Profil Pelukis Wakidi
Wakidi (Palembang,
1889/1890–Sumatra Barat, 1979) adalah seorang pelukis Indonesia yang lukisannya banyak
mengandung corak Mooi Indie (Hindia molek). Bersama dengan Abdullah
Surio Subroto (1879-1941) (ayah Basuki Abdullah) dan Pirngadie (1875-1936), Wakidi adalah
satu di antara tiga pelukis naturalistik Indonesia yang
terkemuka di zamannya. Wakidi mulai melukis sejak usia 10 tahun.
Sebagai guru melukis, Wakidi sempat belajar dengan seorang pelukis Belanda bernama van Dick
di Kweekschool, Bukittinggi, Sumatra Barat.
Meskipun banyak
berkarya, hampir semuanya dikoleksiorang, sehingga Wakidi tidak pernah mengadakan pameran
lukisannya. Karya-karyanya banyak dikoleksi oleh istana kepresidenan
dan sejumlah tokoh penting, seperti wakil-wakil presiden Indonesia, Bung Hatta dan Adam
Malik.
Beberapa Karya Wakidi
Karya
seni bukanlah semata untuk dipahami, tetapi untuk dinikmati
Seni dapat menembus
waktu, angan-angan
dan kerinduan yang
tidak kesampaian,
melaluinyalah kita
dapat
memuja
menangis
menyesali
mengagumi
merenung
di sepanjang
kehidupan
yang singkat itu
WAKIDI umumnya tidak
tertarik untuk menggambarkan manusia. Ada beberapa alasan, Wakidi tidak menguasai teknik
menggambar wajah atau memang tidak suka atau "tuntutan lingkungan?
Memang, Sebagai pelukis era "Moi Indie" (India Molek) beliau telah diletakkan
dalam peta seni
lukis Indonesia yang hanya menggambarkan keindahan alam.
Uraian di bawah ini
bukan untuk menolak pernyataan itu, baguslah ada tokoh seni lukis Indonesia
yang tumbuh dan berkembang di tanah Minangkabau (Sumatera
Barat). Setidaknya tercatat dalam sejarah seni lukis Indonesia. Oleh karena itu tulisan ini
hanyalah sekedar menambah apa yang telah ditulis sebelumnya, namun
mungkin ada hal yang baru yang belum terpikirkan oleh orang.
Sebagai pendatang ada
jarak budaya, karena beliau adalah orang "seberang" (Semarang) yang dibesarkan di Sumatera,
dan menjadi "urang sumando". Istreri pertamanya orang Talu, dan
yang kedua orang Kamang, Bukittinggi (setelah meninggal istri pertama). Oleh karena
itu pergaulannya dengan lingkungan hanya sebatas lingkungan
keluarga dan kelompok terdidik di Bukittinggi. Hal ini menempatkan
Wakidi sebagai figure tersendiri yang dihargai masyarakat sebagai pelukis yang
berbeda dengan masyarakat umumnya.
Namun bukan
berarti Wakidi tidak "mengikuti selera" lingkungannya, justru
dengan diskusi-diskusi dan "pesanan lukisan" yang selalu mengarah kepada lukisan "lanskap
alam " dan bukan untuk lukisan potret atau "imaji tokoh
tertentu", atau lukisan ekspresif gaya Soejoyono, atau mematrikan
sebuah "adegan dramatik",
dan atau sebuah pose tokoh versi
Basuki Abdullah. Dia sebenarnya menjawab tuntutan lingkungannya. Dengan pandangan
seperti ini, beliau kemudian memusatkan perhatian hanya untuk
mengajar dan melukis, khususnya
pemandangan alam dan tenggelam di dalamnya.
Menurut penulis
lukisan-lukisannya bukan sekedar "lukisan lanskap
pesanan" untuk di jual ke kolektor, dia melukis sesuai dengan apa
yang dia tertarik untuk melukiskannya. Lukisannya adalah semacam catatan-catatan
"jejak-jejak" kenangannya, "dalam perjalanan" mengembara
ke negeri orang. Dia adalah "penonton" sebagaimana yang selalu
ada dalam lukisannya, "orang-orang itu digambar kecil-kecil, dan itu dari
jarak jauh. Orang-orang yang berpakaian adat, wanita berkebaya, orang-orang
pergi ke pasar, orang-orang yang ditemuinya di jalan,
petani, dan dirinya sebagai pengelana. Dan semuanya itu dalam bingkai lanskap alam.
Perjalanan (1950-1960-an) cat air
Kehujanan dalam perjalanan (1950-1960-an) cat air.
Wanita Minang (1069-an)
Bagaimana Ciri Lukisan Wakidi Itu? Apakah ini ciri seni Moi
Indie itu?
Bagaimanakah
sebenarnya ciri dari lukisannya? Dan bagaimana bahasa visual
yang dipakainya untuk mengutarakan gagasan-gagasannya ?
Penulis bergaul
dengan Wakidi hampir 6 tahun lamanya, yaitu sejak tahun
1963-1979 (periode SMP-SMA), jadi mungkin agak tahu dengan
ciri-ciri lukisan Wakidi, maupun tiruannya. Namun hal yang dapat mengacaukan adalah
dimana Wakidi selalu membuat duplikat atau repro lukisan-lukisannya
sendiri, sehingga tidak dapat diketahui lagi entah berapa kali beliau membuat repro lukisan,
karena selalu saja ada "pelanggan" yang menyukai lukisan yang sama
di samping kegiatannya dalam mengajar (guru).
Mungkin agak
mengejutkan bahwa, Wakidi sering menyatakan dirinya bukan
"pelukis" tetapi tukang gambar. Apa yang
dipikirkan Wakidi saat dia menyatakan sebagai "tukang
gambar"? Mungkin dengan label ini, dia bebas untuk melukis dengan
caranya sendiri, seperti merepro lukisan-lukisannya sendiri dan kebebasan-kebebasan lain
yang wajib dimiliki oleh orang yang berpredikat pelukis.
Seperti yang diketahui, umumnya objek lukisan Wakidi adalah "lanskap alam" atau
pemandangan alam, dan itu terbatas
pada lanskap alam pegunungan , deretan bukit barisan dan kawasan sekitar kota
Bukittinggi, dimana beliau bermukim. Terakhir beliau bermukim dan
membuat rumah di Padang. Memang ada beberapa lukisan sewaktu beliau berada di Palembang,
yang menggambarkan pemandangan pinggir sungai.
Artikulasi lukisan Wakidi
Catatan: Artikulasi
adalah bahasa visual atau pengucapan bahasa seni lukis yang ditemukan pada
sebagian besar karya seniman. Artikulasi itu bersifat
"menyambung", "menerus" kadang disebut dengan
"karakter", tetapi karakter hanya ditemukan pada "ekspresi",
sedangkan artikulasi dapat ditemukan pada warna, tekstur, garis,
sapuan kuas, nada warna dan guratan pada sebuah imaji gambar.
Dari cat air ke cat
minyak . Seperti yang penulis amati bertahun lamanya, sebelum
melukis, umumnya semua detail lukisan di buat sketsanya terlebih dahulu dengan pensil,
baru di lukis dengan cat minyak . Teknik ini memungkinkan beliau
melukis bagian-bagian tertentu secara terpisah. (lihat gambar 1 di bawah). Sebagai perbandingan,
teknik ini sebenarnya tidak banyak berbeda dengan teknik
pelukis modern seperti Chusin Setiakara, yang dipengaruhi teknik melukis China dan Lee Man
Fong --yang pada dasarnya berangkat dari teknik cat air (lihat
gambar 3). Wakidi juga berangkat dari cat air ( water
color) tetapi cara penyampaiannya sangat berbeda karena
lukisan Cina umumnya mementingkan ekspresi sapuan kuas, dan itu tampa efek cahaya
(efek tiga dimensi). Hampir semua lukisan Wakidi adalah pengembangan teknik
lukis cat minyak yang berasal dari teknik cat air, atau boleh dikatakan jika gambar
sketsa dan cat air itulah yang dikembangkannya menjadi lukisan cat minyak
di atas kanvas yang besar.
Perspektif. Dalam
menggambarkan lanskap alam umumnya Wakidi mengambil sepertiga dari tinggi kanvas sebagai
garis horison, beberapa lukisan mengambil garis tengah tetapi itu jarang
dilakukan.
Cahaya dan Bayangan .
Kebiasaan yang lain adalah, untuk menangkap suasana, dan cahaya sebab hamper semua lukisan
Wakidi menggambarkan waktu sore hari, yang ingin di tangkap
adalah permainan cahaya (teknik chiaroscuro) yang jatuh pada bebatuan dan semak-semak,
pepohonan, puncak-puncak karang, bukit dan lereng-lereng gunung,
lapis demi lapis. Setiap lapisan ini dibuat dengan sangat
hati-hati dan detail. Teknik ini mengharuskan memakai
pensil yang runcing untuk membuat sketsa dan kuas kecil dan pipih untuk cat minyak
(lihat sketsa di bawah, goresan pinsil ini disengaja untuk membuat
helaian daun secara detail, lihat gambar 1.). Wakidi jarang membuat sapuan kuas yang
kasar dan yang bersifat ekspresif, apalagi sapuan kuas yang lebar dan halus
seperti untuk menggambarkan kulit manusia.
Retakan, pecahan,
Bongkah dan lapisan berkontur. Ciri lukisan Wakidi yang lain
adalah imaji retakan, pecahan, bongkah dan lapisan berkontur. Hal ini tidak hanya di terapkan
kepada bebatuan itu sendiri, tetapi terlihat pada lapisan pegunungan yang
dilukis (lihat gambar A dan B). Pada air dan detail dinding rumah (gambar 5) dan pada pepohonan
(gambar 7)
Warna. Pemakaian
warna oleh Wakidi itu khas, karena Wakidi mempunyai teori
sendiri tentang warna. Dia membagi warna itu berdasarkan sebutan " warna cahaya:
dan warna "bayangan" dan "warna kontur". (lihat
gambar 8) Darimanakah Wakidi belajar tentang pewarnaan ini. Untuk
memahami pewarnaan ini beliau pernah menyuruh kami (yang sedang belajar melukis) untuk
jongkok dan melihat melalui selangkang kaki, sehingga kepala terbalik
dalam melihat objek, ternyata benar bahwa objek-objek yang dilihat perbedaan warnanya
lebih tajam, dan efek-efek violet pada bayangan itu terlihat
nyata. Lucu juga. Walaupun Wakidi meniru alam, banyak
lukisan Wakidi sebenarnya bukan warna alamiah seperti yang terlihat pada gambar 8. karena
mementingkan efek cahaya dan bayangan itu. Tetapi dapat disimpulkan
bahwa efek bayangan violet adalah artikulasi warna Wakidi.
Pada gambar C, ciri
pewarnaan Wakidi itu masih terlihat, namun efek kontur dan
retakan tidak ada.
Anatomi manusia dan
Lipatan Kain. Seperti pada lukisan "Wanita minang
berkebaya" (gambar 6), terlihat bahwa Wakidi hanya memperhatikan
lipatan kain, efek terang-gelap, serta hembusan angin, ketimbang anatomi manusia.
Cat buatan sendiri.
Beberapa lukisan Wakidi bukanlah berasal dari cat minyak
asli, tetapi cat minyak buatan sendiri. Resep pembuatan cat minyak ini juga diajarkan kepada
penulis sewaktu belajar. Tetapi akibatnya kualitas lukisan
bisa kurang baik karena lukisan cepat jadi jamuran dan buram.
Gambar 1.
Gambar 2. Pemandangan di Mahat (1969)
Gambar 1. Sketsa
dibuat sangat detail, pengerjaan bagian-bagian lanskap alam
agak bebas, dan meninggalkan bagian-bagian yang lain dan kosong untuk digarap
kemudian seperti contoh di atas (gambar 1). Kadang-kadang bagian bukit
dan semak-semak didahulukan di lukis dan bagian langit di buat setelah semua
bagian lukisan selesai. Tujuannya sebenarnya untuk menghemat cat minyak
yang relatif sulit diperoleh di jamannya, dan melukis dahulu dengan sisa-sisa cat yang ada
di palet. Wakidi jarang menggunakan kuas yang besar, kecuali untuk
bagian langit. Gambar 2. Lukisan final (Pemandangan di Mahat) Kabupaten Lima Puluh
Kota, sekitar tahun 1969, sewaktu mengungsi dari kota Bukittingg ke
pedalaman Mahat semasa pemberontakan PRRI.
Gambar 3. Lukisan Chusin Setiakara, "Pasar Kintamani"
(2006)
Gambar 4. Wakidi, "Lubuak", 1973, Water color.
Ciri lukisan Wakidi, imaji retakan, bebatuan
Gambar 5. Wakidi, Mencuci di kolam, 1960-an. Teknik
Pensil dan cat air.
Gambar 6. Wakidi , Wanita Minang Berkebaya , (1950-an)
Water Color.
Lukisan Wanita Minang
Berkebaya ini sering di repro menjadi lukisan cat minyak oleh Wakidi, seperti yang disaksikan
oleh penulis sekitar tahun 1968-an. Artinya, jika pelukis moderen
melukis berdasarkan foto (lihat gambar 3, maka Wakidi meniru sketsa dan lukisan cat airnya
untuk melukis cat cat minyak (oil painting).
Gambar 7. Wakidi, " Perjalanan", 1950,
Water color. Perhatikan cara Wakidi membuat pepohonan, pada dasarnya menerapkan
imaji kontur
dan retakan berlapis-lapis dan kelompok dedaunan sekalian ranting dan cabangnya.
Gambar 7. Wakidi,
" Perjalanan", 1950, Water color. Perhatikan cara Wakidi
membuat pepohonan, pada dasarnya menerapkan imaji kontur dan retakan berlapis-lapis dan
kelompok dedaunan sekalian ranting dan cabangnya.
Gambar 9. "perjalanan"
Untuk warna cahaya
Wakidi umumnya menggunakan warna kuning dan merah, warna bayangan umumnya violet
kemerahan atau violet biru. Wakidi boleh dikatakan tidak ada
atau jarang menggunakan warna coklat untuk warna bayangan atau daerah
gelap seperti gambar 10.
Detail Gambar 10. lukisan ini tidak memperlihatkan
ciri-ciri seperti yang di diatas.*
Gambar 10. Lanscape
Painting 1890 - 1979. Sumber Gambar MyArtTracker Beta (2014) lukisan ini tidak memperlihatkan
ciri-ciri seperti yang di uraikan diatas.*
Lukisan Wakidi yang asli, Repro dan yang Palsu
Di bawah ini (dua
yang paling atas) masih penulis kenal sebagai lukisan asli
Wakidi. Sedangkan yang lain penulis peroleh dari MyArtTracker
Beta (http://www.myarttracker.com/node/379877/artworks/by-medium),
yang beberapa diantaranya penulis ragukan sebagai karya Wakidi.
Tanda ** masih kelihatan sebagai karya
Wakidi
Tanda * Diragukan (mungkin sebagai
karya-karya paling
awal dari Wakidi atau palsu)
Gambar A. Senja di Dataran Mahat, 1930 - 1970, 94 cm x 1973 cm
Gambar G. Lanscape Painting 1890 -
1979. yang dianggap lukisan Wakidi Sumber Gambar MyArtTracker Beta (2014) lukisan ini
tidak memperlihatkan
ciri-ciri seperti yang di uraikan diatas.*
Detail Gambar G tidak memperlihatkan ciri-ciri
seperti yang di
uraikan diatas.*
Beberapa Lukisan Lainnya
Ngarai Lambah (Ngarai Takuruang) lukisan ini adalah Repro/
bukan asli lukisan wakidi.
Kosa Kata
Bongkah (chunks ) n 1
bingkah; gumpal; gumpalan (tanah dsb); 2 Geo gumpalan batu dng garis tengah lebih besar
dr 265 mm;
Ngarai, adalah lembah
(jurang) yg dalam dan luas di antara dua tebing yngg curam; lembah sungai berdinding terjal
yang terjadi karena erosi sisi pada batuan yg mudah gugur
Retak, a (crack) 1
tampak bergaris pd barang keras (spt piring, batu) yg
menandakan akan pecah)
Retakan. n 1 hasil
meretakkan ; 2 sesuatu yg telah diretakkan;
kontur n/ contour. 1
garis bentuk ; 2 Ling pola ciri-ciri yg terjadi dr pola nada,
gerak nada dng atau tanpa tekanan yg meliputi sebagian atau
seluruh ujaran tertentu;
Imaji /Image / n 1
sesuatu yg dibayangkan dl pikiran; bayangan; 2 imajinasi
Suasana n /
atmosphere 1 hawa; udara: -- meliputi bumi; 2 keadaan sekitar sesuatu
atau dl lingkungan sesuatu: -- pedusunan berlainan dng -- perkotaan; 3 keadaan suatu peristiwa:
politik luar negeri disesuaikan dng -- internasional masa kini;
Lipatan / gaffering,
hasil melipat; barang yg dilipat atau berlipat-lipat: ~ uang
kertas itu dimasukkan ke dalam dompet; kerutan
Cahaya, sinar atau
terang (dari sesuatu yg bersinar seperti matahari, bulan,
lampu) yang memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda di sekitarnya;
Kebaya, adalah baju
perempuan bagian atas, berlengan panjang, dipakai dng kain
panjang
Bayang/ shadow,
shade. 2 image, reflection. n, bayang- bayang n 1 ruang yang
tidak kena sinar karenan terlindung benda 2 wujud hitam yg tampak di balik
benda yg kena sinar; 3 gambar pd
cermin, air, 4 rupa (wujud) yang kurang jelas dalam gelap: dalam gelap
Berbagai Peristiwa yang menjadi Kenangan Wakidi yang dituangkan
dalam Lukisan
Perkawinan dan Nasehat Mertua, di Kamang Bukittinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya