ini :
1.
Kebijakan INPRES no.5 tahun 1985 yaitu meningkatkan ekspor nonmigas dan pengurangan biaya tinggi dengan:
a.
Pemberantasan pungutan liar (pungli)
b.
Memberantas dan menghapus biaya-biaya siluman
c.
Mempermudah prosedur kepabeanan
2.
Paket Kebijakan 6 Mei (PAKEM), yaitu mendorong sektor swasta di bidang ekspor dan penanam modal.
3.
Paket Devaluasi 1986, karena jatuhnya harga minyak dunia yang didukung dengan kebijakan pinjaman luar negri.
4.
Paket Kebijakan 25 Oktober 1986, deregulasi bidang perdagagan, moneter,
dan penanam modal dengan cara :
a.
Penurunan bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku.
b.
Proteksi produksi yang lebih efisien
c.
Kebijakan penanam modal
5.
Paket Kebijakan 15 Januari 1987. peningkatan efisiensi,inovasi dan produktivitas beberapa sektor industry menengah keatas untuk meningkatkan ekspor nonmigas.
Program KB dan swasembada pangan
berhasil namun cenderung hanya terdapat di pulau
Jawa saja. Beban Hutang
luar negeri membesar. Terjadi resesi pada awal
tahun 1980 yang berpengaruh terhadap perekonomian
Indonesia. Pemerintah akhirnya mengeluarkan
kebijakan moneter dan fiskal sehingga kelangsungan
pembangunan ekonomi dapat dipertahankan.
Apa yang dialami pada periode
Repelita III, ternyata masih
dialami pada periode Repelita IV ini.
Bahkan pada periode ini harga minyak bumi turun
sangat tajam. Masalah yang semakin Nampak dan
dirasakan adalah masalah tenaga kerja yang melaju
pada tingkat kurang lebih 2,7% per tahun. Pada
tahun 1983 jumlah tenaga kerja adalah 64 juta dan
tahun 1988 diperkirakan akan menjadi 73 juta. Sementara
angka pertumbuhan direncanakan hanya 5%
pertahun selama Pelita IV.
Di samping ciri-ciri pokok dan pola unit produksi juga
merupakan hambatan bagi
berkembangnya ekspor Indonesia, bahkan
menghambat pertumbuhan secara keseluruhan.
Suatu hal yang tidak dapat
diabaikan dalam periode
yang amat sulit ini adalah pada tahun 1984 Indonesia
sudah tidak lagi mengimpor beras (tahun 1980
indonesia mengimpor beras sebanyak 2 juta ton,
tahun 1981 mengimpor 0,54 juta ton, tahun 1982
mengimpor 0,31 juta ton, tahun 1983 mengimpor
0,78 juta ton). Dengan demikian devisa yang
sebelumnya digunakan untuk mengimpor beras
dapat digunakan untuk keperluan pembangunan.
Pedoman pembangunan pada periode
ini adalah GBHN tahun 1983 yang pada intinya
tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan
GBHN sebelumnya.
Usaha-usaha untuk melanjutkan
deregulasi pada periode ini
semakin ditingkatkan dengan tujuan
utama meningkatkan efisiensi mekanisme pasar,
khususnya yang berkaitan dengan aspek moneter,
kelancaran arus barang yang ada pada giliran
berikutnya diharapkan dapat meningkatkan produksi
(Inpres No.4/1985). namun dengan situasi Internasional
yang tidak menentu pada tahun1986/1987
Neraca Pembayaran Indonesia menghadapi
tekanan berat. Lebih-lebih karena turunnya
harga minyak bumi. Untuk mengatasi ancaman
itu, sekali lagi pemerintah memberlakukan
kebijaksanaan devaluasi rupiah terhadap
dollar AS sebesar 31% pada 12 September 1986.
Tujuan utama devaluasi ini pada dasarnya untuk
mengamankan neraca pembayaran selain untuk
meningkatkan ekspor Indonesia, meningkatkan
daya saing produk Indonesia dan mencegah
larinya rupiah ke luar negeri. Namun harus diingat bahwa dengan
devaluasi ini, jumlah hutang
Indonesia semakin besar.
Untuk memperbaiki pola unit
produksi yang membuat biaya
ekonomi tinggi sehingga produk Indonesia
kurang dapat bersaing di luar negeri, pemerintah memberlakukan kebijaksanaan 6 Mei 1986. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi produksi dalam
negeri dan daya saing
barang ekspor bukan migas melalui pemberian
kemudahan tata niaga, fasilitas pembebasan
dan pengembalian bea masuk serta pembentukkan
kawasan berikat.
Kemudian pada 30 Juni 1986 Sertifikat Ekspor dihapus.
Kebijaksanaan 6 Mei ini
kemudian disempurnakan dengan kebijaksanaan
25 Oktober 1986, sekaligus sebagai penunjang
kebijaksanaan devaluasi 12 September 1986
yang intinya mendorong ekspor non-migas melalui
penggantian sistem bukan tarif menjadi sistem
tarif secara bertahap, juga penyempurnaan ketentuan
bea masuk dan bea masuk tambahan. Sejalan
dengan itu bea fiskal ke luar negeri dinaikkan
dari Rp 150.000,- per orang menjadi Rp 250.000,-
perorang. Kemudian pada tanggal 25 Oktober
1986 ekspor dalam bentuk barang mentah (rotan,
jangat, dan kulit) dilarang.
Pada tahun-tahun terakhir Repelita
IV, perekonomian Indonesia semakin dibebani
dengan meningkatnya hutang luar negeri sebagai
akibat depresiasi mata uang dollar Amerika
Serikat terhadap Yen dan DM kurang lebih sebesar
35%. Namun dalam situasi sulit seperti ini,
APBN tahun 1987/1988 naik
kurang lebih 6,6% di bandingkan dengan
anggaran sebelumnya.
Penyebab utamanya adalah bahwa Negara minyak sudah meningkat pada tingkat
rata-rata US$ 15 per barel.
Yang juga sedikit menggembirakan adalah
pada tahun 1987 ekspor non-migas telah dapat
melampaui ekspor migas. oleh para pengamat
naiknya ekspor non-migas ini disambut dengan
dua pandangan. Di satu pihak beranggapan bahwa
meningkatnya ekspor non-migas ini disebabkan
karena deregulasi yang selama ini secara
intensif dilakukan, namun pengamat yang lain
berpendapat bahwa naiknya ekspor non-migas ini
disebabkan karena depresiasi dollar Amerika terhadap
Yen dan DM, karena ternyata ekspor indonesia
ke Jepang dan Jerman Barat merupakan bagian
tindakan kecil dari keseluruhan ekspor Indonesia.
Pengamatan masih perlu dilakukan untuk
menyusun kebijakan. Namun yang pasti bahwa target pertumbuhan sebesar 5%
per tahun selama
Repelita IV sangat sulit dicapai.
5.
Repelita
V
Pada Pelita V ini, lebih menitik
beratkan pada sektor pertanian
dan industri untuk memantapakan swasembada
pangan dan meningkatkan produksi pertanian
lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pada periode ini terjadi krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa
politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian
menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Pelita V adalah akhir dari pola
pembangunan jangka panjang
tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan
jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan
Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki
proses tinggal landas Indonesia untuk memacu
pembangunan dengan kekuatan sendiri demi
menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.
Disamping itu Suharto sejak tahun
1970-an juga menggenjot
penambangan minyak dan pertambangan,
sehingga pemasukan negara dari migas
meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi
$10,6 miliar pada tahun 1980. Puncaknya adalah
penghasilan dari migas yang memiliki nilai sama
dengan 80% ekspor Indonesia. Dengan kebijakan
itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bias dihitung
sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.
Keberhasilan Pak Harto membenahi
bidang ekonomi sehingga Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980-an diawali dengan pembenahan di bidang
politik. Kebijakan perampingan partai dan
penerapan azas tunggal ditempuh
pemerintah Orde Baru, dilatari pengalaman
masa Orde Lama ketika politik multi partai
menyebabkan energi terkuras untuk bertikai. Gaya
kepemimpinan tegas seperti yang dijalankan Suharto
pada masa Orde Baru oleh Kwik Kian Gie diakui
memang dibutuhkan untuk membenahi perekonomian
Indonesia yang berantakan di akhir tahun
1960.
Namun, dengan menstabilkan politik
demi pertumbuhan ekonomi, yang sempat dapat dipertahankan antara 6%-7% per tahun,
semua kekuatan yang berseberangan dengan Orde
Baru kemudian tidak diberi tempat. spansi kegiatan ekonomi selama
tahun-tahun 1989-1991 ada
sangkut pautnya dengan kebijaksanaan deregulasi pemerintah, yang sudah mulaid ilaksanakan secara bertahap sejak
tahun 1983. Rangkaian tindakan deregulasi di
atas memberi dorongan kuat terhadap kegiatan
dunia swasta, yang beberapa tahun terakhir ini
telah menjadi faktor penggerak dalam ekspansi
ekonomi.
Ekspansi ekonomi di atas telah
disertai oleh ekspansi moneter
yang besar, sebagai akibat naiknya
permintaan domestik (domestic demand) yang
mencakup tingkat investasi maupun tingkat konsumsi.
Ekspansi ekonomi yang ditandai oleh laju pertumbuhan pesat selama tiga tahun berturut-turut ini
dianggap terlalu panas (overheated) dari sudut
kestabilan keuangan moneter (Soemitro Djojokusumo,
1993).
A.
Masalah-masalah
yang dihadapi:
Kecenderungan
terjadinya ekspansi ekonomi berbarengan
dengan ekspansi moneter, sehingga
ekonomi memanas (overheated) jika dibiarkan
berlangsung terus akan membahayakan
kestabilan ahrga dalam negeri dan
melemahkan kedudukan negara kita dalam hubungan
ekonomi internasional (khususnya dibidang
neraca pembayaran luar negeri).
a.
IndikatorEkspansiEkonomi
1. Laju
pertumbuhan ekonomi yang meningkat
: 5,8% (1988), 7,5% (1989), 7,1 (1990)
2. Investasi
dunia swasta yang meningkat: 15% (1983), 17% (1991). Pangsa investasi asing berkisar 25% dari total nilai investasi swasta domestik.
b.
IndikatorekspansiMoneter
1.
Jumlah uang beredar meningkat : 40% (189), 44% (1990)
2. Kredit
perbankan meningkat : 48% (1989),
menjadi 54% (1991)
3. Laju
inflasi meningkat : 5,5% (1988), 6,0%
(1989) 9,5% (1990-1991)
4. Defisit
tahun berjalan meningkat: US $1.6
miliar (1989), US$3.7 miliar (1990) dan
US$4.5 miliar (1991). (Soemitro Djojohadikusumo,
1993)
B.
Rencana
dan Kebijaksanaan Pemerintah
Berlangsungnya
proses pemulihan ekonomi sampai
kegiatan ekonomi meningkat cepat sehingga memanas
(overheated) berlangsung selama tahun ke
4, ke 5 pelaksanaan PELITA IV dan tahun ke 1 PELITA
V (1987/1988 – 1989/1990) dan ekonomi memanas
ini berlangsung terus sepanjang PELITA V (1989/1990 – 1993/1994).
a.
Kondisi ekonomi yang memanas perlu didinginkan dengan kebijaksanaan uang ketat.
b.
Kebijaksanaan uang ketat (TMP = tight money policy) Untuk “mendinginkan” kondisi ekonomi
yang terlalu panas dilakukan kebijaksanaan
fiskal dan moneter/
perbankan: Meningkatnya
penerimaan dalam negeri : Rp 28.73
triliun (1989/1990), Rp 39,54 triliun (1990/1991),
Rp 41,58 triliun (1991/1992) Moneter
/ perbankan.
C.
Membatasi
Kredit Bank Melalui Politik Diskonto
(suku bunga) didukung operasi pasar
terbuka dengan instrument SBI dan
SBPU.
D.
Mengawasi
likuiditas bank melalui ketentuan
LDR (Loan to Deposit Ratio) dan
CAR (Capital Adequacy Ratio) .
Dampak TMP : pertumbuhan ekonomi
menurun dari 6,6% (1991) menjadi 6,3% (1992) dan inflasi menurun
dari 9,5% (1991) menjadi 4,9% (1992). (Soemitro
Djojohadikusumo, 1993: angka-angka: Nota Keuangan dan Rancangan APBN
1994/1995).
6.
Repelita
VI
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang
ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI
yang diharapkan menjadi proses lepas landas
Indonesia ke yang lebih
baik lagi, malah menjadi gagal landas dan
kapal pun rusak.Indonesia dilanda krisis ekonomi
yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997.
Semula berawal dari krisis moneter
lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap
pemerintah. Pelita VI pun
kandas ditengah jalan. Kondisi ekonomi
yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang
merajalela, Pembagunan yang dilakukan, hanya
dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat.
Karena pembangunan cenderung terpusat
dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia
meningkat, tapi secara fundamental
pembangunan ekonomi sangat rapuh. Kerusakan
serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber
daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah,
antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah
kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi
sosial). Pembangunan hanya mengutamakan
pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi
kehidupan politik, ekonomi, dan social yang
demokratis dan berkeadilan. Pembagunan tidak
merata.
Tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi beban Negara seperti Riau, Kalimantan Timur, dan
Irian. Faktor inilah yang
selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya
perekonomian nasional Indonesia menjelang
akhir tahun 1997. Membuat perekonomian
Indonesia gagal menunjukan taringnya.
Namun pembangunan ekonomi pada masa
Orde Baru merupakan pondasi bagi
pembangunan ekonomi selanjutnya.
Faktor
Penyebab Kegagalan Ekonomi Indonesia Pada
Masa Orde Baru
Ketika krisis moneter melanda
Indonesia, semua pihak
tersentak melihat indikator ekonomi Indonesia.
Hanya dalam beberapa bulan, krisis ekonomi
telah memporak-porandakan “keberhasilan”
pertumbuhan ekonomi Indonesia (rata-rata
7-8 %) selama tiga dekade menjadi minus 13
%. Ironisnya, dalam beberapa bulan kemudian, krisis
justru semakin parah dan mengarah pada potret
ekonomi Indonesia yang suram. Misalnya, selama
dilanda krisis, jumlah penduduk miskin meningkat
menjadi 80 juta, angka pengangguran meroket
menjadi 20 juta jiwa, bahkan laju inflasi mendekati
angka 100 % (hiperinflasi).
Sikap mental Orde Baru yang tak
lagi menghargai supremasi hukum, hak asasi
manusia (HAM), demokratisasi dan lingkungan
hidup memang tak sejalan dengan gerakan
reformasi. Orde Baru bukan
menyangkut orang per orang, melainkan
sikap mental dan pola pikir yang mempengaruhi
seseorang. Tanpa perubahan terhadap
sikap mental itu, apa pun gerakan reformasi
yang dilakukan takkan berhasil. Karena itu,
mentalitas Orde Baru harus diubah. Gerakan reformasi,
lanjutnya, bisa berhasil walaupun dilakukan
oleh mereka yang pernah menjadi pejabat
Orde Baru. Asalkan, mereka sudah mengubur
mentalitas Orde Baru serta mengubahnya
menjadi sikap mental yang sesuai dengan
gerakan reformasi. Sebaliknya, reformasi bisa
gagal walaupun dilaksanakan oleh orang lain, yang
bukan mantan pejabat Orde Baru, tetapi mereka
memiliki mentalitas Orde Baru. Mentalitas Orde
Baru, muncul karena penguasa mempunyai kedudukan
lebih kuat dibanding rakyat. Akibatnya, aparat
pun merasa harus dilayani oleh rakyat, dan menempatkan
rakyat bagai peminta-minta pelayanan.
Padahal, aparat sesungguhnya harus berperan
melayani masyarakat.
Bahkan, dengan porsi kekuasaan
pemerintah yang terlalu
kuat, rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kasus pertanahan
misalnya, rakyat yang merasa haknya dirampas
cuma bisa berunjuk rasa atau membangun
tenda di atas tanahnya. Namun itu tidak
akan bertahan lama. Rakyat pun pasti kalah, BPN
tengah melakukan perubahan sikap mental aparatnya.
Pelayanan kepada rakyat di bidang pertanahan
kini semakin dipermudah. Orde Baru bagaikan
seorang raksasa yang kini tengah menghadapi
sakratul maut. Bahkan mungkin secara medis
raksasa Orde Baru itu sudah mati. Tetapi seperti
mahluk hidup, yang menghadapi ajalnya, raksasa
Orde Baru kini sedang mengge-lepar-gelepar sekarat dan beberapa bagian tubuhnya bergerak tidak terkendali.
Dibutuhkan waktu yang panjang untuk
dapat mengendalikan gerakan “bagian tubuh”
Orde Baru yang tidak
terkendali itu. Pemerintah dapat melakukan
kekerasan untuk mempercepat kematian
Orde Baru. Tetapi ini akan menghasilkan raksasa
baru yang barangkali akan dihadapi rakyat, seperti
menghadapi Orde Lama maupun Orde Baru,
10-20 tahun yang akan datang. Sebab itu, pemerintah
dan ABRI memilih pendekatan persuasif,
sekalipun butuh waktu dan kesabaran.
Pendekatan yang dilakukan
pemerintah serta ABRI dalam
menangani berbagai kerusuhan, memang
bukan suatu yang populer. Akibatnya, ABRI
dan pemerintah dianggap lemah. Banyak tokoh
masyarakat yang menghujat pemerintah. Pemerintah
saat ini selalu dalam posisi terpojok, kalah,
dan selalu salah. Sebaliknya, kalangan humas pemerintah
kurang mampu menghadapi pendapat masyarakat
yang menyudutkan pemerintah.
Keberhasilan pembangunan belumlah
tentu sebuah keberhasilan. Bahkan,
keberhasilan pembangunan-khususnya
selama Orde Baru, bias menjadi
perusakan alam dan kerugian besar untuk masyarakat
daerah. Ini terjadi, karena pelaksanaan pembangunan
kurang memperhatikan analisis dampak
sosial. Juga pengaruh banyaknya pejabat-pejabat yang menguasai sistem-sistem
untuk kepentingan diri mereka masing-masing sebagaimana yang telah menjadi ciri dari pemerintahan dan masyarakat Orde Baru.
Suatu golongan yang tidak disenangi kemudian menjadi disenangi, akan ikut membantu memperlancar perubahan. Namun suatu
golongan yang telah berada dalam situasi yang menyenangkan, menikmati banyak hak
istimewa, kekuasaan dan
duit, mereka akan bertahan sekuat mungkin.
Itulah keadaan yang terjadi sekarang, golongan
status quo sangat kuat.
Para pejabat Orde Baru selalu
menyatakan penguasaan
mereka atas sumber-sumber ekonomi politik
dan birokratik itu untuk kepentingan pembangunan
bangsa, dengan pertumbuhan ekonomi
yang tinggi serta janji-janji pemerataan atas
hasil-hasil pembangunan. Namun pada dasawarsa
1980-an, gerakan mahasiswa secara jitu menemukan
fakta bahwa “pembangunan telah memakan
korban” bagi warga masyarakat yang justru
tergusur dari tanah mereka. Setiap upaya mempersoalkan
nasib rakyat tak jarang diperhadapkan
dengan tudingan “mengganggu jalannya
pembangunan”. Jika mempersoalkannya ke
tingkat internasional, aparat Orde Baru menudingnya
sebagai “menjelek-jelekkan bangsa” atau
“menjual bangsa” ke pihak asing.
Tujuan nasionalisme Orde Baru
sangat jelas, yakni
mempertahankan kepentingan KKN mereka dengan
dua target.:
1.
Kekuatan-kekuatan rakyat tak dapat berkembang dan tetap lumpuh, sehingga rakyat tak bisa bersuara atas praktik KKN Orde Baru.
2.
Mengobarkan nasionalisme untuk mencegah dan mengacaukan upaya aktivis hak asasi manusia untuk memperkarakan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (human rights violation).
Hasil yang diharapkan pemimpin Orde
Baru yang mengobarkan
nasionalisme sempit itu, ada dua hal. Pertama,
mereka kebal dari hukum (impunity). Semua
praktik KKN yang mereka jalankan, tidak dapat
dihukum, sehingga kepentingan-kepentingannya tetap lestari. Mereka untouchable tidak bisa dijangkau hukum. Kedua,
mereka juga bebas
bergentayangan melakukan penindasan hak asasi
manusia, memangsa korban dari bangsanya sendiri.
Nasionalisme yang
digembor-gemborkan oleh Orde Baru
jelas berusaha keras mematikan gerak aktivis hak
asasi manusia dengan berbagai siasat dan intrik yang
kotor. Dengan siasat dan intrik kotor itulah pengibar
nasionalisme ini mengelabui kita semua, sehingga
berbagai pelanggaran hak asasi manusia tidak
diungkap dan tidak pula diperkarakan.
Otoritarianisme Orde Baru telah
berulang kali menuduh para
aktivis hak asasi manusia sebagai “agen
asing” atau “agen Barat” sambil terus menimbulkan
korban-korban atas bangsanya sendiri.
Kita semua terus-menerus berusaha dibenamkan
dalam perangkap kesadaran untuk melupakan
kekejaman yang diperbuat Orde Baru atas
bangsanya sendiri.
Nasionalisme Orde Baru tak peduli
jatuhnya korban dari
bangsanya sendiri yang terhempas menemui ajalnya
sejauh kepentingan KKN tidak digugat rakyat.
Bahkan dengan praktik yang berkualifikasi kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)
– kejahatan yang merupakan musuh seluruh
umat manusia – jika perlu dilakukannya. Untuk
menutupinya pejabat Orde Baru dan pewarisnya
sering menangkalnya dengan pernyataan
angkuh: “jangan campuri urusan dalam negeri
Indonesia”.
Pembangunan yang terjadi di zaman
Orde Baru pada awalnya
bisa membuat pendapatan per kapita naik
empat kali, dari sekitar US$ 250 sampai sekitar US$
1.000 per kapita setahun. Namun kemudian Orde
Baru ternyata hanya menyuburkan korupsi dan
memperbesar kesenjangan sosial. Di lain pihak, secara
statistik juga bisa dibuktikan bahwa tingkat kemiskinan
berkurang. Tingkat kesejahteraan, yang bisa
diukur dengan konsumsi per kapita beras, gandum,
BBM, listrik, fasilitas kesehatan, pendidikan,
transportasi umum, dan sebagainya, semua
naik banyak. Kalau sekarang, lima tahun sesudah
digempur krisis ekonomi yang dahsyat, tingkat
konsumsi publik masih cukup dan sebagian terbesar
masyarakat tidak lapar dan merana – dibandingkan
dengan tahun 1966– maka semuanya ini
adalah hasil perbekalan dari zaman Orde Baru.
Sedangkan penanaman modal asing
sangat diperlukan karena divestasi
perusahaan-perusahaan yang karena krisis dikuasai oleh negara, dan juga akibat dari skema
debt-equity swap yang
dilakukan perusahaan-perusahaan yang besar
beban utangnya kepada pihak luar negeri. Begitu
juga kebijakan lalu lintas devisa sudah tidak baik
dipadukan dengan sistem nilai tukar mata uang
tetap, tanpa fundamental ekonomi yang kuat terhadap
pengaruh globalisasi. Memang pemerintahan
yang buruk (bad governance) tercermin
dalam maraknya KKN bukan penyebab utama
masuknya Indonesia ke dalam krisis, tetapi hal
itu jelas amat memperburuk keadaan.
Setting kapitalisme global terhadap
Indonesia bukanlah suartu
hal yang baru dilakukan. Kenaikan rezim
Soeharto dulu sedikit banyaknya mendapat dukungan
dari negara-negara maju. Setting itu juga dimainkan
untuk menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya
karena praktek korupsi cukup parah, dukungan
yang tadinya diberikan lambat laun dicabut
sampai akhirnya Soeharto terjungkal. Pada masa
krisis ekonomi sebelum kejatuhannya, Soeharto
tampak setengah hati menjalankan kebijakan
Bank Dunia dan IMF. Tetapi karena Soeharto
tidak mau membubarkan anak-anak dan kroninya,
renacana peminjaman dana itu ditarik kembali.
Padahal sebagaian besar Bank-bank itu sudah
dalam kedaan kacau.
Kelemahan Soeharto adalah terlalu
membela anak-anak keluarga dan kroninya. Sehingga Bank Duniapun ditentangnya. Sehingga
Saoeharto tidak dapat
dukungan dan jatuh. Bahkan pengusaha dan militer
sebagai penopang utama kekuasaannyapun pada
akhirnya tidak memberikan dukungan karena sudah
tidak melihat ada prospek lagi dalam kekuasaannya.
Setelah Soeharto jatuh, Bank Dunia tidak serta merta dapat langsung
melakukan kontrol terhadap
penguasa baru di Indonesia.
Rezim pemerintahan Orde Baru yang
pada waktu itu sudah
memangalami banyak permasalahan tidak
cepat-cepat membereskan masalahnya sehingga
hanya mempersulit dan menambah beban bagi
rakyat yang sudah lama merasa tidak puas. Ketidakpuasan
rakyat terhadap pemerintahan semakin
di tambah dengan naiknya harga-harga kebutuhan
pokok seperti beras, lauk-pauk, BBM, yang
notabene merupakan kebutuhan yang sangat vital
bagi rakyat.
Rezim Orde Baru Soeharto akhirnya
punya banyak cacatnya yang
menjadi fatal karena tidak terkoreksi secara
dini. Seandainya Pak Harto mau mundur pada
pertengahan 1980-an dan cengkeraman sosial-politiknya bisa dikendurkan, keadaan
mungkin sekali tidak separah sekarang. Negara,
dan para pemimpinnya, yang mampu membanting setir demikian adalah RRC, yang sistem
politiknya masih dikendalikan
Partai Komunis, akan tetapi ekonominya
direformasikan berdasarkan system pasar
terbuka yang cukup bebas. Proses otonomi daerah
di RRC senantiasa bisa dikendalikan Beijing, karena
semua gubernur dan bupati diangkat dan diberhentikan
pemerintah pusat.
Pembangunan politik dan ekonomi
untuk Negara besar seperti
Indonesia selalu memerlukan pemerintah
yang kuat. Ini hanya ada selama zaman Soeharto,
tetapi dengan pengorbanan demokrasi politik
dan sosial. Satu-satunya masa pendek yang mungkin
bisa kita pelajari kembali, kalau mencari percontohan,
adalah masa 1950-1957. Pada masa itu,
pengaruh asing (kebanyakan memang Belanda) masih
kuat. Orientasi kebijakan ekonomi masih rasional
dan terbuka terhadap interaksi dengan dunia
luar. Kehidupan politik masih cukup demokratis,
dan partai opisisi ada. Beberapa tokoh yang
pragmatik berpengaruh di bidang ekonomi, yakni
Bung Hatta, Sjafruddin, Djuanda, Leimena, Sumitro,
Wilopo, dan sebagainya. Bung Karno masih ada
dengan pengaruhnya yang karismatik dan menyatukan
bangsa, akan tetapi ia belum menjadi penguasa
utama. Tetapi, bibit-bibit perpecahan politik
sudah ada, dan konflik dunia, demokrasi lawan
komunisme, sudah mulai masuk ke negeri ini.
Indonesia memang tidak pernah bias mengasingkan
diri dari pengaruh-pengaruh dunia, baik
politik maupun ekonomi.
Dalam membangun negara, kita harus membedakan antara state building dan
nation building. Dalam tahap pertama, kita
lebih berhasil dalam hal nation
building, dan jasa Bung Karno tidak
boleh dilupakan. Nation building selama 50 tahun
dilakukan dan dilestarikan berdasarkan wacana
melting pot, seperti di Amerika, di mana suku-suku
bangsa kaum imigran yang menyusun Amerika
harus melebur diri menjadi prototype bangsa
Amerika yang Anglosax dan Protestan. Ikanya
lebih penting daripada bhinnekanya. Setelah 50
tahun, model nation building ini harus kita tinggalkan.
Kebinekaan harus lebih ditonjolkan, akan
tetapi kesatuan bangsa dan negara harus dipelihara,
kalau bisa secara alami, atas dasar keyakinan
nasional bahwa hidup sebagai warga bangsa
besar lebih sentosa daripada sebagai warga negara
kecil. Tetapi, terutama elite politik di Jakarta
dan di Jawa, lagi pula TNI, harus mengubah wacana-wacananya.
Sampai sekarang, consensus yang
praktis masih dicari.
State building rupanya jauh lebih
sulit daripada nation building.
Para peninjau asing yang kompeten (ahli
ilmu politik) pada umumnya tidak terlalu menyangsikan
bahwa Indonesia kelak pecah seperti Uni
Soviet dan Yugoslavia. Semangat nasionalisme masih
cukup kuat, walaupun sudah mengalami erosi.
Yang membuat risiko besar perpecahan RI adalah
bahwa pemerintahnya lemah. “Indonesia is not
a failed state but a weak state”. Pemerintah di Jakarta
lemah oleh karena terperangkap dalam proses
demokratisasi.
Lemahnya pemerintah dan negara
dewasa ini oleh karena
alat-alat penegak kekuasaan tidak berfungsi: tentara,
polisi, jaksa, hakim, sistem peradilan, dan sebagainya.
Moral serta perasaan tanggung jawabnya
dirusak oleh KKN dan oleh karena Negara tidak
bisa menjamin gaji dan balas jasa yang wajar. Maka,
krisis ekonomi memperparah efektivitas aparat
pemerintah dan negara. Anggaran belanja pemerintah
terlalu digerogoti pembayaran kembali utang
dan bunga. Beban utang ini ikut menyebabkan
weak state. Ini mempermasalahkan untung
dan ruginya bantuan internasional, juga peran
asing (dan yang “nonpribumi”) di perekonomian
kita.
Perlukah kita akan mereka, atau kita
harus menegakkan kedaulatan serta kemurnian “Negara pribumi” kita? Secara logis dan historis
empiris, jawabnya: Indonesia tidak bisa keluar
dari krisis dan kelemahan
tanpa bantuan dari luar dan tanpa membuka
diri terhadap unsur-unur asing dan yang nonpribumi.
Ada kalangan (politisi pribumi) yang secara
bangga mengatakan, kita bisa berdiri sendiri berdasarkan
kekayaan alam kita. Pengalaman zaman
Bung Karno sudah memberi pelajaran. Tidak ada
gunanya mengusir Belanda, Cina, asing Barat, dan
menolak penanaman modal asing. Bung Karno pun
membuat pengecualian: perusahaan minyak bumi
asing (Caltex dan Stanvac) yang sudah ada tidak
diusir karena hasil devisa diperlukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya