Lahan
gambut (kadang-kadang disebut rawa gambut) terbentuk dimana tanaman-tanaman
yang tergenang oleh air terurai secara lambat. Gambut yang terbentuk terdiri
dari berbagai bahan organik tanaman yang membusuk dan terdekomposisi pada
berbagai tingkatan.
Ciri-ciri
khas dari suatu lahan gambut adalah kandungan bahan organiknya yang tinggi
(lebih dari 65%). Gambut yang terbentuk dapat mencapai kedalaman lebih dari 15
m.
Dalam
kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi
ekologi yang penting; mengatur air didalam dan di permukaan tanah. Dengan
sifat-sifatnya yang seperti spon, gambut dapat menyerap air yang berlebihan,
yang kemudian secara kontinyu dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air
akan tetap mengalir secaran konsisten dan karena itu menghindari terjadinya
banjir dan juga kekeringan. Lahan-lahan gambut merupakan areal ‘penyimpan’
karbon yang sangat penting.
Setiap
tahun jutaan orang di Asia Tenggara menderita akibat polusi asap yang
menyesakkan. Polusi asap menjadi penyebab dari sepertiga dari kerugian ekonomi
total akibat kebakaran hutan pada tahun 1997/98 yang mencapai 800 juta US$.
Secara politis, polusi asap lintas-batas yang merugikan negara-negara tetangga
telah menjadi isu yang sangat kontroversial.
Data-data
dan penelitian yang baru menunjukkan bahwa 60% dari polusi asap di Indonesia,
termasuk emisi karbon, berasal dari kebakaran di lahan-lahan gambut yang
menutupi hanya 10-14% dari daratan Indonesia. Karena itu, mencegah terbakarnya
lahan-lahan gambut tersebut akan sangat mengurangi polusi asap. Pencegahan kebakaran
menjadi semakin penting karena pemadaman kebakaran di lahan gambut sangat
problematis.
Cara
terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan gambut adalah dengan cara
mengkonservasi lahan tersebut dalam keadaan alaminya karena (setelah terbakar)
mereka tidak dapat direhabilitasi dan kondisi alaminya yang ‘tahan api’ tidak
dapat diciptakan kembali. Tulisan ini akan meninjau masalah api/kebakaran dan
pengelolaannya di lahan-lahan gambut untuk mengurangi polusi asap dan sekaligus
untuk mengkonservasi lahan-lahan gambut yang merupakan suatu ekosistem yang
langka. Mereka hanya menutupi sekitar 3% dari luas bumi, namun mengandung
20-35% dari semua karbon yang tersimpan di permukaan bumi. Lahan-lahan gambut
tropik, seperti di Asia Tenggara, mempunyai kapasitas penyimpanan karbon yang
sangat tinggi (3-6 kali lebih tinggi daripada lahan-lahan gambut di daerah
beriklim sedang). Mereka juga sangat kaya akan keanekaragaman jenis hayati
dengan banyak jenis yang unik dan hanya dijumpai di daerah rawa-rawa gambut.
Lahan-lahan
gambut yang digenangi air tidak terbakar secara alami, kecuali pada tahun-tahun
yang luar biasa keringnya. Hal ini ditunjukkan secara tragis selama terjadinya
perang Vietnam, dimana hutan-hutan rawa gambut disemprot oleh bahan-bahan kimia
dan dibakar oleh bom napalm. Kebakaran-kebakaran yang terjadi kemudian
di’tahan’ oleh rawa-rawa gambut alami yang basah.
Pertanian
sekitarnya juga dapat menyebabkan turunnya permukaan air tanah. Setelah kering,
maka gambut akan kehilangan sifat-sifat alaminya yang seperti spon dan dengan
demikian juga kemampuannya untuk mengatur keluar-masuknya air. Lahan-lahan
gambut yang kering secara tidak alami sangat mudah menjadi kering. Kebakaran,
baik yang disengaja maupun tidak, akan diikuti dengan kerusakan dan kerugian
yang proporsional terhadap kegiatan manusia dan tingkat gangguan yang terjadi.
Kanal-kanal
yang digali memberikan akses terhadap kawasan-kawasan gambut yang dulu tidak
tersentuh. Meningkatnya akses manusia memungkinkan terjadinya kebakaran dan
kegiatan pembalakan, yang akan mengganggu keseimbangan alami dari ekosistem
rawa gambut. Beberapa kegiatan-kegiatan tradisional, seperti sistem budidaya
padi sonor (dimana padi ditanam di lahan-lahan gambut yang sengaja dibakar pada
musim kemarau) dan penangkapan ikan (dimana para nelayan menggunakan api untuk
menciptakan akses yang lebih baik dan memperbaiki habitat ikan) juga merupakan
sumber kebakaran di kawasan-kawasan gambut. Sehubungan dengan hal ini, risiko
kebakaran gambut adalah tinggi karena penangkapan ikan dan budi daya padi sonor
sangat penting bagi masyarakat lokal di tahun-tahun yang kering.
Kebakaran
di lahan-lahan gambut harus dihindari. Mereka adalah sumber terbesar polusi
asap dalam kebakaran-kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dalam
kebakaran-kebakaran besar pada tahun 1997/98, polusi asap saja telah
menimbulkan kerugian sebesar 800 juta US$ (akibat terganggunya transportasi,
kerugian industri pariwisata, dan meningkatnya biaya-biaya kesehatan).
Terbakarnya
kawasan-kawasan rawa-gambut telah merusak beberapa tempat ‘penyimpanan’ karbon
terpenting di dunia dan melepaskan sejumlah besar karbon ke udara. Sebuah studi
terbaru memperkirakan bahwa karbon yang dilepas selama kebakaran-kebakaran
lahan gambut pada tahun 1997/98 sama jumlahnya dengan 13 sampai 40% dari emisi
tahunan yang disebabkan oleh pembakaran bahanbakar fosil di seluruh dunia.
Pemadaman
kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat menyebabkan kerusakan
ekologi dalam jangka-panjang. Gambut terbakar diatas dan dibawah permukaan, dan
karena itu sulit untuk dipadamkan. Metode-metode pemadaman kebakaran yang
mungkin diterapkan juga mahal. Untuk mengendalikan kebakaran di lahan gambut
secara efektif, orang harus menggali gambut yang terbakar atau menggenanginya
dengan air.
Akan
tetapi, dalam musim-musim kering (yaitu ketika kebakaran terjadi), air jarang
tersedia dan karena itu menggenangi lahan gambut bukanlah suatu opsi yang dapat
dilakukan. Beberapa teknik pemadaman kebakaran di kawasan gambut memerlukan
adanya penggalian kanal tambahan (sebagai akses ke lokasi kebakaran).
Kadang-kadang, air asin juga dipompa masuk untuk menggenangi kawasan tersebut.
Kedua teknik tersebut tampaknya menyebabkan degradasi lebih lanjut dari kawasan
gambut.
Secara
ekologi, pembakaran rawa-gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan
jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir).
Dalam hal ini, pemilahan antara sebab dan akibat harus dilakukan secara
hati-hati. Sebab-sebab dasar dari reduksi keanekaragaman jenis hayati adalah
salah pengelolaan dari kawasan-kawasan rawa-gambut serta perencanaan tata-guna
lahan yang memungkinkan terjadinya pengkonversian kawasan-kawasan tersebut.
Kebakaran mengikuti dan memperbesar dampak-dampak negatif dari drainase
(pengeringan air) dan mempercepat degradasi kawasan-kawasan rawa-gambut.
Cara
terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan cara
mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya dan memberikan perhatian khusus
terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai,
dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi
kawasan rawa-gambut harus dicegah.
Apabila
gambut menjadi kering secara berlebihan, mereka akan kehilangan secara permanen
sifat-sifat alaminya yang menyerupai spon dan tidak dapat direhabilitasi
kembali. Lahan-lahan gambut yang terdegradasi ini harus dikelola untuk mencegah
mereka menjadi padang rumput atau semak-belukar yang mudah terbakar secara
teratur dan karenanya menjadi sumber kebakaran untuk daerah-daerah sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya