BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masyarakat
Rejang, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat
istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini
juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai,
Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah
yang lebih populer digunakan sehari-hari, baik oleh orang tua, remaja, dan
anak-anak dalam berinteraksi.
Suku
Rejang merupakan masyarakat dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu.
Beberapa kebudayaan mereka terpelihara dengan baik, mereka tidak mudah menyerap
kebudayaan atau apapun yang berasal dari luar adat-istiadat dan kebiasaan
mereka. Oleh karena itu sampai saat ini kebudayaan mereka masih terbilang asli.
Sejak zaman dahulu suku Rejang telah memiliki adat-istiadat. Karena
mayoritas suku Rejang masih mempertahankan kebudayaan mereka, tidak heran jika
hukum adat yang berupa denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga
sekarang. Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan
martabat kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan
pemberian hukum denda terhadap pelaku zina.
1.2. Rumusan Masalah
1.Bagaimana
budaya adat masyarakat Rejang ?
2.Bagaimana
upacara perkawinan adat Masyarakat Rejang ?
1.3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui budaya adat masyarakat Rejang
2. Untuk
mengetahui bagaimana upacara perkawinan adat Rejang
1.4. Manfaat
Makalah
ini dibuat dengan harapan agar
masyarakat setempat khususnya dapat memahami tradisi tersebut secara benar,
baik dipandang dari segi budaya maupun ajaran agama. Selain itu tulisan ini juga sebagai sarana berlatih bagi penulis untuk meningkatkan kemampuan menulis penulis.
Dan sebagai media pewarisan ilmu oleh sesepuh kepada generasi penerus. Dengan
adanya Makalah ini penulis berharap dapat memberi sedikit sumbangan kepada masyarakat
terutama masyarakat rejang . Selain itu, mungkin dapat digunakan sebagai
referensi dalam penelitian-penelitian serupa dikemudian hari.
Satu
hal yang tidak kalah pentingnya adalah agar upacara tradisi adat
rejang yang sangat baik ini dapat dilaksanakan sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam yang benar-benar bernilai Islami
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. BUDAYA ADAT REJANG
Kekayaan
budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang pemerhati masalah budaya di
Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan dengan banyaknya orang asing
serta pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen
tentang suku-bangsa ini. Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang
didiami suku Rejang, pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan
untuk menulis dokumen tentang suku Rejang dalam bentuk pidato
pertanggungjawabannya.
Dokumen
ini di kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya. Serambeak
sendiri bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan
menggunakan bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan
kata-kata kiasan, serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku
Rejang. Dalam kehidupan sehari-hari, waktu bermusyawarah maupun mengobrol
biasa, sering disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika
menyambut tamu yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam
pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.
Bagi
suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani
dengan baik.Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya.
Di antaranya : Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben. Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun. Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea. Salang tun dumai belek moi talang. Salang tun talang belek moi sadei. Dapet kene ta’ak dengen tawea. Salang magea mendeak simeak. Arak suko padaa ngalo. Arak magea mendeak simeak. Agang magea suko panggea.
Di antaranya : Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben. Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun. Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea. Salang tun dumai belek moi talang. Salang tun talang belek moi sadei. Dapet kene ta’ak dengen tawea. Salang magea mendeak simeak. Arak suko padaa ngalo. Arak magea mendeak simeak. Agang magea suko panggea.
Terjemahannya
kira-kira : Ada sirih terhampai di darat, makanlah
sirih. Sirih ada selembar, gambir ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada
sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk para tamu yang berdatangan. Sirih
penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak pula karena membuat yang tidak
baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang datang.
Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang,
orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan gembira atas
kedatangan tamu semuannya. Bagi muda-mudi, kesantunan seseorang terucap dari
serambeak yang disampaikan.
Berikut
ini contohnya : Tun meleu diem puluk kelem. Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap. Orang kecil berada di lembah yang dalam).
(Orang hitam diam ditempat gelap. Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak
ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba
kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu
pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan.
Keunikan
suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa, mereka menghuni
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas
(Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) mampu menarik perhatian peneliti asing.
Burhan Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh
Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang
peneliti dari Australia Prof MA Jaspan dari Australia National University (ANU)
yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963 untuk meneliti suku
bangsa Rejang. Jaspan menghasilkan beberapa buku, antara lain From Patriliny to
Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest Sumatra, Folk
Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village
Tribunal. Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa
asing yang mengambil studi sejarah budaya Indonesia.
Residen
kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai
Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999, mempertahankan disertasi doktornya
berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD, dalam bidang hukum adat.
Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin, serambeak membuktikan
bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan
hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya.
2.2. Upacara Perkawinan Adat
2.2.1. Asal-Usul
Perkawinan
merupakan bagian dari ritual lingkaran hidup di dalam adat istiadat Suku Bangsa
Rejang di Bengkulu.
Suku Bangsa Rejang pada dasarnya hanya mengenal bentuk Kawin Jujur. Akan
tetapi dalam perkembangan kemudian, muncul pula bentuk Kawin
Semendo yang disebabkan karena pengaruh adat Minangkabau dan Islam.
Kawin
Jujur merupakan bentuk perkawinan eksogami yang dilakukan dengan
pembayaran (jujur) dari pihak pria kepada pihak wanita.Kawin Jujurmerupakan
bentuk perkawinan yang menjamin garis keturunan patrilinel. Dengan
dibayarkannya sejumlah uang maka pihak wanita dan anak-anaknya nanti melepaskan
hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri dan dimasukkan ke dalam kerabat
dari pihak suami. Kawin Jujur juga mengharuskan pihak
perempuan mempunyai kewajiban untuk tinggal di tempat suami,
setidak-tidaknya tinggal di keluarga suaminya.
Kawin
Semendo adalah bentuk perkawinan tanpa jujur (pembayaran) dari
pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan, suami harus menetap di
keluarga pihak isteri dan berkewajiban untuk meneruskan keturunan dari pihak
isteri serta melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya
sendiri. Kawin Semendo merupakan bentuk perkawinan yang menjamin
garis keturunan matrilinel.
2.2.2. Waktu dan Tempat
Pelaksanaan
Dalam
adat istiadat perkawinan Suku Bangsa Rejang, bagian paling penting prosesi
perkawinan adalah mengikeak dan uleak. Mengikeak artinya
melaksanakan kegiatan akad nikah dan uleak artinya upacara
perayaan perkawinan. Pelaksanaan mengikeak biasanya dilakukan
di rumah pihak yang mengadakan uleak. Pihak yang
mengadakan uleak biasanya dari pihak wanita. Sedangkan waktu
pelaksanaan mengikeak dan uleak biasanya dilakukan pada
hari baik, bulan baik, pada masa lengang atau sehabis musim panen.
2.2.3. Tahapan dan
Proses Perkawinan
Sebelum
membicarakan tahapan dan proses perkawinan, di dalam adat istiadat Suku Bangsa
Rejang diatur larangan kawin sesama suku. Pembatasan jodoh menurut ketentuan
adat Suku Bangsa Rejang, yaitu sebaik-baiknya perkawinan dilakukan dengan orang
lain (mok tun luyen). Pembatasan ini secara tegas memuat larangan untuk kawin
dengan orangtua, saudara dekat, bahkan dengan orang yang senama dengan orangtua
dan saudara dekat. Apabila terjadi perkawinan dengan saudara dekat, maka
disebut sebagai perkawinan sumbang yang dalam istilah Suku
Bangsa
Rejang disebut dengan komok (memalukan atau menggelikan). Sedangkan
perkawinan dengan saudara sepupu senenek dan sepoyang(saudara nenek) jika
terpaksa dilakukan maka akan dikenakan denda kutai adat(lembaga adat).
Denda tersebut berupa uang atau hewan peliharaan yang dalam istilah Suku Bangsa
Rejang disebut dengan mecuak kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang
secara adat adalah perkawinan antara seorang pria atau wanita dengan bekas
isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila saudaranya tersebut masih
hidup. Setelah beberapa larangan tersebut dipastikan tidak dilanggar, maka
tahap dan prosesi perkawinan adat istiadat Suku Bangsa Rejang dapat dimulai.
Tahapan
dan proses perkawinan di dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang secara umum
dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu upacara sebelum perkawinan, upacara
pelaksanaan perkawinan, dan upacara sesudah perkawinan. Berikut ini merupakan
tahapan dari ketiga proses perkawinan tersebut.
A. Upacara Sebelum Perkawinan
Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang, upacara sebelum
perkawinan terdiri dari :
1.
Meletak uang. Meletak uang artinya
memberi tanda ikatan. Tujuan dari prosesi ini, pertama, sebagai bukti bahwa
ucapan kedua belah pihak mengandung keseriusan dan kesepakatan untuk mewujudkan
ikatan perkawinan di antara sepasang bujang gadis. Kedua, bersifat pemagaran
bahwa sang bujang dan gadis telah terikat, sehingga tidak ada orang lain yang mengganggunya.
Tempat pelaksanaan upacara meletakkan uang biasanya dilakukan di rumah pihak
wanita. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan di malam hari dan sering terjadi
pada musim senggang sehabis panen.
2.
Mengasen. Mengasen artinya
membayar. Tetapi dalam adat istiadat perkawinan diartikan sebagai meminang.
Terdapat tiga tahapan dalammengasen, yaitu semuluak asen, temotoa
asen, dan jemejai asen.
3.
Jemejai atau Semakup Asen,
yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan pembulatan kemufakatan
antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk meresmikan atau
mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut telah bertunangan
dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin), dan menyampaikan
kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya setelah
menikah.
4.
Sembeak Sujud artinya sembah sujud.
Dalam adat rejang sembah sujud ini di artikan seabagai acara untuk minta maap dari
keluarga mempelai baik yang dari pihak laki laki maupun pihak perempuan.
5.
Melandai artinya bertamu atau
bertandang. Ini di maksudkan untuk lebih mendekatkan diri kepada masing –
masing keluarga calon mempelai, baik mempelai laki-laki atau pun perempuan.
6.
Basen asuak basuak maksudnya adalah
untuk musyawarah/ rapat panitia keluaraga kedua calon mempelai untuk
membicarakan masalah resepsi pernikahan. Dalam musyawarah ini muntuk menentukan
hari dan tanggal perkawinan, acara yang akan diadakan selama resepsi
pernikahan.
7.
Basen kutai maksudnya adalah
musyawarah kepada para pemuka adat untuk memeberitahukan bahwa akan mengadakan
acara perkawinan.
B. Upacara Pelaksanaan Perkawinan
Di
dalam adat istiadat perkawinan Suku Bangsa Rejang, upacara pelaksanaan
perkawinan dibagi menjadi dua tahap, yaitu mengikeak (artinya
melaksanakan kegiatan akad nikah) dan uleak (upacara perayaan
perkawinan). Pelaksanaan mengikeak biasanya dilakukan di rumah pihak
perempuan.
Upacara Uleak dalam
bahasa Suku Bangsa Rejang disebut juga
denganalek atau umbung (yang berarti pekerjaan atau kegiatan
yang diatur selama pesta perkawinan berlangsung). Sesuai dengan derajat dan
kemampuan pihak yang melaksanakan alek, dalam adat istiadat Suku Bangsa
Rejang dibagi menjadi tiga macam, yaitu alek besar, alek
biasa, dan alek kecil.
Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang, upacara pelaksanaan perkawinan terdiri dari :
1.
Mdu’o sudut artinya dalah acara
untuk meminta izin. Di sini acaranya adalah berdoa meminta izin kepada para
arwah poyang,nenek, bapak, ibu, dan orang-orang yang telah mendahului kita.
2.
Temje kmujung adalah acara untuk
tegak tarub / untuk membangun tempat pelaksanaan selama acara perkawinan
berlangsung. Setelah tegak tenda ada yang namanya acara du’o
kemujung ini adalah acara untuk berdoa karena tenda tempat
pernikahan telah selesai di buat.
3.
Nyebeliak adalah acara memotong
hewan seperti sapi, kerbau, kambing, ayam untuk di masak pada acara perkawinan.
Acara ini di laksanakan bersamaan dengan hari tegak tenda. Orang yang biasanya
memotong hewan adalah imam desa tempat acara berlangsung.
4.
Mengesok adalah hari masak.
Maksudnya adalah hari untuk masak – masak untuk acara pernikahan. Hari ini
biasanya ibu-ibu bekerja sama untuk memasak hidangan pada hari pernikahan/
untuk para tamu undangan.
5.
Misai penoi ngen menea
sukung adalah acara untuk membuat tempat sesaji pada saat acara
kutai yaitu acara ritual sebelum akad nikah berlansung.
6.
Demapet bakaea sematen/bakea
ngenyan adalah acara hari perkawinan/ pada hari akad nikah yaitu menjemput
calon mempelai wanita atau mempelai pria ke kediamannya dengan membawa sesaji
yang di dalamnya berisi ;
a.
Uang atau barang-barang yang terbuat
dari emas (perhiasan). Uang atau barang dimaksudkan sebagai pelangkah yang
diberikan dari pihak pria kepada pihak wanita pada saat prosesi meletak uang.
Prosesi ini dilakukan pada upacara sebelum perkawinan. Uang atau barang
tersebut diberikan dari pihak pria dengan ditempatkan pada selepeak,
tabung yang terbuat dari kuningan atau perak, dan dibungkus dengan
kain cualao, kain ikat kepala,dari pihak pria dan ciai, kain yang
biasanya berupa kain panjang dari pihak wanita.
b.
Sirih dan udut (rokok) lengkap
dengan bakul (sirih) dan selpo (rokok). Alat-alat upacara tersebut
diperlukan saat terjadi prosesi mengasen, tepatnya pada
tahapan temotoa asen yang merupakan prosesi upacara sebelum
perkawinan.
c.
Cakkedik. Bentuknya berupa bahan
atau barang, baik benda mati maupun hidup. Barang-barang tersebut antaralain:
selimut (baik untuk calon mempelai wanita maupun ibunya), pakaian untuk calon
mempelai wanita, adik atau kakak dari mempelai wanita, keris petik
untuk lengea atau dukun sukaunya, cincin, dan sebagainya.
Barang-barang tersebut dibawa dalam prosesi mengasen.
d.
Canang yang
terbuat dari bambu, rotan, dan balet taboa (akar sebangsa tumbuhan
yang daunnya berbentuk bulat telur).
e.
Alat-alat tersebut dipergunakan sewaktu
prosesi pelaksanaan upacara perkawinan, tepatnya pada prosesi mengikeak.
Akan tetapi pada masa sekarang peralatan tersebut mulai digantikan dengan surat
kelengkapan administrasi dari KUA dan mas kawin.
f.
Peralatan dalam
prosesi alek atau uleak yang terdiri
dari pengujung(merupakan lambang peralihan), umeak sanin (tempat
duduk pengantin) beserta dekorasinya, alat kesenian (berupa gong kulintang, rebana, rebab,
dan alat musik lainnya), dansebagainya.
g.
ari barisan bawah dari kiri ke
kanan : Selepeak besar
(Biasanya diisi dengan barang-barang berupa perhiasan);
Selepeak kedil (Biasanya diisi dengan uang); Tempat sesajen;
Tempat kemenyan; Tempat bara api. Di belakang dari kiri ke kanan: Talam saji (Untuk menghidangkan makan);
Tempat dupa; Nampan besar tempat untuk meletakkan kue-kue; Tempat nasi
(di atas nampan besar); Piring baja ( di atas nampan besar)
(Biasanya diisi dengan barang-barang berupa perhiasan);
Selepeak kedil (Biasanya diisi dengan uang); Tempat sesajen;
Tempat kemenyan; Tempat bara api. Di belakang dari kiri ke kanan: Talam saji (Untuk menghidangkan makan);
Tempat dupa; Nampan besar tempat untuk meletakkan kue-kue; Tempat nasi
(di atas nampan besar); Piring baja ( di atas nampan besar)
7.
Temu’un gung kecitang adalah acara
kejai, dalam acara ini disertai dengan tari kejei (tari daerah dari suku
rejang).
8.
Mengikeak adalah acara akad nikah/
acatra pengucapan janji setia kedua mepelai yang akan menikah. dalam cara adata
rejang ada 2 cara akad nikah yaitu: cara adat dan cara agama islam.
9.
Mei suwei adalah acara suap-suapan
antara mempelai laki- laki dan perempuan, juga acara suap-suapan orang tua
kepada kedua mempelai kepada anak dan menantunya yang telah menikah.
10.
Benapa adalah acara penjemputan
orang-orang yang tinggal di luar desa tempat pernikahan berlangsung untuk di
ajak datang ke desa tempat di adakannya acara pesta perkawinan.
11.
Jamau kutai kelmen doa yang di
laksanakan pada malam hari. Yaitu doa bersama seluruh pemukan adat dan seluruh
masyarakat, baik masyarakat di desa tempat pernikahan berlangsung maupun dari
desa tersebut.
12.
Gandei sekeluweng yaitu, acara
setelah doa besama seluruh pemukan adat dan seluruh masyarakat, yaitu acara
bercerita sampai pagi hari. Yang di ceritakan dalam acara ini adalah
cerita pengela,andak,ngesiyen,pengaep. tapi sekarang, adat ini sudah mulai
di tinggalkan, karena waktunya yang terlalu lama yaitu dari malam sampai pagi
hari.
13.
Matea buiak minyok adalah acara
para remaja perempuan dan laki-laki yaitu acara saling mengucapkan permohonan
maap dan terima kasih jika selama acara pernikahan berlangsung para remaja
laki-laki dan perempuan ini banyak melakukan kesalahan dalam mengisi acara pada
acara pesta pernikahan.
14.
Belmang adalah acara remaja
perempuan dan laki-laki untuk masak benik yaitu makanan khas dari suku Rejang
yaitu memasak beras ketan yang di masukkan dalam bambu kemudian di panggang.
Acara ini melambangkan kebersamaan antar para remaja yang telah ikut
menyukseskan acara pernikahan temannya yang telah menikah. denagn kata lain
acara belmang ini adalah acara makan bersama.
15.
Mpas sot mpas sangai yaitu
acara untuk memberitahukan kepada arwah nenek moyang dan kepada seluruh
masyarakat yang ada di seluruh desa maupun yang dari luar desa bahwa acara
pesta pernikahan telah selesai dilaksanakan. Orang yang memimpin acara ini
adalah orang pintar atau dukun.
16.
Kem’ok kemujung adalah acara
perombakan tenda tempat acara perkawinan berlangsung. Acara ini dilanjutkan
denagan makan bersama.
Itulah
acara-acara yang dilaksanakan selama proses perkawinan.
C. Upacara Sesudah Perkawinan
Secara
umum, upacara sesudah perkawinan dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang
dimaksudkan sebagai ucapan rasa syukur dan terimakasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu dalam pelaksanaan prosesi perkawinan. Adapun yang termasuk
ke dalam upacara sesudah perkawinan meliputi: mengembalikan alat-alat yang
dipinjam, pengantin mandi-mandian, doa syukuran, serta cemucua bi
oa (menyiram kuburan) dan me lau dai(berkunjung).
D. Nilai-Nilai
Bagi
Suku Bangsa Rejang, upacara perkawinan merupakan tempat untuk menunjukkan
kekuatan (baik harta maupun besarnya jumlah keluarga) sekaligus merupakan tanda
kesucian. Upacara perkawinan merupakan upacara terakhir yang diselenggarakan
oleh orangtua terhadap masing-masing anaknya. Bisa juga dikatakan sebagai
upacara “melepaskan hutang” kewajiban orangtua terhadap anak. Setiap keluarga
berusaha untuk membuat acara perkawinan semeriah mungkin. Siang-malam para
anggota keluarga menyiapkan pesta. Tidak jarang di sini timbul hutang dalam
upaya membuat pesta yang meriah. Akan tetapi kebiasaan ini sudah lumrah terjadi
di dalam budaya Rejang.
Bagi
Suku Bangsa Rejang, perkawinan tanpa upacara yang meriah
dikatakan mengekeak de men yang berarti bujang gadis yang dikawinkan
tersebut keca peak (sudah cacat atau tidak suci lagi). Karena hal
tersebut, bagi suku Bangsa Rejang, perkawinan merupakan peristiwa yang
bersejarah, tempat menilai kesucian anak yang menyangkut martabat keluarga
besar.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Serambeak
membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun,
perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya.
Bentuk
perkawinan asli Suku Bangsa Rejang di Bengkulu adalah Kawin Jujur.
Bentuk Kawin Jujur terus terpelihara di dalam adat istiadat Suku
Bangsa Rekang sampai berdirinya Kerajaan Sungai Lemau sekitar tahun 1625 M. Raja
Pertama dari Kerajaan Usngai Lemau adalah Baginda Maharaja Sakti yang merupakan
utusan dari Kerajaan Pagaruyung di Minangkabau. Bisa dikatakan lewat Baginda
Maharaja Sakti inilah mulai terjadi pergeseran bentuk perkawinan,
dari Kawin Jujur ke bentuk Kawin Semendo.
Bentuk Kawin
Semendo semakin mendapat kekuatan untuk mempengaruhi kebudayaan Suku
Bangsa Rejang ketika budaya Islam (masuk ke Bengkulu sekitar abad ke-16)
masuk ke Bengkulu lewat dua kerajaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan
Aceh Darussalam. Selain itu, pada masa Belanda berkuasa di Bengkulu, panguasa
pusat yang ada di Batavia (Jakarta) secara resmi mengumumkan adanya pelarangan
praktek Kawin Jujur semua wilayah jajahan Belanda di Hindia Belanda.
Larangan tersebut bertanggal 23 Desember 1862 no. 7 dan diumumkan dalam Bijblad
no. 1328 (Abdullah, 1980:226).
Atas
dasar beberapa pengaruh tersebut maka bentuk Kawin Jujurberganti
dengan Kawin Semendo. Di dalam perkembangannya, bentuk Kawin
Semendo terbagi lagi menadi empat, yaitu Perkawinan Biasa, Perkawinan
Sumbang, Perkawinan Ganti Tikar (mengebalau), dan Kawin Paksa (Bambang Suwondo,
TT:121). Sampai sekarang, praktek perkawinan yang berlaku di dalam adat
istiadat Suku Bangsa Rejang menggunnakan salah satu dari keempat bentuk
perkawinan tersebut
3.2. Saran
Kepada
kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan suku
bangsa Rejang, diharapkan untuk menulis sejarah secara lengkap dan melestarikan
adat istiadat suku rejang yang kini sudah semakin berkurang. Mereka
pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan
Rejang. Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang,
tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi
oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh
kebudayaan lain bahkan budaya asing.
Sudah
sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian,
pengumpulan data, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi
nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah
Siddik. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.
2. Bambang
Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Bengkulu. Jakarta:
3. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan
Budaya,
4. Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
5. Bambang
Suwondo. TT. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu.
6. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan
Daerah.
7. Hilman
Hadikusumo. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan
Upacara
Adatnya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
8. Luckman
Sinar. 2001. Adat Perkawinan dan Tatarias Pengantin Melayu.
Medan:
Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya Melayu.
9. William
Marsden. 2008. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.
10.Diterjemahkan oleh Tim Komunitas Bambu dari History of Sumatra. 1996. Edisi
ketiga. Kuala
Lumpur : Oxford University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar kalian sangat berharga bagi saya