KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya haturkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar, sehingga saya dapat
menyelesaikan Makalah ULUMUL QUR’AN ini dapat diselesaikan tepat pada waktu
yang telah ditentukan.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
Junjungan kita Rasulullah SAW yang mana telah membawa kita semua dari zaman
jahiliyah menuju zaman yang terang benderang seperti saat ini.
Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Saya menyadari bahwa dalam makalah
ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kepada para pembaca kami
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan makalah yang saya buat
selanjutnya. Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca dan
khususnya bagi saya.
Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua yang membacanya dan dapat sedikit mewujudkan pengetahuan didalam
lembaran ini.
Bengkulu, Senin, 19 Desember 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
...........................................................................................
i
DAFTAR ISI
...........................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
.................................................................................
1
B. RUMUSAN MASALAH
............................................................................
2
C. TUJUAN MAKALAH
................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
QIRA’AT SAB’AH
.................................................................................................
3
A. PENGERTIAN QIRA’AT
SAB’AH...........................................................
3
B. LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA’AT
............ 4
C. DASAR HUKUM
........................................................................................
5
D. MACAM-MACAM QIRA’AT
....................................................................
5
E. HIKMAH MEMPELAJARI QIRA’AT
......................................................
10
BAB III PENUTUP
1.
Kesimpulan ...................................................................................................
11
2. Daftar
Pustaka
..............................................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Al-qur’an adalah kalammullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an
adalah sumber ilmu bagi kaum muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup
segala hal, baik aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya. Selain
sebagai sumber ilmu, Al Qur’an juga mempunyai ilmu dalam membacanya.
Dalam surat Al Isra’, Allah SWT telah berfirman :
Artinya : “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada
orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang besar.” (QS. Al-Isra’:9)
Juga telah di sebutkan dalam sebuah hadits, Sabda
Rasulullah SAW :
Artinya:“Orang yang membaca satu huruf dari
Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan setiap kebaikan setara dengan sepuluh
kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam miim satu huruf akan tetapi alih
satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Begitu besar keagungan Al Qur’an sampai – sampai
dalam membacanya pun harus disertai ilmu membaca yang di sebut ilmu Qira’at,
karena di kawatirkan apabila dalam membaca Al Qur’an tidak disertai ilmunya
akan berakibat berubahnya arti, maksud serta tujuan dalam setiap firman yang
tertulis dalam Al Qur’an.
Selain ilmu Qira’at, Al Qur’an juga suatu rangkain
kalimat yang serasi satu dengan yang lainnya. keserasian kalimat antar kalimat,
ayat antar ayat sampai kepada surat antar surat membuat Al Qur’an di juluki
suatu rangkain syair yang begitu indah mustahil untuk di serupai. dalam
rangkaian Ulumul Qur’an, keserasian dalam Al Qur’an di sebut Munasabah Al
Qur’an.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Qira’at Sab’ah?
2. Bagaimana latar belakang timbulnya
perbedaan Qira’at?
3. Apa yang mendasari hukum Qira’at?
4. Ada berapa macam-macam Qira’ah?
5. Apa urgensi mempelajari Qira’at?
6. Apa pengaruh Qira’at dalam Istinbath
hukum?
7. Apa hikmah dari adanya Qira’at?
C. TUJUAN
MAKALAH
1. Memahami pengertian Qira’at Sab’ah.
2. Mengetahui latar belakang timbulnya
perbedaan Qira’at
3. Mengetahui dasar hukum Qira’at
4. Untuk mengetahui macam-macam Qira’at
serta imamnnya.
5. Memahami urgensi mempelajari Qira’at
6. Untuk mengetahui pengaruh Qira’at dalam
Istinbath hukum
7. Untuk Mengetahui Hikmah dari adanya
Qira’at.
BAB II
PEMBAHASAN
QIRA’AT SAB’AH
A. PENGERTIAN
QIRA’AT SAB’AH
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulumul
Qur'an. Ilmu Qira’at tidak mempelajari halal-haram atau hukum-hukum tertentu.
Menurut bahasa قراءات adalah bentuk jamak dari قراءة yang merupakan isim masdar
dari قرأ yang artinya "Bacaan".
Adapun menurut istilah, ilmu qira′at adalah Ilmu yang
membahas tentang tata cara pengucapan kata-kata Al-Qur`an berikut cara
penyampaiannya, baik yang disepakati (ulama ahli Al-Qur`an ) maupun yang
terjadi dengan menisabkan setiap wajah bacaannya kepada seorang Iman Qira’at.
Qira’at adalah bentuk ucapan (pengucapan) kalimat Al
Qur’an yang didalamnya termasuk perbedaan-perbedaan yang bersumber dari
Rosululloh SAW. Tiap-tiap Qiraat yang disandarkan pada seorang Imam memiliki
kaidah-kaidah bacaan tertentu dan juga memiliki rumusan-rumusan tajwid yang
berbeda-beda dalam rangka untuk membaguskan bacaannya. Dari sini dapat
dikatakan bahwa Qira’at dan tajwid merupakan dua ilmu yang berbeda tetapi
sangat berkaitan erat. Ilmu Qira’at mengenai bentuk peengucapan bacaan,
sedangkan ilmu tajwid bagaimana mengucapkan dengan baik.
Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh adalah macam cara
membaca Al-Qur’an yang berbeda. Disebut Qira’at tujuh karena ada tujuh imam Qira’at
yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki langgam bacaan tersendiri.
Tiap imam Qira’at memiliki dua orang murid yang bertindak sebagai perawi. Tiap
perawi tersebut juga memiliki perbedaan dalam cara membaca Qur’an, Sehingga ada
empat belas cara membaca al-qur’an yang masyhur. Perbedaan cara membaca itu
sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh imam Qira’at maupun oleh
perawinya. Cara membaca tersebut merupakan ajaran Rasulullah dan memang seperti
itulah Al-Qur’an diturunkan. Jadi, kesemuannya ini adalah bacaan-bacaan al
Quran yang sama kuat derajat ke Qur’anannya. Bacaan ini, masing-masing boleh di
baca siapapun meski pembaca atau pendengarnya tidak mengerti. Contohnya, bacaan
عَليهمْ -و عليهمُ – عليهُم . Boleh mambaca salah satunya, asalkan bacaannya
menjalur pada satu model bacaan, tidak campur dengan bacaannya Imam Tujuh.
Contoh lagi, (ملك - مالك) mim panjang atau yang pendek boleh-boleh saja.
Contoh yang tidak boleh adalah (الدين يَومَ مَلَكَ), mungkin ini maknanya masih
sama dengan (الدين يومَ مَلكِ) tapi tidak boleh membaca (الدين يَومَ مَلَكَ)
karena ini bukan salah satu dari bacaannya Imam Tujuh.
B. LATAR BELAKANG TIMBULNYA PERBEDAAN QIRA’AT
Beberapa faktor yang melatar belakangi timbulnya
perbedaan qira’at diantaranya yaitu :
1.
Perbedaan syakkal, harokat atau huruf. Karena mushaf mushaf terdahulu tidak
menggunakan syakkal dan harokat, maka imam-imam qira’at membantu memberikan
bentuk-bentuk qira’at.
2.
Nabi sendiri melantunkan berbagai versi qira’ah didepan sahabat-sahabatnya.
Seperti dalah suatu hadis:
“Dari umar bin khathab, ia berkata, “aku mendengar
hisyam bin hakim membaca surat al-furqon di masa hidup rasulullah. aku
perhatikan bacaannya. tiba-tiba ia membaca dengan banyak huruf yang belum
pernah dibacakan rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di
saat ia shalat, tetapi aku urungkan. maka, aku menunggunya sampai salam. begitu
selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, ‘siapakah yang
mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?’ ia menjawab, ‘rasulullah yang
membacakannya kepadaku. lalu aku katakan kepadanya, ‘kamu dusta! demi Allah,
rasulullah telah membacakan juga kepadaku surat yang sama, tetapi tidak seperti
bacaanmu. kemudian aku bawa dia menghadap rasulullah, dan aku ceritaan
kepadanya bahwa aku telah mendengar orang ini membaca surat al-furqon dengan
huruf-huruf (bacaan) yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau
sendiri telah membacakan surat al-furqon kepadaku. maka rasulullah berkata,
‘lepaskanlah dia, hai umar. bacalah surat tadi wahai hisyam!’ hisyam pun
kemudian membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. maka kata rasulullah,
‘begitulah surat itu diturunkan.’ ia berkata lagi, ‘bacalah, wahai umar!’ lalu
aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan rasulullah kepadaku. maka
kata rasulullah, ‘begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an itu
diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu di
antaranya.’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi, Ahmad,
dan Ibnu Jarir).
3.
Adanya pengakuan nabi (takrir) terhadap berbagai versi qira’ah para
sahabatnya.
4.
Perbedaan riwayat dari para sahabat nabi menyangkut bacaan ayat-ayat
tertentu.
5.
Karen perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai unsur etnik dimasa nabi.
Jadi itulah beberapa faktor yang melatar belakangi
timbulnya perbedaan qira’at di kalangan umat islam.
C. DASAR
HUKUM
Agar Al-Qur’an mudah dibaca sebagian kabilah arab yang
kenyataannya pada masa itu mereka mempunyai tingkat yang berbeda beda, maka
Rosulullah membuat bacaaan Al-Qur’an dari Allh AWT untuk bacaan bahasa yang
mereka miliki. Banyak hadis-hadis nabi yang menerangkan bahwa Allah telah
mengizinkan bacaan Al Qur’an dengan tujuh wajah umat Islam mudah membacanya.
Karena itu mushaf-mushaf dapat dibaca dengan berbagai qira’at sebagaimana dalam
sabda Rosulullah SAW yang artinya:
“sesungguhnya Al-qur’an ini
diturunkan atasa tujuh huruf (cara bacaan), maka bacalah (menurut) makna yang
engkau anggap mudah.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam sebuah hadis lain juga dijelaskan yang berbunyi
:
“Dari Ibnu Abas RA ia berkata : Rasulullah bersabda :
Jibril telah memberikan Al-Qur’an kepadaku dengan satu huruf, lalu aku
senantiasa mendesak dan berulang kali meminta agar ditambah, dan ia menambahnya
hingga sampai tujuh huruf” (HR. Bukhori Muslim)
D. MACAM–MACAM
QIRA’AT
Berkenaan dengan Qira’at ini terdapat bermacam-macam
Qira’at dan yang masyhur ada 7 macam, dikenal dengan sebutan qira’ah Sab’ah,
suatu qira’at yang dibangsakan kepada tujuh imam Qira’at yaitu :
As-Suyuti mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan
qira’ah berdasarkan sanad kepada enam macam, diantaranya :
1.
Qira’ah Mutawatir, yaitu Qira’ah yang periwayatannya melalui beberapa
orang, seperti Qira’ah Sab’ah yang menurut jumhhur ulama’ Qira’ah sab’ah ini
semua riwatnya adalah mutawatir, para imam yang termasuk
dalam Qira’ah sab’ah adalah:
a.
Nafi’ bin Abdurrahman (w.169 H.) di Madinah
Nama lengkapnya
adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy, asalnya dari
Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah
al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada
tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby
mengemukakan: “Nafi’ seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah
sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat
mulia yang mengembangkannya.
b. Ashim bin Abi Nujud
Al-asady (w. 127 H.) di Kufah
Nama lengkapnya
adalah ‘Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah.
Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada
sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada
tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby
dalam sya’irnya mengatakan: “Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman
mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy
panggilannya. Syu’ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal
dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.
c.
Hamzah bin Habib At-Taymy (w. 158 H.) di Kufah
Nama lengkapnya
adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang
bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarh, wafat
di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 158 H. Kedua perawinya
adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan
perantara Salim.
Syatiby
mengemukakan: “Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan
Al-Qur’an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.
d. Ibnu amir al- yahuby
(w. 118 H.) di Syam
Nama lengkapnya
adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan
Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang
tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari
Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118
H. Orang yang menjadi murid, dalam qira’atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini
pengarang Asy-Syathiby mengatakan: “Damaskus tempat tinggal Ibnu ‘Amir,
di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus
Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.
e. Abdullah Ibnu
Katsir (w. 130 H.) di Makkah
Nama lengkapnya
adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam
hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama
shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia
wafat di Makkah pada tahun 130 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat
pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby
mengemukakan: “Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya.
Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga Muhammad yang disebut Qumbul namanya.
f. Abu Amr Ibnul
Ala (w. 154 H) di Basrah
Nama lengkapnya
adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada
rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama
Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua
perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun
261 H.
Asy-Syathiby
mengatakan: “Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu ‘Amr al-Bashry,
ayahnya bernama ‘Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal
bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua’ib
atau as-Susy berguru padanya.
g. Abu Ali Al- Kisa’i
(w. 189 H) di Kufah
Nama lengkapnya
adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan
nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena
memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah
desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid
pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan
ad-Dury wafat tahun 246 H.
2.
Qiroa’at Masyhur, yaitu qiro’ah yang memiliki sanad sohih,
tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab
dan tulisan mushaf Usmani, masyhur di kalangan ahli qiro’ah dan tidak
termasuk qiro’ah yang keliru dan menyimpang. Misalnya Qira’at
dari imam yang tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian
perawi misalnya meriwayatkan dari Imam Tujuh, sementara yang lainnya tidak. Qira’at
semacam ini banyak di jumpai kitab-kitab Qiro’ah misalnya At-taisir
karya Ad-dani, Qashidah karya As-Syatibi, Au’iyyah Annasr Fi Qiro’ah
Al-Asyr dan Taqrib An-Nasyr, keduanya karya Ibnu Al-Jaziri. Menurut
AlZarqani dan Subhi Al-Sholih kedua tingkatan Muttawatir dan Masyhur sah
Bacaannya dan wajib meyakininya serta tidak mengingkari sedikitpun dari
padanya.
3.
Qiroat Ahad, yaitu Qira’at yang sanadnya sohih tetapi tulisannya tidak cocok dengan
tulisan mushaf usmani yang juga tidak selaras dengan kaidah bahasa arab. Qira’at
ini tidak boleh untuk membaca al-qur’an.
4.
Qira’at Syadz, yaitu yaitu qiro’ah yang sanadnya tidak sohih.
Contoh:ملك يوم
الدين (di
baca malaka yauma).
5.
Qira’ah maudlu’ (palsu), Qira’ah ini tidak boleh untuk membaca
Al-Qur’an.
6.
Qira’ah mudraj yaitu qira’at yang didalamnya terdapat kata atau
kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-quran.
Kedua qira’at diatas (maudlu dan mudraj) tidak
dapat dijadikan pegangan dalam baca’an Al-Qur’an.
Jika ditinjau dari segi para pembacanya ( Qurro’ )
Qira’ah dibagi atas :
1.
Qiro’ah Sab’ah : yang di
sandarkan pada Imam Tujuh ahli qira’a, yaitu qira’ah yang telah disebutkan
diatas. Ada dua alasan kenapa di sebut qira’ah sab’ah:
Pertama : ketika kholifah Utsman menirim ke berbagai daerah itu berjumlah tujuh buah
yang masing-masing disertai dengan ahli qira’ah yang mengajarkan. Nama Sab’ah
berasal dari jumlah qurro’ yang mengajarkan yaitu Sab’ah (tujuh).
Kedua : tujuh qira’ah itu adalah qira’at yang sama dengan tujuh cara (dialek)
bacaan diturunkannya Al-qur’an. Dua pendapat diatas di sampaikan oleh Prof. Dr.
H. Abdul Djalal H.A. yang mengutip dari pendapat Imam Al-Maliki.
2.
Qir’ah Asyrah : qira’ah yang di
sandarkan kepada sepuluh orang ahli qra’ah, yaitu tujuh orang yang sudah
tersebut dalam qira’ah sab’ah di tambah dengan tiga orang, yaitu:
a. Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-qari (w.
130 H.) di Madinah
b. Abu Muhammad Ya’ Qub bin Ishaal-Hadhary
(w. 205 H.) di Basrah
c. Abu Muhammad Kholf bin Hisyam Al-A’masyy
(w. 229 H.)
Menurut sebagian
ulama’, pembatasan terhadap tujuh ahli qira’at kurang tepat, karna masih banyak
orang (ulama’) lain yang juga mamahami dan pandai tentang qira’at.
3.
Qira’ah Arba’a Asyrata : yaitu
qira’ah yang di sandarkan kepada 14 ahli qira’ah yang megajarkannya, sepuluh
ahli qira’ah yang telah di tulis di tambah dengan empat orang, yaitu:
a. Hasan Al-Bashri (w. 110 H.) di Basrah
b. Ibnu Muhaish (w. 123 H.)
c. Yahya Ibnu Mubarok Al- Yazidy (w. 202 H.)
di Baghdad
d. Abu Faroj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (w.
388 H.) di Baghdad.
E. Urgensi mempelajari Qira’at
Mempelajari
Qira’at bisa menghasilkan beberapa faidah, setidaknya menurut Rosihon Anwar ada
5 faedah yaitu:[1]
a.
Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan
hukum yang telah disepakati para ulama.
Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat
bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat
tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam
Qira’at Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm”
Sehingga ayat itu menjadi:
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ
وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ ) من ام )
فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (Q.S.
An-Nisa 4: 12)
Dengan demikan, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqaash dapat
memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
b.
Dapat
mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat
al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan
budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal
ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz,
ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ
أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ
مؤمنة.
“maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak (Mukmin)”. (Q.S. 5:
89)
Tambahan kata “Mukminatin” berfungsi men-tarjih
pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan
budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternatif
bentuk kifaratnya.
c. Dapat
menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam surat
al-Baqarah 2 ayat 222, dijelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan
hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelumnya haidnya berakhir.
Sementara qira’at yang membacanya dengan “yuththahirna” (di dalam mushaf
‘Utsmani tertulis “yathhurna”), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh
melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d. Dapat
menunjukkan dua ketentuan hukum yang
berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat
al-Ma’idah 5 ayat. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu yang membaca “arjulakum”
dan yang membaca “arjulikum”. Perbedaan qira’at ini tentu saja
mengosekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e.
Dapat
memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Qur’an yang mungkin sulit
dipahami maknaya. Misalnya, di dalam surat al-Qari’ah 101 ayat 5, Allah
berfirman:
وَتَكُونُ ٱلۡجِبَالُ كَٱلۡعِهۡنِ ٱلۡمَنفُوشِ ٥
Dalam sebuah
qira’at yang syadz dibaca:
وَتَكُونُ ٱلۡجِبَالُ كَٱلصوف ٱلۡمَنفُوشِ ٥
Dengan
demikian, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata kata “al-ihn” adalah “al’shuf.”
F. Pengaruh Qiroat Terhadap
Istinbath Hukum
Kata istinbath berasal dari bahasa Arab yang kata
akarnya al-Nabth yang artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada
saat seseorang menggali sumur. Adapun menurut bahasa berarti mengeluarkan air
dari mata air (dalam tanah).
Adapun secara terminologi adalah mengeluarkan
kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Quran dan al-Sunnah) dengan
ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal. Sedangkan kata hukum (hukum
Islam) yang sering kali identik dengan syari’at , merupakan salah satu aspek
pokok ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Karena itu ayat-ayat
al-Quran yang berkenaan dengan hukum biasanya disebut dengan ayat-ayat hukum (ايات
الأحكام ). Secara etimonolgi hukum berati menetapkan sesuatu terhadap sesuatu
atau meniadakannya. Disamping itu bisa juga berarti menolak atau mencegah.
Karena itu seorang qodhi disebut hakim, karena ia berupaya mencegah perbuatan
zhulm (kezholiman) dari pelakunya.
Sementara dari terminologi ada perbedaan pendapat
antara Ulama’, diantaranya Ulama’ ahli ushul mengartikan “Khitab syari’ (firman
Allah dan sabd Nabi) yang berkaitan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
yang bersifat thalab, takhyir atau wad”.
Sedangkan menurut Ulama fiqh mengartikan “Pesan dan
kesan yang terkandung dalam khitab syari’ menyangkut perbuatan orang-orang
mukallaf, seperti wajib, haram dan mubah”. Dari definisi diatas dapat diketahui
bahwa esensi istinbath yaitu upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang
terdapat baik dalam al-Quran maupun al-Sunnh. Pada garis besarnya terdapat dua
cara dalam melakukan istinbath hukum, yakni;
a.
Cara lafdhiah (طرق لفظية ) yaitu cara istinbath hukum berdasarkan pesan
yang terdapat dalam nash.
b.
Cara maknawiyyah ( طرق معنوية ) yaitu cara istinbath hukum berdasarkan
kesan yang terkandung dalam nash.
Dengan adanya perbedaan qiroat, adakalanya yang
berpengaruh terhadap istinbath hukum dan adakalanya tidak berpengaruh pada
istinbath hukum. Diatara yang berpengaruh pada istinbath hukum seperti surat
al-Nisa’ ayat 43, yang berbunyi; Ayat diatas menjelaskan bahwa salah satu
penyebab yang mengharuskan seseorang bertayamum dan dalam kondisi tidak ada air
yaitu apabila ia telah “menyentuh” wanita (لمستم النساء ). Sementara itu, Ibn
Katsir, Nafi’, ‘Ashim, Abu ‘Amr dan Ibn ‘Amir membaca لامستم النساء . Sedangkan
Hamzah dan al-Kisa’i membaca لمستم النساء . Berdasarkan qiroat لمستم , ada tiga
versi pendapat para ulama mengenai maknanya yaitu, 1) bersetubuh, 2)
bersentuhan, 3) bersentuhan serta bersetubuh.
Demikian pula makna qiroat لامستم menurut kebanyakan
ulama. Akan tetapi Muhammad Ibn Yazid berpendapat bahwa yang lebih tepat makna لامستم
adalah berciuman, karena kedua belah pihak (yang berciuman) bersifat aktif,
sementara makna لمستم adalah menyentuh, karena pihak wanita (yang disentuh)
tidak aktif .
Sehubungan dengan ini, para ulama berbeda pendapat
tentang apa sebenarnya yang dimaksud لمستم dalam ayat tersebut. Ibn Abbas,
al-Hasan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud
adalah bersetubuh. Sementara Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakha’i dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuh kulit baik dalam persetubuhan
maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi berpendapat bahwa pendapat yang terakhir
adalah lebih kuat, karena kata al-lums dalam qiroat لمستم النساء makna
hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Menurut al-Razi, pada dasarnya suatu
lafaz harus diartikan dengan pengertian hakiki. Sementara kata mulamasat pada
qiroat لامستم makna hakikinya saling menyentuh dan bukan berarti
bersetubuh.
Dalam pada itu, para ulama yang berpendapat bahwa kata
al-lums dalam ayat tersebut berarti bersetubuh, berargumentasi bahwa kata اللمس
dan المس terdapat dalam al-Quran dengan pengertian الجماع (bersetubuh). Seperti
firman Allah وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن dan firman Allah فتحرير رقبة من قبل ان
يتماسا . Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud kata tersebut adalah bersentuh
kulit, mereka berbeda pendapat pula pada rinciannya, yakni sebagai berikut; -
Imam Syafi’i berpendapat batal wudlu seorang laki-laki apabila ia menyentuh
anggota tubuh seorang wanita, baik dengan tangannya maupun dengan anggota tubuh
lainnya, - Al-Awza’i berpendapat apabila menyentuhnya dengan tangan, maka batal
wudlunya. Dan apabila menyentuhnya bukan dengan tangan maka tidak batal wudlunya,
- Imam Malik berpendapat apabila menyentuhnya disertai dengan syahwat maka
batal wudlunya. Tetapi bila menyentuhnya tidak disertai dengan syahwat maka
tidak batal wudlunya, - Ibn al-Majisyun berpendapat jika menyentuhnya dilakukan
secara sengaja maka batal wudlunya baik disertai dengan syahwat maupun tidak.
Dari uraian diatas bisa diambil kesimpulan bahwa perbedaan qiroat dalam ayat
diatas hanya berpengaruh terhadap cara istinbath hukum, dimana menurut sebagian
ulama versi qiroat لمستم النساء sedikit lebih mempertegas pendapat, yang
dimaksud dengan لامستم النساء dalam ayat tersebut adalah al-lums dalam arti
hakiki yaitu “bersentuh kulit” antara laki-laki dan perempuan.
Adapun qiroat yang tidak berpengaruh terhadap
istinbath hukum seperti firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 95; Ayat diatas
menjelaskan bahwa bila seseorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan
dengan sengaja maka salah satu alternatif dendanya yaitu memberi makan
orang-orang miskin (او كفارة طعام مساكين ) seimbang dengan harga binatang
ternak yang akan digunakan untuk pengganti binatang ternak yang dibunuhnya.
Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsir, ‘Ashim, Abu ‘Amr, Hamzah dan
al-Kisa’i membaca او كفارة طعام مساكين dengan cara lafat tho’am dijadikan
khabar dari mubtada’ mahdzuf. Sedangkan Nafi’ dan Ibn ‘Amir membaca dengan cara
mengidhofahkan lafat kaffarah pada lafat tho’am tanpa terjadi perubahan hukum
yang terkandung di dalamnya.
E. HIKMAH MEMPELAJARI QIRA’AT
Dengan bervariasinya Qira’at, maka banyak sekali
manfaat atau faedahnya, diantaranya:
a.
Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan
dan penyimpangan.
b.
Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
c.
Untuk mempersatukan umat islam diatas dasr bahasa yang satu.
d.
Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap
qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan
lafadz.
e.
Untuk menjelaskan suatu hukum dari beberapa hukum.
f.
Untuk menjelaskan sebagian lafad yang mubham (samar).
g.
Memperbesar pahala.
BAB III
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari
dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan.
Untuk itu kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan sedikit manfaat
bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Aamiin.
A.
KESIMPULAN
Jadi dari uraian diatas menunjukkan bersarnya pengaruh
qira’at dalam proses menetapkan hukum. Sebagian qira’at bisa berfungsi sebagai
penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qira’at yang
lain atau penafsiran dan penjelasan pada maknanya.
Selain itu kita juga bisa mengetahui macam-amcam
qira’at dan Imam-imamnya, dan pengetahuan tentang berbagai qira’at sangat perlu
bagi seorang yang hendak mengistinbat hukum dari ayat-ayat Al-qur’an pada
khususnya dan mentafsirkannya pada umumnya, serta bisa mengetahui hikmah dari
adanya qira’at.
DAFTAR PUSTAKA
Chalik, Abdul, Chaerudji. Ulumul Al-Qur’an. Diadit
Media. Jakarta Pusat. 2007
Syadali Ahmad, Rofi’i Ahmad. Ulumul Qur’an I. Pustaka
Seyia. Bandung. 2000
A. Chaerudji Abdul Chalik, Ulumul Al-Qur’an, Jakarta
: Diadit Media, 2007. Hal. 177-178
Ahmad Syadali dan ahmad Rofi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung
: Pustka Setia, 2000. hal. 228
A. Chaerudji Abdul Chalik, Op.cit., Hal.
173-175
Ahmad Syadali dan ahmad Rofi’i, Op.cit., hal.
228-230
A. Chaerudji Abdul Chalik, Op. Cit., Hal.
179-183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya