KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, makalah dengan judul Munakahat dapat kami
selesaikan dengan baik, dengan tujuan memenuhi tugas Mata Pelajaran Pendidikan
Agama Islam.
Makalah dengan judul Munakahat ini berisi materi mengenai
pengertian pernikahan, hukum, rukun dan syarat, iddah dan talak. Dengan makalah
ini pembaca dapat mengetahui lebih dalam mengenai pernikahan dan dapat
mengetahui hukum-hukum pernikahan, sehingga tidak salah mengerti dan tidak
melakukan hal yang telah dilarang agama.
Ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Kepada pembaca kami harapkan saran dan
kritik yang konstruktif untuk kesempurnaan makalah ini, karena kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Semoga makalah ini membawa manfaat bagi para pembaca dalam
pembinaan diri menjadi manusia yang religius yang siap membangun bangsa dan
landasan agama.
Taba
Penanjung, 7 Agustus 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH ...................................................................................
1
B.
RUMUSAN
MASALAH ....................................................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
MUNAKAHAT ..........................................................................................2
B.
HUKUM
MUNAKAHAT ...................................................................................................
3
C.
TUJUAN
MUNAKAHAT ..................................................................................................
4
D.
RUKUN
DAN SYARAT NIKAH ......................................................................................
5
E.
MUHRIM
............................................................................................................................
8
F.
KEWAJIBAN
SUAMI ISTRI .............................................................................................
9
G.
TALAK
.............................................................................................................................
10
H.
IDDAH
..............................................................................................................................
13
I.
RUJUK
..............................................................................................................................
14
BAB III PENUTUP
A.
SIMPULAN
...........................................................................................................
16
B.
SARAN
.................................................................................................................
16
DAFTAR
PUSTAKA
......................................................................................................
17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia adalah mahluk yang sempurna. Namun juga manusia
adalah mahluk yang sangat rentan tergoda oleh hal-hal yang ada didunia yang
sementara ini. Dengan kesempurnaanya manusia, mereka mempunyai akal, nafsu dan
pemikiran yang sangat berkembang namun hal diatas tidak menjamin bahwa manusia
akan menjadi mahluk yang arif dan bijaksana. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia bahkan dapat bertindak melebihi mahluk lain yang notabene adalah
mahluk yang tak sesempurna manusia. Hal ini menjadikan manusia begitu mudah terombang
ambing dalam bertindak. Manusia membutuhkan lawan jenis untuk menyalurkan nafsu
keinginannya dalam membangun ikatan pernikahan untuk menurunkan keturunan yang
syah sesuai dengan ketentuan hukum islam. Oleh karena itu dalam makalah ini
akan disampaikan menegnai hukum-hukum pernikahan sesuai syariat agama islam.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Untuk mengkaji dan mengulas tentang
pernikahan, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga
penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian pernikahan, pertunangan dan hukumnya beserta
dalil-dalilnya?
2.
Apa tujuan pernikahan?
3.
Apa rukun dan syarat pernikahan?
4.
Siapa orang yang haram dinikah atau
dipinang?
5.
Bagaiman kewajiban seorang istri dan
seorang suami?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Munakahat (Pernikahan)
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bertemu,
berkumpul. Menurut istilah nikah ialah suatu ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam
suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum
syariat Islam. Menurut U U No : 1 tahun
1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga (keluarga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Allah SWT. Keinginan untuk menikah
adalah fitrah manusia, yang berarti sifat pembawaan manusia sebagai makhluk
Allah SWT. Setiap manusia yang sudah dewasa dan sehat jasmani rokhaninya pasti
membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis, teman hidup yang dapat memenuhi
kebutuhan biologis yang dapat dicintai dan mencintai, yang dapat mengasihi dan
dikasihi, yang dapat diajak bekerja sama untuk mewujudkan ketentraman,
kedamaian dan kesejahteraan hidup berumah tangga. Rasulullah SAW bersabda :
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ غَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخارى و مسلم)
Artinya
:”Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup menikah, maka
nikahlah. Karena nikah itu dapat menundukkan mata dan memelihara faraj
(kelamin) dan barang siapa tidak sanggup maka hendaklah berpuasa karena puasa
itu dapat melemahkan syahwat”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebelum pernikahan berlangsung dalam agama Islam tidak
mengenal istilah pacaran akan tetapi dikenal dengan nama “khitbah”. Khitbah
atau peminangan adalah penyampaian maksud atau permintaan dari seorang pria
terhadap seorang wanita untuk dijadikan istrinya baik secara langsung oleh si
peminang atau oleh orang lain yang mewakilinya. Yang diperbolehkan
selama khitbah, seorang pria hanya boleh melihat muka dan telapak tangan.
Wanita yang dipinang berhak menerima pinangan itu dan berhak pula menolaknya.
Apabila pinangan diterima, berarti antara yang dipinang
dengan yang meminang telah terjadi ikatan janji untuk melakukan pernikahan.
Semenjak diterimanya pinangan sampai dengan berlangsungnya pernikahan disebut
dengan masa pertunangan. Pada masa pertungan ini biasanya seorang peminang atau
calon suami memberikan suatu barang kepada yang dipinang (calon istri) sebagai
tanda ikatan cinta yang dalam adat istilah Jawa disebut dengan peningset.
Hal yang perlu disadari oleh pihak-pihak yang bertunangan
adalah selama masa pertunangan, mereka tidak boleh bergaul sebagaimana suami
istri karena mereka belum syah dan belum terikat oleh tali pernikahan.
Larangan-larang agama yang berlaku dalam hubungan pria dan wanita
yang bukan muhrim berlaku pula bagi mereka yang berada dalam masa pertunangan.
Adapun wanita-wanita yang haram dipinang dibagi menjadi 2
kelolmpok yaitu :
1.
Yang haram dipinang dengan cara
sindiran dan terus terang adalah wanita yang termasuk muhrim, wanita yang masih
bersuami, wanita yang berada dalam masa iddah talak roj’i dan wanita yang sudah
bertunangan.
2.
Yang haram dipinang dengan cara
terus terang, tetapi dengan cara sindiran adalah wanita yang berada dalam iddah
wafat dan wanita yang dalam iddah talak bain (talak tiga).
B.
Hukum
Munakahat
Menurut sebagian besar ulama, hukum asal nikah adalah mubah,
artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Meskipun demikian ditinjau
dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hukum nikah dapat
berubah menjadi wajib, sunat, makruh dan haram. Adapun penjelasannya
adalah sebagi berikut:
1.
Jaiz, artinya dibolehkan dan inilah
yang menjadi dasar hukum nikah.
2.
Wajib, yaitu orang yang telah
mampu/sanggup menikah sedangkan bila tidak menikah khawatir
akan terjerumus ke dalam perzinaan.
3.
Sunat, yaitu orang yang sudah mampu
menikah namun masih sanggup mengendalikan dirinya dari godaan yang menjurus
kepada perzinaan.
4.
Makruh, yaitu orang yang akan
melakukan pernikahan dan telah memiliki keinginan atau hasrat tetapi ia belum
mempunyai bekal untuk memberikan nafkah tanggungan-nya.
5.
Haram, yaitu orang yang akan
melakukan perkawinan tetapi ia mempunyai niat yang buruk, seperti niat
menyakiti perempuan atau niat buruk lainnya.
C.
Tujuan
Munakahat
Secara umum tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk
memenuhi hajat
manusia (pria terhadap
wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga
yang bahagia, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
agama Islam. Secara umum
tujuan pernikahan
dalam Islam dalam diuraikan sebagai berikut:
1.
Untuk memperoleh kebahagiaan dan
ketenangan hidup (sakinah). Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap
orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi
bahagia dan tentram. Allah SWT berfirman :
Artinya:
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya“.
(Ar-Rum : 21).
2.
Membina rasa cinta dan kasih sayang.
Nikah merupakan salah satu cara untuk membina kasih sayang
antara suami, istri dan anak. ( lihat QS. Ar- Rum : 21)
Artinya
:”Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang “. (Ar- Rum : 21).
3.
Untuk memenuhi kebutuhan seksual
yang syah dan diridhai Allah SWT.
4.
Melaksanakan Perintah Allah swt.
Karena melaksanakan perintah Allah swt maka menikah akan dicatat sebagai
ibadah. Allah swt., berfirman :
Artinya
:” Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu sukai”. (An-Nisa’ : 3)
5.
Mengikuti Sunah Rasulullah saw.
Rasulullah saw., mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan
umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya:
أَلنِّكَاحُ سُنَّتِى فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Nikah itu adalah sunnahku,
barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka
bukan golonganku” (HR. Bukhori dan Muslim).
6.
Untuk memperoleh
keturunan yang syah. Allah SWT berfirman:
Artinya
:” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Al-Kahfi : 46)
D. Rukun dan Syarat nikah
a. Calon
Suami, syaratnya:
a)
Beragama Islam,
b)
Bukan mahram calon istri,
c)
Tidak dipaksa dan dipaksa.
b. Calon
Istri, syaratnya:
a)
Beragama islam atau ahli kitab,
b)
Bukan mahram calon suami,
c)
Sedang tidak mempunyai suami,
d)
Tidak dalam masa iddah.
c.
Sigat aqad, yang terdiri dari ijab dan qobul
· Ijab adalah ucapan wali mempelai
perempuan yang berisi pernyataan menikahkan anaknya.
· Qobul adalah ucapan calon suami yang
berisi penerimaan nikah dirinya dengan calon istrinya.
v Contoh Ijab
: Wali perempuan berkata kepada pengantin laki-laki : “Aku nikahkan
anak perempuan saya bernama si Fulan binti …… dengan ……. dengan
mas kawin seperangkat sholat dan 30 juz dari mushaf Al-Qur’an”.
أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكِ فُلاَنَة بِنْتِمَهْرِ عَدَوَاتِ
الصَّلاَةِ وَثَلاَثِيْنَ جُزْأً مِنْمُصْحَافِالْقُرْاَنِ حَالاً
v Contoh
Qobul : Calon suami menjawab: “Saya terima nikah dan perjodohannya
dengan diri saya dengan mas kawin tersebut di depan”. Bila
dilafalkan dengan bahasa arab sebagai berikut :
قَبِلْتُ نِكَحَهَا وَتَزْوِجَهَا
لِنَفْسِى بِالْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ
Perempuan
yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya tidak syah.
Rasulullah saw, bersabda : Artinya :”Perempuan
mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka pernikahan itu batal (tidak
syah)”. (HR. Empat Ahli Hadits kecuali Nasai).
d. Wali
mempelai perempuan, artinya orang yang berhak menikahkan dengan syarat:
a)
Laki-laki,
b)
Beragama islam,
c)
Balig,
d)
Berakal sehat,
e)
Merdeka,
f)
Adil,
g)
Tidak sedang ihram, haji, dan umrah.
Wali nikah di bagi menjadi 2 macam,
yaitu:
1.
Wali nasab: yaitu wali yang mempunyai
pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan. Adapun
Susunan urutan wali nasab adalah sebagai berikut :
a)
Ayah kandung, ayah tiri tidak syah
jadi wali,
b)
Kakek (ayah dari ayah mempelai
perempuan) dan seterusnya ke atas,
c)
Saudara laki-laki sekandung
d)
Saudara laki-laki seayah
e)
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki sekandung
f)
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki seayah
g)
saudara laki-laki ayah yang seayah
dengan ayah
h)
Anak laki-laki dari sdr laki-laki
ayah yang sekandung dengan ayah
i)
Anak laki-laki dari saudara
laki-laki ayah yang seayah dengan ayah.
2.
Wali hakim: yaitu seorang kepala Negara yang
beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim di limpahkan
kepada pembantunya yaitu Menteri Agama. Kemudian menteri agama mengangkat
pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan
Agama Islam yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali
nikah apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:
a)
Wali nasab benar-benar tidak ada
b)
Wali yang lebih dekat (aqrob) tidak
memenuhi syarat dan wali yang lebih jauh (ab’ad) tidak ada.
c)
Wali aqrob bepergian jauh dan tidak
memberi kuasa kepada wali nasab urutan berikutnya untuk berindak sebagai wali
nikah.
d)
Wali nasab sedang berikhram haji
atau umroh
e)
Wali nasab menolak bertindak sebagi
wali nikah
f)
Wali yang lebih dekat masuk penjara
sehingga tidak dapat berintak sebagai wali nikah
g)
Wali yang lebih dekat hilang
sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya.
h)
Wali hakim berhak untuk bertindak
sebagai wali nikah, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinnya
:”Dari Aisyah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah nikah seseorang
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, jika wali-wali itu menolak
jadi wali nikah maka sulthan (wali hakim) bertindak sebagi wali bagi orang yang
tidak mempunyai wali”.(HR. Darulquthni)
e.
Dua orang saksi, syaratnya:
a)
Beragama Islam,
b)
Balig,
c)
Berakal sehat,
d)
Merdeka,
e)
Laki-laki,
f)
Adil,
g)
Tidak sedang ihram, haji, atau
umrah.
Saksi
harus benar-benar adil. Rasulullah saw., bersabda لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(روه احمد )
Artinya:”Tidak
syah nikah seseorang melainkan dengan wali dan 2 orang saksi
yang adil”. (HR. Ahmad)
Setelah
selesai aqad nikah biasanya diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan
walimah adalah sunat muakkad. Rasulullah SAW bersabda :”Orang yang sengaja
tidak mengabulkan undangan berarti durhaka kepada Allah dan RasulNya’. (HR.
Bukhori).
E. Muhrim
Menurut pengertian bahasa muhrim berarti yang diharamkan.
Menurut Istilah dalam ilmu fiqh muhrim adalah wanita yang haram dinikahi.
Penyebab wanita yang haram dinikahi ada 4 macam:
1. Wanita
yang haram dinikahi karena keturunan
a)
Ibu kandung dan seterusnya ke atas
(nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b)
Anak perempuan kandung dan
seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
c)
Saudara perempuan sekandung
(sekandung, sebapak atau seibu).
d)
Saudara perempuan dari bapak.
e)
Saudara perempuan dari ibu.
f)
Anak perempuan dari saudara laki-laki
dan seterusnya ke bawah.
g)
Anak perempuan dari saudara
perempuan dan seterusnya ke bawah.
2. Wanita
yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan
a)
Ibu yang menyusui.
b)
Saudara perempuan sesusuan
3. Wanita
yang haram dinikahi karena perkawainan
a)
Ibu dari isrti (mertua)
b)
Anak tiri (anak dari istri dengan
suami lain), apabila suami sudah kumpul dengan ibunya.
c)
Ibu tiri (istri dari ayah), baik
sudah di cerai atau belum. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (An-Nisa: 22)
d)
Menantu (istri dari anak laki-laki),
baik sudah dicerai maupun belum.
4. Wanita
yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian muhrim dengan istri. Misalnya haram melakukan poligami
(memperistri sekaligus) terhadap dua
orang bersaudara,
terhadap perempuan dengan bibinya, terhadap seorang
perempuan dengan kemenakannya. (lihat An-Nisa :
23)
F. Kewajiban Suami
Istri
Agar tujuan pernikahan tercapai, suami istri harus melakukan
kewajiban-kewajiban hidup berumah tangga dengan sebaik-baiknya dengan landasan
niat ikhlas karena Allah SWT semata. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang
lain dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (An-Nisa
: 34).
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Istri
adalah penaggung jawab rumah tangga suami istri yang bersangkutan”. (HR.
Bukhori Muslim).
Secara
umum kewajiban suami istri adalah sebagi berikut :
1.
Kewajiban Suami
a)
Memberi nafkah, pakaian dan tempat
tinggal kepada istri dan anak-anaknya sesuai dengan kemampuan yang diusahakan
secara maksimal.(lihat At-Thalaq:7)
b)
Bergaul dengan istri secara
makruf,yaitu
dengan cara yang layak dan patut.
Misalnya dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan
dan sebagainya.
c)
Memimpin keluarga, dengan cara
membimbing, memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab. (Lihat
An-Nisa : 34).
d)
Membantu istri dalam tugas
sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya agar menjadi
anak yang shaleh. (At-Tahrim:6)
2. Kewajiban Istri
a)
Patuh dan taat pada suami dalam
batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam. Perintah suami yang bertentangan
dengan ajaran Islam tidak wajib di taati.
b)
memelihara dan menjaga kehormatan
diri dan keluarga serta harta benda suami.
c)
Mengatur rumah tangga dengan baik
sesuai
dengan fungsi ibu sebagai kepala
rumah tangga.
d)
Memelihara dan mendidik anak
terutama pendidikan agama. Allah swt, berfirman:
Artinya
:”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka”. (At-Tahrim : 6)
e)
Bersikap hemat, cermat, ridha dan
syukur serta bijaksana pada suami.
G. Talak
1.
Pengertian Dan Hukum Talak
Menurut bahasa talak berarti melepaskan ikatan.
Menurut istilah talak ialah lepasnya ikatan pernikahan dengan lafal
talak. Asal hukum talak adalah makruh, sebab merupakan perbuatan halal
tetapi sangat dibenci oleh Allah swt. Nabi Muhammad
saw, bersabda :
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ عِنْدَ اللهِ
الطَّلاَق
(رواه
ابوداود)
Artinya :”Perbuatan halal tetapi
paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud)
2. Rukun
Talak
a)
Yang menjatuhkan talak(suami),
syaratnya: baligh, berakal dan kehendak sendiri.
b)
Yang dijatuhi talak adalah istrinya.
c)
Ucapan talak, baik dengan cara sharih (tegas)
maupun dengan carakinayah (sindiran).
v Cara sharih,
misalnya “saya talak engkau!” atau “saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan
cara sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan
cara sharih, maka jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
v Cara kinayah,
misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau dengan
orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak cara kinayah
memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah,
padahal sebenarnya tidak berniat mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh.
3. Lafal dan Bilangan Talak.
Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata yang jelas atau dengan kata-kata sindiran.
Adapun bilangan talak maksimal 3 kali, talak satu dan talak dua masih boleh
rujuk (kembali) sebelum habis masa idahnya dan
apabila masa idahnya telah habis maka harus dengan akad nikah lagi. (lihat
Al-Baqoroh : 229). Pada
talak 3 suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh
nikah lagi sebelum istrinya itu nikah
dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak
oleh suami keduanya itu”.
4. Macam-Macam Talak.
Talak dibagi menjadi 2 macam
yaitu:
1) Talak Raj’i yaitu talak dimana suami boleh
rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi. Talak raj’I ini dijatuhkan suami
kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan suami boleh rujuk
kepada istri yang telah ditalaknya selam masih dalam masa iddah.
2) Talak
Bain. Talak bain dibagi menjadi 2 macam
yaitu talak bain sughro dan talak bain kubra.
· Talak bain sughro yaitu
talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak khuluk
(karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara
akad nikah lagi baik masih dalam masa idah atau sudah habis masa
idahnya.
· Talak bain
kubro yaitu
talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam waktu yang
berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh
rujuk atau menikah dengan bekas istri
kecuali dengan syarat:
a)
Bekas istri telah menikah lagi
dengan laki-laki lain.
b)
Telah dicampuri dengan suami yang
baru.
c)
Telah dicerai dengan suami yang
baru.
d)
Telah selesai masa idahnya setelah
dicerai suami yang baru.
5.
Macam-macam
Sebab Talak.
Talak
bisa terjadi karena :
1)
Ila’ yaitu sumpah seorang suami
bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’ merupakan adat arab jahiliyah.
Masa tunggunya adalah 4 bulan. Jika sebelum 4 bulan sudah kembali maka suami
harus menbayar denda sumpah. Bila sampai 4 bulan/lebih hakim berhak memutuskan
untuk memilih membayar sumpah atau mentalaknya.
2)
Lian, yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya
berbuat zina. sumpah itu diucapkan 4 kali dan yang kelima dinyatakan dengan
kata-kata : “Laknat Allah swt atas diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga
dapat menolak dengan sumpah 4 kali dan yang kelima dengan kata-kata: “Murka
Allah swt, atas diriku bila tuduhan itu benar”.
3)
Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi
penyerupaan istrinya dengan ibunya seperti : “Engkau
seperti punggung ibuku “. Dzihar merupakan adat jahiliyah yang
dilarang Islam sebab dianggap salah satu cara menceraikan
istri.
4)
Khulu’ (talak tebus) yaitu talak yang
diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada suami. Talak
tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain:
· Istri sangat benci kepada suami,
· Suami tidak dapat memberi nafkah.
· Suami tidak dapat membahagiakan
istri.
5)
Fasakh, ialah rusaknya ikatan
perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu :
· Karena rusaknya akad nikah seperti :
a)
diketahui bahwa istri adalah mahrom
suami,
b)
Salah seorang suami / istri keluar
dari ajaran Islam.
c)
Semula suami/istri musyrik kemudian
salah satunya masuk Islam.
· Karena rusaknya tujuan pernikahan,
seperti :
a)
Terdapat unsur penipuan, misalnya
mengaku laki-laki baik ternyata penjahat.
b)
Suami/istri mengidap penyakit yang
dapat mengganggu hubungan
rumah tangga.
c)
Suami dinyatakan hilang.
d)
Suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.
6) Hadhonah.
Hadhonah artinya mengasuh dan mendidik anak yang masih
kecil. Jika suami/istri bercerai maka yang berhak mengasuh anaknya
adalah:
a)
Ketika masih kecil adalah ibunya dan
biaya tanggungan ayahnya.
b)
Jika si ibu telah menikah lagi maka
hak mengasuh anak adalah ayahnya.
H. Iddah
Secara bahasa iddah berarti ketentuan.
Menurut istilah iddah ialah masa menunggu bagi seorang wanita yang sudah
dicerai suaminya sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Masa iddah
dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada bekas suaminya apakah dia akan rujuk
atau tidak.
1. Lamanya
Masa Iddah.
a.
Wanita yang sedang hamil masa
idahnya sampai melahirkan anaknya. (Lihat QS. At-Talak :4)
b.
Wanita yang tidak hamil,
sedang ia ditinggal mati suaminya maka masa idahnya 4 bulan 10
hari. (lihat QS. Al-Baqoroh ayat 234)
c.
Wanita yang dicerai suaminya sedang
ia dalam keadaan haid maka masa idahnya 3 kali quru’ (tiga kali suci).
(lihat QS. Al-Baqoroh : 228)
d.
Wanita yang tidak haid atau belum
haid masa idahnya selama tiga bulan. (Lihat QS, At-Talaq :4)
e.
Wanita yang dicerai sebelum dicampuri suaminya maka baginya tidak ada masa
iddah. (Lihat QS. Al-Ahzab : 49)
2
Hak Perempuan Dalam Masa Iddah.
a.
Perempuan yang taat dalam
iddah raj’iyyah (dapat rujuk) berhak mendapat dari suami yang
mentalaknya: tempat tinggal, pakaian, uang belanja.
Sedang wanita yang durhaka tidak berhak menerima apa-apa.
b.
Wanita dalam iddah bain (iddah talak
3 atau khuluk) hanya berhak atas tempat tinggal saja. (Lihat
QS. At-Talaq : 6)
c.
Wanita dalam iddah wafat tidak
mempunyai hak apapun, tetapi mereka dan anaknya berhak mendapat
harta warits suaminya.
I.
Rujuk.
Rujuk artinya kembali. Maksudnya ialah kembalinya suami
istri pada ikatan perkawinan setelah terjadi talak raj’i dan masih
dalam masa iddah. Dasar hukum rujuk adalah QS. Al-Baqoroh: 229,
yang artinya sebagai berikut: ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki rujuk”.
1. Hukum
Rujuk.
a)
Mubah, adalah asal hukum rujuk.
b)
Haram, apabila si istri dirugikan
serta lebih menderita dibanding sebelum rujuk.
c)
Makruh, bila diketahui meneruskan
perceraian lebih bermanfaat.
d)
Sunat, bila diketahui rujuk lebih
bermanfaat dibanding meneruskan perceraian.
e)
Wajib, khusus bagi laki-laki yang
beristri lebih dari satu.
2. Rukun
Rujuk.
a)
Istri, syaratnya : pernah digauli,
talaknya talak raj’i dan masih dalam masa iddah.
b)
Suami, syaratnya : Islam, berakal
sehat dan tidak terpaksa.
c)
Sighat (lafal rujuk).
d)
Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang
adil.
· PERKAWINAN MENURUT UU No: 1 tahun
1974.
1.
Garis besar Isi UU No : 1 tahun
1974.
UU
No : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 Bab dan 67 Pasal.
2.
Pencatatan Perkawinan.
Dalam
pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan tentang pelaksanaan pencatatan
perkawinan ini tercantun dalam PP No : 9 Tahun 1975 Bab II pasal 2 sampai 9.
3.
Syahnya Perkawinan.
Dalam
pasal 2 ayat 1 ditegaskan bahwa : “Perkawina adalah syah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu”.
4.
Tujuan Pekawinan.
Dalam Bab
1 pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawina adalah untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
5.
Talak.
Dalam Bab VIII
pasal 29 ayat 1 dijelaskan bahwa : “Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah fihak.
6.
Batasan Dalam Berpoligami.
· Dalam pasal 3 ayat 1
diljelaskan bahwa :”Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.
· Dalam pasal 4
dan 5 ditegaskan bahwa
dalam hal seorang suami akan beristri lebih
dari seorang ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah
tempat tinggalnya.
· Pengadilan hanya memberi
ijin berpoligami apabila :
a)
Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istri.
b)
Istri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
c)
Istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
d)
Dalam pengajuan
berpoligami harus dipenuhi syarat-syarat :
ü Adanya
persetujuan dari istri.
ü Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
ü Adanya jaminan bahwa suami
akan belaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa munakahat
merupakan salah satu wujud dari ibadah kepada Allah SWT, Di dalam islam tidak
ada istilah pacaran, saat saling mengenal dikenal dengan istilah khitbah nikah
ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut
hukum syariat Islam. Menikah wajib bagi seseorang yang
sudah siap baik mental maupun fisik. Untuk melepaskan pernikahan dilakukan
dengan talak, di dalam islam talak diperbolehkan, tetapi sangat di benci oleh
Allah, jika sudah talak masih ada jalan yang digunakan untuk kembali, yaitu dengan
rujuk.
B.
Saran
Sebagai salah satu umat islam sebaiknya setelah siap mental
maupun fisiknya, disegerakan menikah selain untuk menghindari zina, juga dapat
menjadi suatu ibadah jika dilakukan untuk mencadi ridho Allah SWT dan memenuhi
kewajiban sebagai umat islam.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya