Fajar Sidik
Fadjar Sidik
|
Pemberontakan telah ia lakukan. Tapi
bukan kepada Negara, untuk merebut pemerintahan. Ia hanya memberontak kepada
keseniannya, yaitu seni lukis, untuk mencapai purify of form (kemurnian
bentuk). Dan seperti judul sebuah buku terbitan I: Boekoe, pemberontak
tak selalu salah.
Adalah Fadjar Sidik, pria kelahiran
Peneleh, Surabaya, 8 Februari 1930 ini, telah berjuang sebagai seorang
modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang kuat mengembangkan
paradigma estetik kerakyatan. Dalam lukisan-lukisannya, ia menciptakan
bentuk-bentuk abstrak yang disebutnya “desain ekspresif”.
Karya-karyanya telah bergeser dari pokok
figuratif ke raut nirmana; dari ruang representasional (pictorial) ke bidang
yang cuma asyik mencacah bentuk (picturesque). Dan alasan kehadiran seni
lukisnya, katanya, sama saja dengan cap tangan manusia purba yang tertera di
dinding gua 20 ribu tahun silam.
Salah satu manifestasi pencapaian bentuk
abstrak murni Fadjar Sidik, bisa dilihat dalam lukisannya Dinamika Keruangan
(1969). Dalam karyanya ini, ia menampilkan ritme-ritme bentuk dari dua gugusan
elemen visual dengan dominan warna hitam dan warna kuning oker. Di sela-sela
susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan merah yang memberikan aksentuasi
seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks yang menetaskan kelegaan.
Jika dalam lukisan ini terdapat bentuk
bulan dan sabit, hal itu sama sekali bukan representasi religius yang berkaitan
dengan nilai simbolik bulan penuh dan bulan sabit. Demikian juga dengan gugusan
bentuk-bentuk segi empat dan geliat sulur garis hitam, bukan abstraksi bentuk
ular dan sarangnya yang mempunyai nilai magis simbolik. Pelukis lebih
menekankan bagaimana dalam kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat
dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau karakter-karakter lain.
Kemudian mengenai judul-judul lukisan
abstraknya, secara semantik, kata-kata dalam judul mempunyai koherensi yang
kuat dengan karakter bentuk-bentuk karyanya. Seperti pada serial “Dinamika
Keruangan”, “Interior”, “Fantasi Lurik”, “Metropol”, serta “Sangkala”, walaupun
tidak memiliki muatan nilai-nilai literer atau sosial, namun tetap mencerminkan
karakter-karakter visual yang mempunyai koherensi dengan prinsip-prinsip visual
yang mengasosiasikan bentuk-bentuk pada serial judul-judul itu.
Dalam perjalanan kesenian Fadjar Sidik,
ada dua unsur kuat yang memberikan warna pengaruh. Unsur pertama adalah
pemikiran-pemikiran Barat yang terbentuk lewat pendididkan formal dan suasana
kultural dalam kehidupan masa kecil. Dan unsur kedua adalah pendidikan sanggar,
yang memberikan dasar-dasar penguasaan teknik dan pemahaman atas sikap serta
etos kerja seniman.
Fadjar Sidik lahir dari keluarga yang
kental dengan kultur Islam. Ayahnya yaitu M. Sidik adalah seorang pengikut
Muhammadiyah yang aktif, dan ibunya, yaitu Dewi Maryam adalah pengurus Aisiyah.
Namun demikian, keluarga yang kental dengan kultur Islam ini kena imbas
semangat nasionalisme dari tokoh-tokoh pergerakan nasional yang banyak lahir di
daerahnya.
Tahun 1942 Fadjar Sidik dikirim ke HIS
Muhammadiyah Ngupasan Yogyakarta. Harapannya agar ia berinteraksi dengan
kemajuan pendidikan Barat sekaligus nasionalis dan religius seperti tokoh-tokoh
pergerakan nasional yang dikagumi ayahnya. Tapi di HIS, Fadjar justru sangat
antusias dengan pelajaran menggambar.
Minat pada seni lukis semakin mendapat
suasana yang kondusif lewat bacaan-bacaan. Di tempat pemondokannya, yaitu di
Kauman, rumah keluarga H. Mochtar seorang pegawai Raad van Agama, ia dapat
menyerap bacaan-bacaan dari majalah Orient dan Djawa Baroe yang menjadi
langganan keluarga itu.
Kemudian pada masa sekolah di SMA tahun
1949, Fadjar Sidik telah mulai mencoba membuat sketsa dan vignette yang dikirim
ke majalah-majalah kebudayaan, dan dimuat. Hal ini selain memberikan
kepercayaan pada bakat melukisnya, juga membulatkan wacana pada kebudayaan yang
berorientasi pada modernisme Barat.
Tahun 1952 Fadjar Sidik meneruskan
kuliah di Sastra UGM. Jurusan itu telah menyuburkan minatnya terhadap
kebudayaan Barat. Selanjutnya untuk menyalurkan hasrat melukisnya, ia masuk
ASRI bagian V, yaitu guru gambar. Tapi di situ pun Fadjar lebih banyak porsi
teori. Lalu ia mendatangi Sudjojono untuk belajar, tapi ia disarankan ke
Sanggar Pelukis Rakyat. Di sanggar inilah ia dapat menguasai sketsa menjadi
bahasa visualnya.
Tahun 1957, pada konggres Lekra di Solo,
Sanggar Pelukis Rakyat resmi menjadi underbrow PKI. Fadjar Sidik yang telah
terisi dengan berbagai konstruk pemikiran Barat, meninggalkan sanggar itu dan
meneruskan petualangan estetiknya ke Bali.
Di Bali Fadjar Sidik dapat menemukan
gairah baru dalam berkarya. Di sini objek-objek artistik melimpah, komunitas
seniman tersebar, dan pendukung komersial kuat, hingga menyuburkan kreativitas.
Sketsa-sketsa Fadjar Sidik pun mengalir deras merekam aktivitas kehidupan
sehari-hari yang unik.
Akan tetapi pembangunan pariwisata telah
mengubah wajah Bali. Dengan cepat, gedung, listrik, mobil, jalan aspal, radio
tape, alat-alat plastik mengubah Bali yang natural menjadi artificial. Fadjar
Sidik pun gelisah karena kehilangan objek-objek yang artistik dan puitis.
Menurut Fadjar Sidik, hasil industri itu
memang banyak yang bentuknya indah dan enak dilihat, tapi tidak untuk dilukis.
Mereka perlu rusak dulu baru bisa dilukis atau dibuat patung. Dan dalam melukis
ini, ia mengaku tidak sampai hati.
Ia yang kecewa karena kehilangan dunia
idealnya, akhirnya memutuskan, daripada menggambar obyek-obyek hasil kreasi
para desainer industri itu, lebih baik menciptakan bentuk sendiri saja untuk
keperluan ekspresi murni. Dan terjadilah bentuk-bentuk abstrak ciptaannya.
Tahun 1961, Abas Alibasyah mengajak
Fadjar Sidik pulang ke Yogyakarta untuk mengajar di ASRI. Di situlah fadjar
Sidik semakin kuat mengeksplorasi bentuk-bentuk abstrak dalam karyanya.
Bentuk-bentuk yang ia ciptakan sendiri, tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun
di alam itu, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan pemberontakan
estetiknya.
Tapi tak sejalan dengan proses pencarian
kemurniannya, penghargaan terhadap lukisannya cukup memprihatinkan. Pernah,
seorang art dealer membeli sejumlah besar lukisannya dengan harga murah. Dan
yang memprihatinkan lagi, penggemarnya di Indonesia sangat sedikit , dan malah
banyak di luar negeri.
Fadjar Sidik yang meninggal dunia pada
18 Januari 2004 di rumahnya Yogyakarta, terbukti selama 40 tahun lebih telah mempertahankan
keyakinan estetik abstraknya secara kuat. Ia telah menjadi agen perubahan dalam
seni lukis modern sekaligus pelopor seni lukis abstrak di Indonesia. (yunisa)
Luki
Karya-Karya
Fajar Sidik:
san : Dinamika Keruangan (Fadjar Sidik - 1969)
Title : "Dinamika Keruangan"
Year : 1969
Cat minyak pada kanvas.
Ukuran : 94 x 64 cm.
Dalam lukisan “Dinamika Keruangan” (1969) ini, Fadjar Sidik menampilkan
ritme-ritme bentuk dari dua gugusan elemen visual dengan dominan warna hitamdan
warna kuning oker. Di sela-sela susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan merah
yang memberikan aksentuasi seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks ritme
yang meneteskan kelegaan. Jika dalam lukisan itu terdapat bentuk bulatan dan
sabit, hal itu sama sekali bukan representasi relijius yang berkaitan dengan
nilai simbolik bulan penuh atau bulan sabit.
Demikian juga gugusan bentuk-bentuk segi empat dan geliat sulur
garis hitam, bukan abstraksi bentuk ular dan serangganya yang mempunyai nilai
magis simbolik. Pelukis ini lebih menekankaan bagaimana dalam kanvasnya hadir
ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau
karakter- karakter lain.
Ungkapan dalam lukisan ini merupakan salah satu dari manifestasi
pencapaian abstrak murni telah melewati proses panjang dalam kreativitasnya.
Pencapaian Fadjar sampai pada bentuknya estetik ini menunjukkan sikapnya
sebagai seorang modernis. Hal itu justru dilatarbelakangi oleh kekecewaannya
sebagai seorang romantis yang kehilangan dunia idealnya, yaitu objek Bali yang
telah berubah menjadi artifisial. Sebagai seorang yang mempunyai bahan dasar modernis lewat lingkungan kultural keluarga dan pendidikan, Fadjar tetap lebih dahulu melewati proses mengabstraksi bentuk-bentuk alam yang disukainya. Keputusan untuk menciptakan bentuk-bentuk sendiri (ia sering menyebutnya sebagai disain ekspresif), tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan ‘pemberontakan’ estetiknya. ‘Pemberontakan’ itu bisa lebih dilihat dengan makna sosial, karena Fadjar pada waktu itu berjuang sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang masih kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Sikap sosial yang terkristal dalam konsep estetik itu, menempatkan Fadjar Sidik sebagai agen perubahan dalam seni lukis modern Indonesia.
telah berubah menjadi artifisial. Sebagai seorang yang mempunyai bahan dasar modernis lewat lingkungan kultural keluarga dan pendidikan, Fadjar tetap lebih dahulu melewati proses mengabstraksi bentuk-bentuk alam yang disukainya. Keputusan untuk menciptakan bentuk-bentuk sendiri (ia sering menyebutnya sebagai disain ekspresif), tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan ‘pemberontakan’ estetiknya. ‘Pemberontakan’ itu bisa lebih dilihat dengan makna sosial, karena Fadjar pada waktu itu berjuang sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang masih kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Sikap sosial yang terkristal dalam konsep estetik itu, menempatkan Fadjar Sidik sebagai agen perubahan dalam seni lukis modern Indonesia.
Lukisan : Wajah Gadis (Fadjar Sidik - 1960)
Title : "Wajah Gadis"
Year : 1960
Cat minyak pada canvas.
Ukuran : 47 x 38.
Dari karya "Wajah Gadis" ( 1960 ), ini diperhatikan
bahwa sebelum sampai pada karya-karya abstrak " Dinamika Keruangan ",
Fajar Sidik mengalami periode gaya realisme dan impresionisme.
Karya-karya tersebut dibuat pada masa di sanggar Pelukis Rakyat dan masa
menetapnya di Bali pada tahun 1970-an.
Sumber:
Wawancara Oei Hong Djien, oleh Muhidin M Dahlan.
Wawancara Oei Hong Djien, oleh Muhidin M Dahlan.
M. Dwi Marianto dan M. Agus Burhan,
Fadjar Sidik, Dinamika bentuk dan ruang, Jakarta: Rupa-rupa seni, 2002.
Hendro Wiyanto , Jejak Modernisme Fadjar
Sidik dalam
http://majalah.tempointeraktif.com.
http://www.galeri-nasional.or.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya